Menu Close

Sejarah dibalik penggambaran Yesus sebagai orang Eropa berkulit putih

Yesus kulit putih
Lukisan yang menggambarkan transfigurasi Yesus, sebuah kisah dalam Perjanjian Baru ketika Yesus bersinar di atas gunung. Artist Raphael /Collections Hallwyl Museum, CC BY-SA

Penggambaran Yesus sebagai seorang pria Eropa berkulit putih telah menjadi sorotan baru selama periode introspeksi terhadap tradisi rasisme di masyarakat.

Ketika para pengunjuk rasa menyerukan penghapusan patung-patung Konfederasi di Amerika Serikat, aktivis Shaun King melangkah lebih jauh, dengan menyarankan agar mural dan karya seni yang menggambarkan “Yesus berkulit putih” harus “diturunkan.”

Bukan dia saja yang kekhawatirannya bahwa penggambaran Kristu digunakan untuk menegakkan gagasan supremasi kulit putih. Para cendekiawan terkemuka dan Uskup Agung Canterbury telah menyerukan untuk mempertimbangkan kembali penggambaran Yesus sebagai orang kulit putih.

Sebagai seorang sejarawan seni Renaisans Eropa, saya mempelajari perkembangan gambaran Yesus Kristus dari tahun 1350 sampai 1600. Beberapa penggambaran Kristus yang paling terkenal, mulai dari “Perjamuan Terakhir” karya Leonardo da Vinci hingga “Penghakiman Terakhir” karya Michelangelo di Kapel Sistina, dibuat pada periode ini.

Tetapi gambar Yesus yang paling banyak direproduksi berasal dari periode yang berbeda. Itu adalah “Kepala Kristus” bermata terang dan berambut pirang karya Warner Sallman dari tahun 1940. Sallman, seorang mantan seniman komersial yang menciptakan karya seni untuk kampanye iklan, berhasil memasarkan gambar ini ke seluruh dunia.

yesus
‘Kepala Kristus’ karya Sallman.

Melalui kemitraan Sallman dengan dua perusahaan penerbitan Kristen, satu Protestan dan satu Katolik, Kepala Kristus kemudian disertakan dalam berbagai hal, mulai dari kartu doa, kaca patri, lukisan cat minyak, kalender, buku nyanyian rohani, dan lampu malam.

Lukisan Sallman merupakan puncak dari tradisi panjang orang Eropa berkulit putih yang membuat dan menyebarkan gambar-gambar Kristus sesuai dengan citra mereka sendiri.

Mencari wajah suci

Yesus, dalam sejarah, kemungkinan besar memiliki mata dan kulit berwarna cokelat seperti orang-orang Yahudi abad pertama asal Galilea, sebuah wilayah di Israel dalam Alkitab. Tetapi tidak ada yang tahu persis seperti apa rupa Yesus. Tidak ada gambar yang diketahui tentang Yesus dari masa hidupnya, dan meskipun Raja Saul dan Daud dari Perjanjian Lama secara eksplisit disebut tinggi dan tampan di dalam Alkitab, hanya ada sedikit indikasi tentang penampilan Yesus dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

‘Gembala yang Baik’ Joseph Wilpert

Bahkan teks-teks ini saling bertentangan: Nabi Yesaya dalam Perjanjian Lama mengatakan bahwa Juruselamat yang akan datang “tidak memiliki kecantikan atau keagungan,” sementara Kitab Mazmur menyatakan bahwa ia “lebih cantik dari anak-anak manusia,” kata “cantik” mengacu pada kecantikan fisik.

Gambar-gambar Yesus Kristus yang paling awal muncul pada abad pertama hingga ketiga Masehi, di tengah-tengah kekhawatiran akan penyembahan berhala. Gambar-gambar tersebut tidak terlalu menggambarkan penampilan Kristus yang sebenarnya, melainkan untuk memperjelas perannya sebagai seorang penguasa atau penyelamat.

Untuk menunjukkan dengan jelas peran-peran ini, para seniman Kristen mula-mula sering kali mengandalkan sinkretisme, yang berarti mereka menggabungkan format visual dari budaya lain.

