Menu Close
Ilustrasi sistem pemerintahan berbasis elektronik. one photo/Shutterstock

Sudahkah ‘e-participation’ di Indonesia berjalan efektif?

Dunia, termasuk Indonesia, kini tengah dalam masa transisi dari e-Government (warga negara sebagai pelanggan) menuju We-Government (warga negara sebagai mitra). Dalam hal ini, e-Participation menjadi salah satu aspek yang paling penting dalam mewujudkannya.

E-Participation (electronic participation atau pelibatan masyarakat secara daring/elektronik) adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi agar warga bisa berpartisipasi dalam proses yang terkait dengan pemerintahan. Beberapa contohnya: proses pembuatan kebijakan publik, pengawasan, dan pengaduan masyarakat.

Pelaksanaan e-Participation diharapkan dapat menyambung kembali “jembatan yang putus” antara warga negara dengan para wakil rakyat, baik di legislatif maupun eksekutif, melalui dialog yang terbuka.

Indonesia sebenarnya mulai melangkah dalam membuka ruang partisipasi publik antara pembentuk undang-undang dengan masyarakat. Salurannya pun sudah banyak, mulai dari website hingga aplikasi yang bisa diunduh secara gratis melalui ponsel pintar.

Sayangnya, meski banyak kemajuan, saya menganggap ruang partisipasi digital belum efektif dalam melibatkan warga dalam penyelenggaraan pemerintahan ataupun perumusan kebijakan.

Langkah maju e-Participation di Indonesia

United Nations (UN) e-Government Survey 2022 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-77 untuk kinerja dalam pengembangan dan pelaksanaan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE).

Sejak tahun 2016 hingga kini, peringkat Indonesia dalam survei ini terus membaik. Indonesia masuk dalam grup High E-Government Development Index (EGDI) versi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2018.

Kenaikan terjadi karena peningkatan performa indeks pelayanan online (OSI), indeks infrastruktur telekomunikasi (TII), dan indeks sumber daya manusia (HCI). Dalam masing-masing penilaian tahun 2022, Indonesia mencatatkan skor yang cukup baik, yaitu skor 0,7644 untuk OSI, skor 0,6397 untuk TII, dan skor 0,7438 untuk HCI. Ketiga komponen tersebut sudah berada di atas skor rata-rata dunia.

Meski peringkat Indonesia terus membaik, Indonesia perlu terus berbenah menguatkan infrastruktur telekomunikasi yang menjadi poin terendah dalam penilaian EDGI 2022. Indonesia perlu bergegas mengejar ketertinggalan dari negara tetangga, seperti Singapura (peringkat 12), Malaysia (peringkat 53), Thailand (peringkat 55). Ketiganya masuk dalam grup Very High E-Government Development Index tahun lalu.

Di sisi lain, E-Participation Index Indonesia tahun 2022 menempati peringkat 37 dari 193 negara yang dinilai oleh PBB.

Pada 2022 Indonesia berhasil melompat naik 20 peringkat dan meraih skor 0,71590. Skor tersebut ada di atas skor rata-rata dunia 0,4450, di atas rata-rata regional Asia 0,5024, dan rata-rata regional Asia Tenggara dengan skor 0,5444.

Penilaian ini didasarkan pada tiga aspek utama: E-information, yang berfokus pada ketersediaan informasi dari pemerintah kepada masyarakat; E-consultation, yang memberi ruang partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan kontribusi pada kebijakan dan layanan publik; serta E-decision making, yang memberdayakan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan.

Berdasarkan penilaian tersebut, Indonesia masuk dalam negara dengan kategori high E-participation index. Unggul sedikit dari Malaysia yang berada dalam kategori sama dan menduduki peringkat ke-47. Capaian Indonesia pada index ini dapat dikaitkan dengan kemajuan yang dibawa oleh implementasi Peraturan Presiden No. 95 Tahun 2018 tentang SPBE serta dampak inisiatif digitalisasi pengaduan pelayanan publik SP4N LAPOR! sejak tahun 2015.

Selain kemajuan dalam E-Participation Index, dalam beberapa tahun terakhir juga ada perkembangan regulasi terkait e-Participation di Indonesia. Salah satunya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Putusan ini menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation).

Peluncuran aplikasi Sistem Bangun Karakter Terintegrasi (Sibakti) di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dinas Dikbud) Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Oky Lukmansyah/Antara Foto

Putusan MK tersebut kemudian diakomodasi dalam Pasal 96 UU No. 13 tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur mengenai partisipasi publik. Pasal ini mengatur bahwa partisipasi masyarakat dapat dilakukan baik secara offline maupun online. Pada titik inilah e-Participation di Indonesia mendapatkan keabsahannya.

Banyak saluran, minim tanggapan

Ada banyak saluran e-Participation di Indonesia. Lembaga DPR RI, misalnya, punya aplikasi DprNow! yang dirilis tahun 2018. Belum sampai sebulan sejak diluncurkan pada 29 Agustus 2018, jumlah pengguna aktif aplikasi ini sudah mencapai lebih dari 5.150 akun.

