Menu Close

Tantangan pekerja migran domestik di Singapura dan Hong Kong selama pandemi: beban kerja bertambah, rumah tidak selamanya menjadi tempat aman

Pekerja migran Indonesia menjalani karantina setelah kepulangan.
Pekerja migran Indonesia. Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).

Penerapan pembatasan sosial (social distancing) yang dilakukan oleh hampir seluruh negara di dunia guna mencegah penyebaran COVID-19, antara lain dengan karantina dan isolasi, telah membawa perubahan besar dan signifikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat global.

Para pekerja migran domestik (Foreign Domestic Workers/FDW) Indonesia menjadi salah satu kelompok yang terdampak oleh kebijakan pandemi tersebut, termasuk mereka yang bekerja di Hong Kong dan Singapura. Hong Kong merupakan tujuan terbesar para pekerja migran tersebut, sementara Singapura juga menjadi salah satu negara tujuan populer karena letaknya yang secara geografis dekat dengan Indonesia.

Media The Strait Times mencatat bahwa pada tahun 2020 terdapat setidaknya 127.000 pekerja migran domestik Indonesia di Singapura. Sementara itu, Departemen Imigrasi Hong Kong memperkirakan bahwa 44% dari total pekerja migran di negara itu berasal dari Indonesia.

Pekerja migran domestik Indonesia yang bekerja di Hong Kong dan Singapura, sesuai dengan peraturan setempat, harus bertempat tinggal di rumah pemberi kerja (live-in).

Dari sudut pandang pemberi kerja yang biasanya juga sekaligus pemilik rumah, kebijakan pembatasan sosial, khususnya skema Work From Home (WFH), membuat mereka bisa bekerja dari rumah dengan nyaman, serta aman dan terlindungi dari kemungkinan tertular virus corona.

Namun, bagi para pekerja migran domestik, aturan pembatasan sosial, sistem kerja WFH, dan anjuran pemerintah untuk “stay at home” memberikan beban dan tantangan tersendiri, di antaranya berupa peningkatan jam kerja dan penambahan jenis pekerjaan.

Kepada kami, tim peneliti dari Monash University Malaysia dan Universitas Multimedia Nusantara Indonesia, sejumlah pekerja migran domestik yang bekerja di Hong Kong dan Singapura menceritakan tantangan yang mereka hadapi selama masa pandemi. Semua responden yang disebutkan di tulisan ini menggunakan nama samaran.

Beban kerja yang melampaui batas

Ruang lingkup pekerjaan domestik sudah dijabarkan dalam Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organisation/ILO) Nomor 189. Ruang lingkup versi ILO itu sejalan dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmen) Ketenagakerjaan No. 1 tahun 2015 tentang 7 jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh pekerja migran Indonesia yang bekerja di sektor domestik atau rumah tangga, yaitu meliputi: pengurus rumah tangga (housekeeper), penjaga bayi (baby sitter), tukang masak (family cook), pengurus lansia (caretaker), supir keluarga (family driver), tukang kebun (gardener) dan penjaga anak (child care worker).

Pada praktiknya, jenis pekerjaan di atas mencakup berbagai urusan di dalam rumah secara umum dan keseluruhan. Akibatnya, indikator dan pembagian jenis pekerjaan pun menjadi kabur. Padahal, mengingat banyaknya jeni pekerjaan domestik tersebut, seharusnya ada batasan yang jelas untuk setiap jenis pekerjaan, sehingga pekerja migran domestik memahami jenis tugas apa yang harus mereka kerjakan, dan kedua belah pihak - pekerja maupun pemberi kerja memahami hak-hak dan kewajiban mereka.

Penelitian kami menemukan bahwa sejak penerapan pembatasan sosial dan WFH, para pekerja migran domestik Indonesia di Hong Kong dan Singapura harus merangkap beberapa pekerjaan sekaligus dalam satu waktu. Yang awalnya hanya mengurus rumah tangga, kini mereka juga harus memasak, menjaga anak, serta mengurus lansia.

Rana adalah salah satunya. Perempuan berusia 40 tahun ini sudah bekerja sebagai pekerja migran domestik di Hong Kong selama 15 tahun. Awalnya Rana hanya bertugas menjaga anak majikannya, tapi kini ia juga harus bekerja menjaga orang tua majikannya. Ini karena orang tua majikannya yang semula mengikuti ‘sekolah lansia’, sekarang harus tinggal di rumah karena sekolah itu tutup akibat pandemi.

