Menu Close

Skandal riset Unair: bolehkah KSAD perintahkan prajurit jadi “kelinci percobaan” uji klinik obat COVID-19?

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa (kanan) menerima hasil uji klinis tahap tiga obat baru untuk penanganan pasien COVID-19 dari Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih di Jakarta 15 Agustus 2020. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj

Skandal “lompat prosedur” riset obat COVID-19 dari Universitas Airlangga menimbulkan pertanyaan etis terkait prinsip kesukarelaan, terutama dalam hal kesediaan partisipan menanggung risiko dari uji coba obat.

Jika Kepala Staf TNI Angkatan Darat memerintahkan prajuritnya untuk menjadi “kelinci percobaan” uji klinik, apakah prinsip kesukarelaan masih bisa berjalan? Apakah cukup bermoral jika KSAD memerintahkan anggotanya mengambil risiko-risiko dari sebuah uji obat?

Riset Unair yang hasilnya tidak valid itu merupakan hasil kerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dan Badan Intelijen Negara. Sebagian peserta uji klinik kombinasi obat tersebut merupakan para prajurit aktif di Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat. Apakah kepesertaan mereka benar-benar secara sukarela sebagaimana digariskan dalam Cara Uji Klinik yang Benar (CUKB)-nya BPOM RI menjadi pertanyaan besar.

Kegaduhan uji klinik universitas dan militer ini telah menciptakan satu preseden menarik untuk didiskusikan dalam implementasi prinsip-prinsip etika riset. Jika prinsip kesukarelaan sulit diterapkan, apakah ada prinsip etika lain yang memungkinkan keikutsertaan para prajurit TNI ini?

Prinsip dasar jadi “kelinci percobaan”

Dalam riset obat, prinsip altruisme sangat kental dalam memutuskan keikutsertaan peserta uji klinik. Prinsip ini menggariskan adanya kemauan untuk berkorban dan berbuat baik untuk sesama. Inilah prinsip terpenting dalam keikutsertaan uji klinik.

Peserta uji klinik terdiri dari individu-individu yang bersedia untuk menanggung risiko kemungkinan timbulnya efek-efek negatif dari obat (atau vaksin) yang belum pernah diketahui sebelumnya. Risiko ini cukup signifikan karena obat, atau kombinasi obat, atau vaksinnya baru.

Satu-satunya informasi, jika ini uji klinik fase 3, adalah informasi kemungkinan risiko yang terungkap dari fase 1 dan fase 2. Namun, informasi risiko dari kedua fase awal ini terbatas karena memang hanya diujikan pada sebagian kecil peserta dengan tingkat kesehatan prima.

Di samping itu, para peserta uji klinik ini juga harus menerima kemungkinan bahwa yang dimasukkan ke dalam tubuhnya belum tentu obat atau vaksin sungguhan. Seluruh peserta diacak sehingga sebagian menerima sekadar plasebo. Mereka tidak akan tahu yang mana yang masuk tubuhnya sampai berakhirnya uji klinik.

Pengorbanan dari para peserta uji klinik ini diperlukan agar para ilmuwan dapat menentukan kemanjuran dan keamanan obat atau vaksin sebelum diberikan secara luas kepada masyarakat.

Aliran utama “prinsip kesukarelaan” (melarang)

Aliran utama atau “mainstream” yang dianut oleh pedoman Cara Uji Klinik yang Benar (CUKB)-nya BPOM RI melarang uji coba obat atas dasar perintah. Pedoman ini mengadopsi sepenuhnya pedoman internasional uji klinik The International Conference on Harmonization – Good Clinical Practice (ICH-GCP).

Dalam aliran ini, prinsip altruisme diharapkan terjadi dengan prinsip kesukarelaan. Prinsip ini mengharuskan adanya kesukarelaan dari setiap peserta uji klinik ketika mereka memutuskan mendaftarkan diri sebagai peserta. Apa hubungan altruisme dan kesukarelaan?

Hubungan altruisme dan kesukarelaan dapat dijelaskan dari asas otonomi yang mendasari perilaku sukarela. Asas otonomi menggariskan kebebasan seseorang untuk membuat keputusan yang mandiri, terbebas dari tekanan. Ketika seseorang membuat keputusan yang mandiri untuk melakukan sesuatu, maka dapat dikatakan dia secara sukarela melakukan hal tersebut.

Ketika seseorang memutuskan ikut secara sukarela, ia punya sederetan motivasi yang mendorong atau mencegahnya menjadi peserta uji klinik.

Jika dari deretan motivasi tersebut seorang calon pesert bebas menimbang baik buruk untuk dirinya dan masyarakatnya, diharapkan motivasi yang muncul bersifat altruistik. Kebebasan ini diperlukan untuk meminimalisasi potensi eksploitasi keikutsertaan seseorang dalam uji klinik.

Perintah pada prajurit menjadi peserta uji klinik merenggut asas otonomi atau kebebasan individu yang seharusnya melatarbelakangi keputusan menjadi peserta uji klinik. Mereka tidak punya pilihan lain selain mengikuti perintah. Jika perintah ini dilanggar, akibatnya akan terjadi insubordinasi, yang akan membawa konsekuensi serius bagi anggota yang melanggar.

