Menu Close

Survei sebelum perang tunjukkan warga Gaza lebih peduli memerangi kemiskinan daripada perlawanan bersenjata

A woman in a headscarf walks past a mural of people flashing 'V' peace signs and holding Palestinian flags.
Seorang perempuan berjilbab berjalan melewati mural orang-orang yang mengacungkan tanda perdamaian ‘V’ dan memegang bendera Palestina. Mohammed Abed/AFP via Getty Images

Di tengah eskalasi perang Israel-Hamas, para pengamat di kawasan dan internasional terus membuat asumsi mengenai dukungan publik Gaza terhadap Hamas.

Asumsi-asumsi yang keliru, seperti yang dibuat oleh kandidat presiden Amerika Serikat (AS) Ron DeSantis, yang mengklaim bahwa semua warga Gaza adalah “antisemit”, atau yang menyalahkan warga Gaza karena “memilih Hamas”, dapat menyebabkan perdebatan bukan hanya tentang bagaimana publik memandang perang ini, tapi juga memengaruhi datangnya bantuan untuk warga Gaza ke depannya.

Setiap upaya rekonstruksi atau bentuk distribusi bantuan ke depannya mungkin akan mempertimbangkan ketakutan terhadap adanya pemberontak Hamas tengah-tengah populasi Gaza.

Dalam penelitian saya sendiri mengenai Jihadi-Salafisme dan Islamisme, saya menemukan bahwa gerakan-gerakan militan telah memprovokasi intervensi militer untuk mengeksploitasi kekacauan yang terjadi. Selain itu, kelompok-kelompok semacam itu sering kali mengklaim bahwa mereka memerintah demi kepentingan “sah” orang-orang yang yang mendukungnya bahkan meskipun sebagian besar penduduknya menolak keberadaan mereka.

Seperti yang telah diamati oleh beberapa pengamat, Hamas kemungkinan besar berharap untuk tidak hanya mendorong respons yang berlebihan dari Israel, tetapi juga menggunakan kekerasan setelah intervensi untuk menumbuhkan ketergantungan Gaza terhadap mereka dan untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan kebijakan dalam negerinya.

Politikus dan Gaza

Para pemimpin dalam konflik, baik dari kubu pemerintah Israel maupun organisasi Hamas, selalu membuat pembenaran atas tindakan mereka masing-masing. Seringkali, mereka menggunakan persepsi mereka sendiri–tapi mereka mengklaim itu adalah opini publik Gaza–untuk mencapai tujuan dan kepentingan mereka sendiri.

Sebagai contoh, Ismail Haniyeh, Kepala Biro Politik Hamas, mengklaim bahwa tindakan Hamas itu mewakili keinginan warga Gaza dan “seluruh komunitas Muslim Arab.” Bagi Haniyeh, penggunaan kekerasan oleh Hamas adalah atas nama warga Palestina yang telah diserang di kompleks Masjid Al-Aqsa pada September 2023, atau yang telah menderita akibat pasukan Israel selama ini, atau pemukim di Tepi Barat.

Sementara itu, Presiden Israel Isaac Herzog menginginkan agar semua warga Gaza menanggung tanggung jawab bersama akibat ulah Hamas. Akibatnya, ia menyimpulkan, Israel akan bertindak untuk mempertahankan kepentingannya sendiri terhadap Gaza dan rakyatnya.

Pemerintah AS, yang cenderung berhati-hati untuk tidak mengutuk pengeboman Israel, justru mencari pendekatan yang lebih luas terhadap eskalasi tersebut. Dalam sebuah wawancara dan melalui media sosialnya, Presiden AS Joe Biden mengamati bahwa “mayoritas warga Palestina tidak ada hubungannya dengan serangan Hamas yang mengerikan dan sebaliknya, ikut menderita akibat serangan tersebut.” Penderitaan semacam itu, kata Biden, pada akhirnya mengharuskan dihentikannya “pengepungan total” oleh Israel terhadap Gaza.