Mungkin gambaran sinkretis yang paling populer adalah Kristus sebagai Gembala yang Baik, sosok muda yang tidak berjenggot dan berdasarkan pada representasi paganisme Orpheus, Hermes, dan Apollo.

Dalam penggambaran umum lainnya, Kristus mengenakan toga atau atribut kaisar lainnya. Teolog Richard Viladesau berpendapat bahwa Kristus yang berjenggot dan berjanggut dewasa, dengan rambut panjang dalam gaya “Suriah”, menggabungkan karakteristik dewa Yunani Zeus dan tokoh Perjanjian Lama Simson, di antaranya.

Kristus sebagai potret diri

Potret Kristus yang pertama, dalam arti kemiripan yang berwibawa, diyakini sebagai potret diri: “gambar ajaib yang tidak dibuat oleh tangan manusia”, atau acheiropoietos.

Acheiropoietos. Tretiakov Gallery, Moscow

Kepercayaan ini berasal dari abad ketujuh Masehi, berdasarkan legenda bahwa Kristus menyembuhkan Raja Abgar dari Edessa, yang kini bernama Urfa, Turki, melalui gambar wajahnya yang ajaib, sekarang dikenal dengan nama Mandylion.

Legenda serupa yang diadopsi oleh Kekristenan Barat antara abad ke-11 dan ke-14 menceritakan bagaimana, sebelum kematiannya melalui penyaliban, Kristus meninggalkan jejak wajahnya di kerudung Santa Veronica, sebuah gambar yang dikenal sebagai volto santo, atau “Wajah Kudus.”

Kristus dimahkotai duri. Artist Antonello da Messina. The Friedsam Collection, Bequest of Michael Friedsam, 1931, Metropolitan Museum, New York

Kedua gambar ini, bersama dengan peninggalan serupa lainnya, telah membentuk dasar tradisi ikonik tentang “gambar sejati” Kristus.

Dari perspektif sejarah seni, artefak-artefak ini memperkuat gambaran yang sudah baku tentang Kristus yang berjanggut dengan rambut hitam sebahu.

Pada masa Renaisans, para seniman Eropa mulai menggabungkan ikon dan potret, membuat Kristus dalam rupa mereka sendiri. Hal ini terjadi karena berbagai alasan, mulai dari mengidentifikasikan diri dengan penderitaan manusiawi Kristus hingga mengomentari kekuatan kreatif seseorang.

Albrecht Dürer. Albrecht Dürer/Alte Pinakothek Collections

Pelukis Sisilia abad ke-15, Antonello da Messina, misalnya, melukis gambar-gambar kecil berisi Kristus yang menderita yang diformat persis seperti potret-potretnya yang menggambarkan orang-orang biasa, dengan subjek yang diposisikan di antara tembok pembatas fiksi dan latar belakang hitam polos serta bertuliskan, “Antonello da Messina melukis saya.”

Seniman Jerman abad ke-16, Albrecht Dürer, mengaburkan batas antara wajah suci dan citranya sendiri dalam sebuah potret diri yang terkenal pada tahun 1500. Dalam potret ini, ia berpose secara frontal seperti ikon, dengan jenggot dan rambut sebahunya yang panjangnya mengingatkan kita pada Kristus. Monogram “AD” dapat berarti “Albrecht Dürer” atau “Anno Domini” - “pada tahun Tuhan kita.”

Berdasarkan wajah siapa?

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Eropa: Ada gambar-gambar Yesus dari abad ke-16 dan ke-17 dengan, misalnya, ciri-ciri wajah Etiopia dan India.

Namun, di Eropa, gambar Kristus Eropa berkulit terang mulai mempengaruhi bagian lain di dunia melalui perdagangan dan penjajahan Eropa.