Jalan keluar aliran ini dari kemungkinan terenggutnya asas otonomi adalah menerapkan proses rekruitmen melalui kaidah “informed consent”. Dalam kaidah ini, peserta diberi keterangan yang memadai mengenai manfaat dan risiko keikutsertaan mereka dalam uji klinik. Peserta diberi kesempatan bertanya dan berfikir sebelum mereka berpartisipasi dalam uji klinik atau tidak.

Namun dapat dibayangkan, dalam sistem kemiliteran yang menjunjung tinggi hierarki komando, seberapa besar kaidah informed consent ini dapat mencegah terenggutnya asas otonomi?

Aliran alternatif “prinsip penugasan” (membolehkan)

Walau sifat altruisme diharapkan tercapai dari proses yang sukarela, altruisme tidak sepenuhnya bergantung pada prinsip kesukarelaan. Seseorang dapat melakukan sesuatu secara sukarela karena motivasi atau proses selain altruisme.

Sebaliknya, altruisme juga dapat dicapai selain melalui proses yang sukarela. Keberadaan TNI itu sendiri didasari oleh prinsip altruistik bahwa mereka bertugas melindungi negara dan rakyat Indonesia dari serangan musuh.

Seseorang tidak dapat bergabung menjadi anggota TNI kecuali telah terpatri dalam dadanya keinginan untuk berkorban bagi tanah tumpah darah dan masyarakat. Hal ini tercantum sangat jelas dalam Sapta Marga yang terpatri dalam setiap sanubari anggota TNI: “…senantiasa siap sedia berbakti kepada negara dan bangsa”.

Jadi, sifat altruistik dalam keberadaan dan fungsi TNI tidak dilandasi oleh asas otonomi atau prinsip kesukarelaan. Dalam menjalankan tugasnya, seluruh anggota TNI tunduk kepada sistem hierarki komando yang ketat berdasarkan prinsip penugasan.

Jika keikutsertaan uji klinik bagi anggota TNI dapat disamakan dengan penugasan untuk pergi berperang, maka tidak ada seorang pun prajurit TNI yang perlu ditanyai kesukarelaannya ketika negara menugaskannya ke medan pertempuran.

Sifat altruisme, yang memang sudah menjadi bagian integral dari tugas dan tanggung jawab sebagai prajurit TNI, dalam hal ini dipenuhi melalui prinsip penugasan. Ketika seorang prajurit TNI menjalani suatu penugasan (misalnya untuk menjadi peserta uji klinik obat atau vaksin demi mengatasi pandemi) maka ia menjalaninya dengan latar belakang altruistik. Ini merupakan keinginan berkorban demi kebaikan masyarakatnya, seperti halnya ketika ia ditugaskan pergi berperang.

Tak hanya di Indonesia. Cina juga telah menyetujui penggunakan vaksin Sinovac untuk personel militernya walau belum ada hasil uji klinis fase 3 (uji coba dengan sampel ratusan hingga ribuan orang). Pada umumnya otoritas farmasi hanya dapat memberikan izin edar dan izin penggunaan obat atau vaksin baru setelah melalui uji klinik fase 3.

Aliran mana yang dipilih?

Prinsip kesukarelaan dan asas otonomi ditegakkan untuk menghindari terjadinya eksploitasi terhadap peserta uji klinik atau riset-riset lain, terutama dalam kaitannya dengan hubungan atasan-bawahan. Asas ini sangat penting karena pola hubungan atasan-bawahan atau superior-inferior ini kerap terjadi dalam banyak riset yang melibatkan manusia.

Namun, penerapan prinsip kesukarelaan di kalangan anggota militer dapat bertabrakan dengan sifat dasar keberadaan dan cara beroperasi TNI itu sendiri. Keberadaan TNI dan seluruh personelnya memang dipusatkan untuk melindungi bangsa, negara dan masyarakat. Bukan hanya dari ancaman militer tapi juga membantu menanggulangi akibat bencana alam dan pemberian bantuan kemanusiaan, seperti halnya wabah COVID19, sebagaimana tercantum dalam UU Tentara Nasional Indonesia.

Dalam operasinya menjalankan tugas tersebut, TNI wajib mengikuti garis komando yang juga diatur oleh UU yang sama. Kedua hal ini sulit untuk diakurkan dengan asas otonomi.

Oleh karena itu, prinsip kesukarelaan dan asas otonomi tidak mungkin dijalankan dalam menentukan kepesertaan anggota militer dalam sebuah uji klinik. Landasan moral kepesertaan mereka dapat diformulasikan dengan aliran alternatif, yaitu prinsip penugasan. Prinsip penugasan, dengan demikian, memberikan landasan moral bagi KSAD untuk memerintahkan anggotanya menjadi peserta uji klinik.

Dalam hal ini, tentu menjadi sangat penting untuk disadari bahwa tidak semua uji klinik boleh menggunakan prinsip penugasan. Apalagi dengan tujuan agar mudah merekrut peserta dari kalangan militer yang keutuhan dan staminanya sangat diperlukan dalam sistem pertahanan.

Demikian juga, prinsip penugasan tentu tidak relevan diterapkan pada masyarakat umum sebagai calon peserta uji klinik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now