Dalam setiap contoh, para politikus menggunakan asumsi mereka tentang warga Gaza untuk mendukung kebijakan mereka. Padahal nyatanya warga Gaza merasakan kebijakan-kebijakan tersebut dengan cara dan sudut pandang yang berbeda.

Penduduk Gaza memiliki pandangan beragam tentang Hamas

Jika neninjau opini publik Gaza dari waktu ke waktu, terlihat adanya rasa keputusasaan yang terus berlanjut di bawah blokade Israel.

Survei pada Juni 2023 yang dilakukan oleh Khalil Shikaki, profesor ilmu politik dan Direktur Palestinian Center for Policy and Survey Research, mengindikasikan bahwa 79% warga Gaza mendukung perlawanan bersenjata terhadap pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Survei oleh Washington Institute pada Juli 2023 menemukan bahwa hanya 57% warga Gaza yang memiliki opini “agak positif” terhadap Hamas.

Analisis lebih lanjut atas survei tersebut mengungkap nuansa cerita lainnya. Pada 2018, sekitar 25% perempuan di Gaza berisiko meninggal saat melahirkan, 53% warga Gaza hidup dalam kemiskinan, dan layanan perawatan kesehatan yang penting sangat terbatas. Pada tahun yang sama, Shikaki menemukan semakin banyak warga Gaza yang tidak puas dengan pemerintahan Hamas, dengan hampir 50% berharap untuk bisa meninggalkan Gaza sepenuhnya.

Survei Washington Institute pada Juni 2023 menemukan bahwa 64% warga Gaza kerap menuntut perbaikan layanan kesehatan, pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan normal–alih-alih “perlawanan” yang diklaim oleh Hamas. Lebih dari 92% warga Gaza menyatakan kemarahannya atas kondisi kehidupan mereka.

Selain itu, seperti yang dilaporkan Shikaki, lebih dari 73% percaya bahwa pemerintah Hamas korup. Namun, warga Gaza hanya melihat sedikit harapan untuk perubahan pemilihan umum (pemilu). Dengan tidak adanya pemilu sejak 2006, mayoritas warga Gaza yang masih hidup saat ini belum cukup umur untuk memilih Hamas.

Penduduk Gaza pun tidak sepenuhnya mendukung perlawanan bersenjata. Ketika Hamas secara terbuka memerangi Otoritas Palestina–yang memerintah Tepi Barat dan mempertanyakan keabsahan kemenangan Hamas–dan mengambil alih kendali atas Jalur Gaza pada 2007, lebih dari 73% warga Palestina menentang perebutan itu dan menginginkan konflik bersenjata dihentikan.

Pada saat itu, kurang dari sepertiga warga Gaza mendukung aksi militer terhadap Israel. Lebih dari 80% mengutuk penculikan, pembakaran, dan kekerasan yang tanpa pandang bulu.

Pergeseran dukungan warga Gaza terhadap Hamas

Jika dibaca dari waktu ke waktu, survei terhadap warga Gaza dari 2007 hingga 2023 membantu menjelaskan bahwa dukungan warga Gaza terhadap perlawanan bersenjata tumbuh seiring dengan meningkatnya rasa frustrasi, kemarahan, dan rasa putus asa terhadap solusi politik apapun atas penderitaan mereka.

Pada 2017, akademisi yang fokus dalam isu ekonomi Palestina dan Islamisme, Sara Roy, menganalisis tentang toleransi Gaza terhadap Hamas. Ia mendapati bahwa “hal yang baru adalah adanya rasa putus asa, yang dapat dirasakan dalam batas-batas yang sekarang bersedia dilewati oleh orang-orang, batas-batas yang dulunya tidak dapat diganggu gugat.”

