Menu Close

Sianida dalam makanan: bagaimana standarnya untuk keamanan pangan

Singkong merupakan salah satu sumber sianida alami. Dengan perendaman 72 jam, kandungan sianida bisa berkurang hingga 90%. Wikipedia

Sebuah film dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso, tayang di Netflix baru-baru ini. Film ini diangkat dari kasus nyata pembunuhan berencana pada 2016 di Indonesia yang dikenal sebagai kasus “Jessica sianida”.

Pengadilan menjatuhkan vonis bersalah pada Jessica yang terbukti membunuh sahabatnya, Wayan Mirna Salihin, lewat racun sianida di secangkir kopi di sebuah restoran di Jakarta.

Kasus ini memunculkan banyak pertanyaan tentang keamanan makanan di Indonesia. Sebab, berbeda dengan kasus sianida Jessica yang merupakan tindakan kriminal, sianida sebenarnya juga terdapat dalam berbagai bahan pangan secara alamiah, dalam pestisida dan industri.

Kita perlu memahami zat berbahaya ini dengan baik untuk mencegah kerusakan akibatnya.

Sianida yang bisa ditoleransi di makanan

Ada sejumlah tanaman yang mengandung senyawa glikosida sianogenik. Contohnya, singkong adalah salah satu sumber sianida alami yang paling dikenal.

Selain itu, sianida dapat muncul dalam makanan dari beberapa sumber seperti apel, aprikot, ceri, persik, plum, terutama di biji buah-buahan tersebut. Senyawa glikosida sianogenik ini juga ditemukan di almond, rebung bambu, biji rami, kacang lima, kacang polong, dan kacang mete.

Kandungan sianida dalam komoditas pangan yang sering dikonsumsi. Otoritas Kemanan Pangan Selandia Baru

Menurut Otoritas Keamanan Pangan Uni Eropa (EFSA), dosis sianida yang bisa membahayakan dalam tubuh manusia adalah antara 0,5-3,5 mg per kilogram berat badan jika dikonsumsi secara oral. Jumlah sianida dalam darah yang dianggap berbahaya berkisar antara 0,5 mg hingga 1,0 mg per liter darah.

Sementara jumlah yang bisa mematikan berkisar antara 2,5-3,0 mg per liter darah. Gejala keracunan akut sianida meliputi sakit kepala, pusing, kesulitan bernapas, dan bahkan kematian.

Sedangkan menurut aturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia No. 11 Tahun 2021, asam sianida tidak diperbolehkan ditambahkan langsung ke dalam pangan olahan. Asam sianida hanya boleh ada dalam pangan olahan secara alami atau sebagai hasil penambahan perisa alami.

Batas maksimum asam sianida dalam pangan olahan seperti makanan dan minuman adalah 1 mg per kilogram akibat penggunaan perisa.

Sianida di pestisida dan industri

Selain sianida alami dalam bahan pangan, ada juga sianida yang tidak terkandung dalam makanan. Ini terkait dengan penggunaan sianida dalam proses industri atau sebagai bahan kimia.

Misalnya, sianida dalam pestisida. Sianida dapat digunakan dalam pestisida kimia yang digunakan untuk mengendalikan hama di pertanian. Jika tidak digunakan dengan benar atau jika ada paparan berlebihan dalam komoditas hasil pertanian, pestisida ini dapat menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Selain itu, ada juga sianida dalam industri. Sianida digunakan dalam berbagai industri, terutama dalam penambangan emas dan pengolahan logam. Paparan sianida dalam lingkungan industri harus diawasi dan dikendalikan secara ketat untuk menghindari risiko terhadap pekerja dan lingkungan.

Penting untuk memahami perbedaan antara sianida alami dalam bahan pangan dan sianida yang tidak terkandung dalam makanan.

Berbagai teknik pengolahan yang tepat dapat menghilangkan sianogen. Efektivitasnya tergantung pada langkah-langkah pengolahan dan urutan yang digunakan, seringkali juga bergantung pada waktu yang digunakan.

Misalnya dengan proses perendaman. Merendam singkong selama 24 jam menghasilkan penurunan total kandungan sianida sebesar 13-52%. Setelah 48 jam, penurunan mencapai 73-75%, dan setelah 72 jam, kandungan sianida berkurang hingga 90%.

Namun, untuk menghasilkan pangan yang lebih aman untuk dikonsumsi, dibutuhkan pendekatan yang efektif. Contohnya, melalui penggabungan beberapa tahapan proses, yakni merendam singkong sebelum dikeringkan.

Dengan kombinasi pemrosesan ini, penghilangan sianogen dapat mencapai sekitar 97,8-98,7%. Ini berarti hampir semua sianogen dapat dihilangkan sehingga dapat meningkatkan tingkat keamanan makanan yang dihasilkan dari singkong.

Sementara sianida dalam industri atau pestisida memerlukan pengawasan ketat untuk menjaga keselamatan manusia dan lingkungan.

Senyawa kimia yang sering disalahgunakan

Sejak ditemukan senyawa sianida pada 1782 oleh ahli kimia terkenal asal Swedia, Carl Wilhelm Scheele, senyawa ini sering kali disalahgunakan sebagai bahan berbahaya, seperti kapsul beracun saat Perang Prancis-Prusia hingga Perang Dunia II.

Salah satu kasus yang terkenal adalah kasus “Tylenol Poisoning” pada 1982 di Amerika Serikat (AS). Seseorang dengan sengaja mencampurkan sianida dalam kapsul obat pereda nyeri Tylenol yang beredar di pasaran. Ini mengakibatkan kematian beberapa orang yang mengonsumsi produk tersebut dan mengarah pada perubahan signifikan dalam pengemasan obat-obatan untuk mencegah sabotase serupa.

Cara mendeteksi racun dalam makanan

Ilmu toksikologi pangan berperan penting dalam menyelidiki efek racun atau bahan beracun dalam makanan terhadap tubuh manusia.

Studi ini mencakup pengujian dan pemantauan makanan untuk mengidentifikasi kontaminan berbahaya seperti bakteri patogen, bahan kimia beracun, atau racun alami yang dapat membahayakan kesehatan kita.

Dalam penyelidikan kasus yang melibatkan sianida, ilmu toksikologi menggunakan berbagai metode analisis untuk mendeteksi racun ini dalam sampel makanan.

Salah satu metode yang umum digunakan adalah spektrometri massa. Metode ini memungkinkan identifikasi dan kuantifikasi sianida dalam sampel dengan presisi tinggi.

Teknologi ini memungkinkan ahli toksikologi untuk mengungkapkan apakah sianida ada dalam makanan, dalam jumlah berapa, dan apakah cukup untuk membahayakan kesehatan manusia.

Kita semua harus memainkan peran aktif dengan memahami sumber makanan, mengidentifikasi tanda-tanda produk yang mencurigakan, dan memberikan laporan ke otoritas pangan jika ditemukan masalah keamanan pangan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now