Menu Close
Pria CGI besar muncul dari atas gedung sambil memegang bunga.

Seniman Hikikomori: kreativitas dan penemuan diri para penyendiri ekstrem di Jepang

Kata “hikikomori” dalam bahasa Jepang berarti “menarik diri”. Istilah ini diciptakan pada tahun 1998 oleh psikiater Jepang Profesor Tamaki Saito untuk menggambarkan fenomena sosial yang saat itu berkembang di kalangan anak muda. Mereka merasakan tekanan ekstrem untuk sukses di sekolah, pekerjaan, dan kehidupan sosial serta takut gagal, dan memutuskan untuk menarik diri dari masyarakat. Pada saat itu, diperkirakan sekitar satu juta orang memilih untuk tidak meninggalkan rumah atau berinteraksi dengan orang lain setidaknya selama enam bulan, bahkan ada yang sampai bertahun-tahun. Sekarang diperkirakan sekitar 1,2% dari populasi Jepang adalah hikikomori.

Ketika tren ini diidentifikasi pada pertengahan 90-an, istilah ini digunakan untuk menggambarkan laki-laki muda yang memilih untuk menyendiri. Namun, penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah hikikomori berusia paruh baya. Selain itu, banyak hikikomori perempuan yang tidak diakui karena ekspektasi yang terhadap mereka untuk mengambil peran domestik sehingga pengasingan diri mereka dari masyarakat dapat luput dari perhatian.

Peneliti manga Jepang, Ulrich Heinze dan Penelope Thomas, menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi perubahan halus dalam cara orang memahami fenomena hikikomori. Pergeseran ini terwujud melalui peningkatan kesadaran akan kompleksitas dari pengalaman hikikomori di media arus utama dan pengakuan akan tekanan sosial yang dapat menyebabkan penarikan diri secara sosial. Mereka berpendapat bahwa penolakan untuk menyesuaikan diri dengan “norma-norma” sosial (seperti perkembangan karier, pernikahan, dan menjadi orang tua) dapat dipahami sebagai tindakan menyendiri dan penemuan diri yang radikal.

Sejalan dengan perubahan citra ini, beberapa hikikomori memiliki kehidupan kreatif yang tinggi dan hal ini dapat mempertahankan hubungan antarmanusia yang vital. Sebelumnya, banyak orang terpaksa hidup dalam isolasi karena COVID-19. Meskipun hal ini tidak sama dengan menjadi hikikomori, kita dapat belajar dari berbagai cara mereka yang telah melewati, atau masih menjalani, pengalaman isolasi.

Tell me your emotional scars: luka itu indah

Seniman yang dulunya seorang hikikomori, Atsushi Watanabe, menjelaskan bahwa isolasi selama tiga tahun yang dialaminya dimulai dengan “beberapa tahap penarikan diri dari hubungan antar manusia, yang akhirnya membuat dirinya merasa benar-benar terisolasi”. Pada satu titik, ia hanya berbaring di tempat tidur selama lebih dari tujuh bulan. Baru setelah ia mulai melihat dampak negatifnya terhadap ibunya, ia dapat meninggalkan kamarnya dan terhubung kembali dengan dunia.

Tell me your emotional scars adalah proyek kreatif Watanabe yang tengah berlangsung oleh Watanabe. Dalam proyek ini, orang-orang dapat mengirimkan pesan anonim di sebuah situs web, dan berbagi pengalaman tentang rasa sakit emosional. Watanabe mengubah pesan-pesan tersebut menjadi lempengan beton, yang kemudian dipatahkan dan disatukan kembali dengan menggunakan seni tradisional Jepang, kintsugi.

Kinstugi melibatkan penyatuan pecahan keramik menggunakan pernis yang dicampur dengan bubuk emas. Ini juga merupakan filosofi yang menekankan pada seni ketahanan. Kerusakan bukanlah akhir dari sebuah benda atau sesuatu yang harus disembunyikan, tetapi sesuatu yang harus dirayakan sebagai bagian dari sejarah benda tersebut.

salah satu karya seniman hikikomori
Tell Me Your Emotional Scars. Atsushi Watanabe

Tell me your emotional scars dapat dipahami sebagai sublimasi dari rasa sakit emosional ini - menyampaikan perasaan negatif dan asosial melalui proses yang dapat diterima secara sosial, positif, dan indah. Karya-karya ini tak hanya merupakan bukti penderitaan, tetapi juga merayakan kemungkinan penyembuhan dan transformasi.

Bagi Watanabe, menjadi hikikomori sering kali merupakan manifestasi dari bekas luka emosional, dan ia ingin menciptakan cara alternatif untuk memahami pengalaman masa lalu yang belum terselesaikan. Watanabe mengajak kita untuk “mendengarkan suara-suara rapuh yang biasanya tidak dapat didengar”. Mendengarkan, dan berbagi pengalaman tentang kesulitan dan bahkan rasa sakit adalah salah satu cara untuk mengatasi meningkatnya kesepian yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19.

Pull Stay: memperjuangkan privasi

Seniman Nito Souji menjadi seorang hikikomori karena ia ingin menghabiskan waktunya melakukan “hanya hal-hal yang berarti”. Souji telah menghabiskan sepuluh tahun dalam isolasi untuk mengembangkan praktik kreatifnya, yang mengarah pada sebuah video game yang mengeksplorasi pengalaman hikikomori.

Trailer video game Pull Stay dibuka dengan adegan tiga orang masuk ke rumah seorang hikikomori. Pemain harus melawan penyusup sebagai alter-ego dari hikikomori itu yang berwujud robot dengan, misalnya, menggoreng mereka dengan adonan tempura atau menembakkan semangka ke arah mereka.

Tujuan dari Pull Stay adalah untuk melindungi rumah dan tempat tinggal karakter hikikomori. Dengan demikian, pemain mulai mewujudkan kebutuhan mendalam akan privasi. Pull Stay adalah bukti dari hasil kreatif yang bisa datang dari “kondisi pikiran” yang dimanfaatkan dengan baik. Souji menjelaskan proses kreatifnya sebagai, “memiliki harapan dan membuat sedikit kemajuan setiap hari. Hal itu berhasil bagi saya”.

Meski memilih untuk menarik diri dari masyarakat, mempertahankan harapan, dan hubungan secara tidak langsung melalui praktik kreatif telah membantu seniman seperti Souji menggunakan waktu ini untuk pengembangan diri. Tujuannya adalah, dan selalu, untuk dapat kembali ke masyarakat, tetapi dengan caranya sendiri.

Pengusaha Jepang terkenal Kazumi Ieiri, yang juga merupakan seorang penyendiri yang telah pulih, menggambarkan pengalaman hikikomori sebagai “situasi ketika ikatan antara diri kita dan masyarakat terputus”. Namun, lanjutnya, tidak perlu terburu-buru untuk merajut kembali ikatan sosial, lebih baik “mengikat simpul-simpul kecil, sedikit demi sedikit”.

Proses untuk kembali ke “kehidupan normal” mungkin akan berlangsung secara bertahap bagi sebagian besar dari kita, tetapi ekspresi kreatif dapat menjadi cara yang ampuh untuk berbagi pengalaman isolasi dan terhubung kembali dengan orang lain di dalam dan di luar karantina.


Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now