Penduduk Gaza, menurut Roy, khususnya 75% yang berusia di bawah 30 tahun, merasakan kedekatan yang sangat beragam terhadap ideologi Hamas atau klaim legitimasi Islam. Hamas, kata mereka, membayar gaji bagi pekerja, ketika hanya sedikit organisasi lain yang mampu melakukannya. Risiko menjadi target tentara Israel merupakan risiko yang dapat ditoleransi dan dapat diterima–selama mereka digaji.

A man in a cap paints the word Hamas in large letters on a wall.
Seorang pendukung Hamas menunjukkan dukungannya di Gaza menjelang pemilihan umum tahun 2006. Mahmud Hams/AFP via Getty Images.

Pada 2019, 27% warga Gaza menyalahkan Hamas atas kondisi kehidupan mereka. Dalam survei yang sama, 55% mendukung rencana perdamaian apapun yang mencakup negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota dan penarikan Israel dari semua wilayah pendudukan.

Pada 2023, ketika warga Gaza yang disurvei oleh Shikaki menyatakan dukungan mereka terhadap perlawanan bersenjata, mereka melakukannya dengan keyakinan bahwa hanya perlawanan semacam itu–bukan politik elektoral–yang akan dapat melonggarkan blokade dan pengepungan Israel. Namun, pada saat yang sama, mereka yang disurvei juga menyatakan kelelahan dengan korupsi yang dilakukan Hamas dan semakin maraknya pengangguran serta kemiskinan di Gaza.

Keputusasaan warga Palestina dan tujuan Hamas

Harapan untuk kembali ke kehidupan normal tampaknya telah hilang bagi banyak masyarakat Gaza, karena Hamas telah mengklaim tindakan mereka sebagai “perlawanan yang sah”.

Dengan terhentinya negosiasi damai di Gaza sejak 2001, pemilu ditunda, pergerakan keluar dari Gaza menjadi mustahil, dan sekarang terjadi krisis kemanusiaan yang semakin parah. Kini seluruh generasi Gaza hanya memiliki sedikit pilihan.

Several people, including women and children, running out of their homes. Behind them are some partially damaged buildings.
Keluarga Palestina berhamburan keluar dari rumah setelah serangan udara Israel menyasar lingkungan mereka di Kota Gaza, Jalur Gaza tengah, pada 17 Oktober 2023. AP Photo/Abed Khaled

Kematian di mana-mana,” kata Omar El Qattaa, 33 tahun, seorang fotografer yang tinggal di Gaza, “dan kenangan terhapus.”

Meskipun survei tahun 2023 mengindikasikan bahwa mayoritas warga Gaza menentang gencatan senjata dengan Israel, Hamas tetap melancarkan serangan pada bulan Oktober–bertentangan dengan keinginan rakyat. Rasa putus asa yang dirasakan oleh El Qatta, dan jutaan warga Gaza lainnya, berisiko dimanfaatkan bagi Hamas. Seperti yang ditulis oleh Matthew Leavitt, seorang akademisi peneliti Hamas, Hamas melihat politik, amal, kekerasan politik, dan terorisme sebagai alat yang saling melengkapi dan sah untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya.

Seperti yang dikatakan oleh Khaldoun Barghouti, seorang peneliti Palestina yang berbasis di Ramallah, pengeboman yang dilakukan oleh Israel telah mengurangi rasa frustrasi warga Gaza terhadap Hamas–setidaknya dalam jangka pendek. Serangan-serangan semacam itu “mengubah kesalahan Hamas (atas serangan di Israel) menjadi kemarahan yang lebih besar terhadap Israel.”

Bagaimana hal ini akan diterjemahkan ke dalam dukungan untuk alternatif bagi Hamas dalam beberapa bulan ke depan masih harus dipantau lagi. Banyak hal akan bergantung pada bagaimana para pemangku kepentingan internasional mendapatkan kembali kepercayaan warga Gaza sembari membantu mereka menemukan alternatif yang berarti bagi pemerintah dan gerakan militan yang mereka anggap korup dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka itu.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now