Apa yang dialami Rana tidak jauh berbeda dengan Wita (28 tahun), yang sudah bekerja di Singapura selama 5 tahun. Beban kerjanya bertambah dan ia pun harus melakukan beberapa jenis pekerjaan sekaligus. Karena kesibukannya melayani seluruh penghuni rumah yang WFH, ia hampir tidak punya waktu untuk bisa menghubungi keluarganya, termasuk kedua orang tuanya yang kini merawat anak balita Wita di Indonesia. Waktu rehat yang terampas juga membuat Wita tidak bisa mengakses hiburan dan media sosial, seperti YouTube, Facebook dan Instagram dan ‘memulihkan’ pikiran dan fisik dari kepenatan.

Tina (37 tahun), pekerja migran domestik di Singapura, mengatakan bahwa sebelum pandemi, ia hanya bertugas menjaga lansia – orang tua dari majikannya – dan tidak bertugas mengurus rumah atau memasak, karena semua anggota keluarga berangkat kerja ke kantor dan sekolah.

“Tapi, sejak sistem WFH, aku harus masak untuk semua keluarga yang ada di rumah. Kerjaanku jadi bertambah,” ungkap Tina.

Pengawasan berlebihan

Beberapa pekerja migran domestik menggambarkan kondisi mereka selama pandemi “bagai ikan dalam botol”. Mereka mengaku bahwa banyak majikan yang meningkatkan pengawasan terhadap para pekerja domestik mereka, baik secara digital maupun tatap muka. Hal tersebut dilakukan bukan hanya untuk memastikan para pekerja melakukan tugasnya dengan baik, namun juga untuk memastikan bahwa rumah mereka ‘aman’ dan ‘steril’ dari virus corona.

Salah satu responden kami di Hong Kong, Ati (31 tahun), mengaku mengalami perlakuan yang menurutnya diskriminatif.

“Kalau keluar rumah, padahal disuruh majikan, pulangnya saya harus bebersih badan sampai pakai alkohol. Makan dan minum, serta pemakaian peralatan dapur seperti sendok, itu diawasi. Saya harus pakai gelas dan piring saya sendiri, dipisahkan dari yang lain,” ujar Ati.

Praktik ini secara tidak langsung telah melanggengkan stigma bahwa pekerja domestik itu ‘kotor’ dan – dalam konteks pandemi – adalah pembawa virus (virus carrier).

Perlakuan diskriminatif serupa ternyata tidak hanya dilakukan oleh majikan, namun juga masyarakat sekitar. Cika (28 tahun), pekerja migran domestik di Singapura yang tinggal di apartemen bersama majikannya, mengatakan bahwa ketika ia pulang dari pasar, penghuni apartemen lainnya dan petugas keamanan gedung menyuruh mereka menggunakan lift yang berbeda.

Secara mental, perlakuan ini membuat para pekerja migran domestik ini merasa stres dan tertekan. Konsep ‘rumah’, yang selama masa pandemi seharusnya menjadi tempat berlindung yang aman, ternyata penuh dengan ketimpangan sistem relasi kuasa antara pemberi kerja dan pekerja.

Kaburnya makna ‘rumah’ sebagai ruang kerja membuat pekerja migran domestik kehilangan perlindungan dan hak-hak mereka bukan hanya sebagai pekerja, namun juga sebagai manusia yang berhak mendapat akses setara terhadap perlindungan dari kemungkinan terpapar Covid-19 di negara setempat.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa para pekerja migran domestik ini membutuhkan perlindungan ketenagakerjaan yang lebih pasti, paling tidak untuk menjamin kesehatan mental mereka selama bekerja.

Harapan para responden yang diungkapkan kepada tim peneliti adalah mereka bisa lebih dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Mereka berharap kebijakan yang akan diambil ke depannya mampu menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai pekerja, manusia, dan warga negara.

Dalam konteks pandemi COVID-19, mereka berharap ada kebijakan yang dapat memastikan dan menjamin kemudahan pengurusan izin pulang dan karantina, jaminan waktu istirahat, jam kerja yang manusiawi, akses pada alat komunikasi dan informasi, akses perlindungan kesehatan (bukan hanya terkait COVID-19, namun juga kesehatan mental), jaminan untuk bisa terus meningkatkan kapasitas lewat pendidikan atau pelatihan, dan jaminan untuk dapat berkumpul dengan komunitas pekerja migran domestik lainnya meskipun hanya secara daring.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now