‘Adorasi Orang Majus.’ Artist Andrea Mantegna. The J. Paul Getty Museum

Lukisan “Adorasi Orang Majus” karya pelukis Italia Andrea Mantegna dari tahun 1505 menampilkan tiga orang majus yang berbeda, yang menurut satu tradisi kontemporer, berasal dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Mereka menampilkan benda-benda mahal dari porselen, batu akik, dan kuningan yang merupakan barang impor berharga dari Cina dan kekaisaran Persia dan Ottoman.

Namun, kulit Yesus yang terang dan mata biru menunjukkan bahwa dia bukan orang Timur Tengah, melainkan kelahiran Eropa. Dan aksara Ibrani palsu yang disulam pada manset dan keliman Maria menunjukkan hubungan yang rumit dengan Yudaisme Keluarga Kudus.

Di Mantegna, Italia, mitos-mitos anti-Semitisme sudah lazim di antara populasi mayoritas Kristen, dengan orang-orang Yahudi sering dipisahkan ke tempat mereka sendiri di kota-kota besar.

Para seniman mencoba menjauhkan Yesus dan orang tuanya dari keyahudian mereka. Bahkan atribut yang tampaknya kecil seperti telinga yang ditindik - anting-anting dulunya diasosiasikan dengan wanita Yahudi, sedangkan melepasnya menandakan perpindahan ke agama Kristen - dapat mewakili transisi menuju agama Kristen yang diwakili oleh Yesus.

Di kemudian hari, kekuatan anti-Semitisme di Eropa termasuk Nazi akan berusaha untuk menceraikan Yesus secara total dari ke-Yahudiannya demi menyerupai stereotip kaum bangsa Arya.

Yesus kulit putih di luar negeri

Ketika bangsa Eropa menjajah daerah-daerah yang semakin jauh, mereka membawa Yesus Eropa bersama mereka. Para misionaris Yesuit mendirikan sekolah-sekolah seni lukis yang mengajarkan seni Kristen dengan gaya Eropa kepada para penganut Kristen baru.

Sebuah altar kecil yang dibuat di sekolah Giovanni Niccolò, seorang Yesuit Italia yang mendirikan “Seminari Pelukis” di Kumamoto, Jepang, sekitar tahun 1590, memadukan kuil emas dan mutiara tradisional Jepang dengan lukisan Madonna dan Anak yang jelas berkulit putih.

‘Pertunangan Mistik Santa Rosa dari Lima’ karya Nicolas Correa. Museo Nacional de Arte

Di masa kolonial Amerika Latin - yang disebut “Spanyol Baru” oleh para penjajah Eropa - gambar-gambar Yesus berkulit putih memperkuat sistem kasta di mana orang Eropa berkulit putih dan beragama Kristen menduduki tingkat teratas, sementara mereka yang berkulit lebih gelap karena dianggap berbaur dengan penduduk asli berada di tingkat yang lebih rendah.

Lukisan tahun 1695 karya seniman Nicolas Correa tentang Santa Rosa dari Lima, santa Katolik pertama yang lahir di “Spanyol Baru”, menunjukkan pernikahan metaforisnya dengan Kristus yang berambut pirang dan berkulit terang.

Warisan kemiripan

Cendekiawan Edward J. Blum dan Paul Harvey berpendapat bahwa pada abad-abad setelah penjajahan Eropa di Amerika, citra Kristus yang berkulit putih diasosiasikan dengan logika kekaisaran dan dapat digunakan untuk membenarkan penindasan terhadap penduduk asli dan orang Amerika keturunan Afrika.

Di Amerika yang multirasial tetapi tidak setara, ada representasi yang tidak proporsional dari seorang Yesus berkulit putih di media. Tidak hanya Kepala Kristus karya Warner Sallman yang digambarkan secara luas; sebagian besar aktor yang memerankan Yesus di televisi dan film berkulit putih dengan mata biru.

Gambar-gambar Yesus secara historis telah melayani banyak tujuan, mulai dari secara simbolis menampilkan kekuatannya hingga menggambarkan kemiripannya yang sebenarnya. Tetapi representasi itu penting, dan pemirsa perlu memahami sejarah yang rumit dari gambar-gambar Kristus yang mereka konsumsi.


Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now