Namun, ketika saya melakukan penelusuran di Google Play Store, per 4 Agustus 2023, aplikasi ini tidak dapat ditemukan. Di App Store, aplikasi ini masih dapat ditemukan. Namun, saya tidak bisa menjelaskan isinya lebih jauh. Sebab, saya telah mencoba berulang kali melakukan registrasi di aplikasi ini tetapi selalu gagal dengan keterangan: “URLSessionTask failed with error: Could not connect to the server”.

Pada level pemerintah daerah, ada aplikasi e-Perda yang digagas oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri. Aplikasi ini diluncurkan secara resmi pada 9 Maret 2022 dan menawarkan fitur “Klarifikasi” yang bisa digunakan oleh publik untuk berpartisipasi dalam penyusunan peraturan daerah (perda) maupun peraturan kepala daerah (perkada).

Ada pula kanal e-partisipasi.peraturan.go.id yang dirilis oleh Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bulan Oktober tahun 2022. Kanal ini menyediakan fitur konsultasi publik yang memberikan kesempatan bagi masyarakat luas untuk memberi masukan bagi peraturan perundang-undangan di level pemerintah pusat, mulai dari rancangan undang-undang (RUU) hingga rancangan peraturan menteri (RPermen).

Salah satu kanal e-Participation terbaru adalah partisipasisehat.kemkes.go.id yang digagas oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menampung masukan dan tanggapan terkait penyusunan materi RUU Kesehatan. Dalam situs ini, publik dapat mengunduh naskah RUU dan memanfaatkan fitur Masukan & Pertanyaan.

Inisiatif-inisiatif lembaga negara dalam membangun kanal-kanal ini dan pembukaan ruang untuk menerima masukan publik patut diapresiasi.

Namun demikian, ternyata belum ada bukti kanal-kanal ini bisa berfungsi efektif dalam melakukan komunikasi dua arah dengan publik.

Tidak siap berdiskusi dengan warga

Setidaknya ada tiga prasyarat yang membuat partisipasi publik bermakna, yaitu adanya hak untuk didengar (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Warga melihat kualitas udara melalui aplikasi Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) net saat Festival Ayo Birukan Lagi Langit Jakarta di kawasan Bundaran HI, Jakarta. Asprilla Dwi Adha/Antara Foto

Kanal-kanal yang disebutkan di atas, sejauh yang saya cermati, baru berhasil mewadahi masukan masyarakat. Sementara, dalam hal mempertimbangkan pendapat dan memberikan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan, efektivitasnya masih diragukan.

Kebanyakan platform yang dibuat lembaga pemerintah maupun DPR masih bersifat formalitas, satu arah, dan sementara. Belum ada platform tetap yang memberi keleluasaan masyarakat untuk memantau masukan dan mendapatkan umpan balik dari masukan yang mereka berikan.

Mayoritas masukan warga di kanal-kanal tersebut ditanggapi oleh admin dengan ucapan terima kasih. Belum pernah terlihat adanya adu pendapat yang rasional, egaliter, dan menarik melalui kanal-kanal yang sudah ada. Seakan dengan diciptakan kanalnya saja sudah cukup, urusan bermakna atau tidak, itu urusan nanti.

Bagi masyarakat, banyaknya situs dan aplikasi sejenis ini justru membingungkan mereka dalam memilih portal untuk menyampaikan aspirasinya.

Belajar dari Amerika

Dua dekade yang lalu, pemerintah Amerika Serikat (AS) meluncurkan laman Regulations.gov sebagai bagian dari program eRulemaking. Kanal Regulations.gov bertujuan menghapus hambatan logistik yang sebelumnya menghalangi warga untuk berpartisipasi dalam proses regulasi yang kompleks. Dengan menggunakan situs ini, masyarakat umum dapat berpartisipasi dan memengaruhi peraturan dan regulasi di level pemerintahan federal.

Regulations.gov terbuka untuk umum dan menyediakan akses satu atap ke berkas (dockets) yang diterbitkan oleh badan-badan federal yang menjadi mitra. Publik dapat berlangganan surel pemberitahuan aktivitas untuk berkas (dockets) tertentu, mengomentari dokumen, dan menjelajahi komentar dari masyarakat lainnya. Komentar dapat diunggah secara anonim atau dengan informasi pengenal.

Penggunaan situs Regulations.gov telah meningkat secara signifikan sejak debut pertamanya. Situs ini menerima 3,8 juta kunjungan pada tahun 2020 dan lebih dari 614.000 komentar publik melalui formulir situs.

Melihat kembali ke Indonesia, inisiatif untuk memfasilitasi partisipasi publik secara daring memang sudah ada, tapi masih terfragmentasi dan sekadar menggugurkan kewajiban. Konsistensi pemerintah federal AS menghimpun masukan warga melalui kanal Regulations.gov patut untuk ditiru.

Akhirnya, perjalanan kita menuju We-Government, nampaknya masih teramat jauh.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now