Menu Close

Tiga tantangan pengecekan fakta di Asia Tenggara

Amid the COVID-19 pandemic, Southeast Asian governments not only have to deal with the virus but also with the false information surrounding it. Di tengah pandemi COVID-19, pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara tidak hanya harus menghadapi virus, tapi juga dengan informasi palsu yang berada di sekitarnya.

Seperti banyak wilayah lain di dunia, Asia Tenggara telah mengalami polusi informasi di ruang publik.

Penyebaran hoaks informasi tidak terverifikasi tidak terkendali. Masalah ini terutama terdapat pada situs media sosial dan aplikasi pengirim pesan seperti WhatsApp dan Telegram.

Kampanye disinformasi menggunakan pasukan siber untuk menyebarkan retorika kebencian dan konten hiper-partisan telah menjadi bagian dari trik komunikasi partai-partai politik di Asia tenggara.

Sekarang, di tengah-tengah pandemi COVID-19, pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara tidak hanya harus menghadapi virus, tapi juga informasi palsu yang menyertainya.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara telah memperkenalkan beberapa cara untuk menghadapi masalah ini.

Ini termasuk memberlakukan undang-undang (UU) terkait berita palsu dan membentuk badan-badan pengecekan fakta pemerintah.

Jumlah badan pengecekan fakta independen untuk menghadapi polusi informasi meningkat di kawasan ini karena gejala manipulasi online sebagai bagian dari perang politik sudah terlihat secara terang-terangan.

Namun, badan-badan pengecekan fakta ini hanya menjadi populer di mata publik yang setelah krisis pandemi pada Februari 2020.

Pengecekan fakta di Asia Tenggara menghadapi beberapa tantangan yang unik. Artikel ini akan menyoroti ketiga tantangan tersebut berdasarkan interaksi saya akhir-akhir ini bersama pengecek fakta, peneliti, dan jurnalis di Asia Tenggara.

Kurangnya sumber daya

Salah satu tantangan yang dihadapi pengecek fakta adalah begitu banyaknya konten yang dibuat oleh pengguna internet.

Dengan jumlah pengecek fakta yang terbatas, pengecekan fakta terhadap semua konten yang ada menjadi tantangan yang sulit untuk diselesaikan.

Aribowo Sasmito, salah satu pendiri Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), mengatakan kepada saya bahwa banyak hoaks tersebar setiap harinya melalui internet.

Jumlah konten yang besar menyebabkan pengecek fakta sulit memilih konten yang mana untuk diverifikasi.

Oleh karena itu, solusi yang paling mudah adalah fokus pada konten yang viral di media sosial atau aplikasi pengirim pesan seperti WhatsApp, atau yang diyakini merugikan publik.

Namun, hal ini memunculkan pertanyaan bagi para akademisi dan pengamat. Apakah ini artinya misinformasi yang lain tidak begitu penting dibandingkan konten yang viral?

Tantangan lain yang disoroti oleh para jurnalis adalah tidak memiliki banyak waktu untuk mengecek fakta sembari berusaha menjadi yang pertama menghadirkan berita sela (breaking news).

Beberapa jurnalis Asia Tenggara mengungkapkan bahwa sebagian mereka merasa cemas terkait minimnya dokumentasi untuk membuktikan tuduhan beberapa orang dalam isu-isu sensitif.

Masalah ini terutama lazim terjadi ketika konten yang bermasalah berkaitan dengan sejarah atau tuduhan dengan motif politik setempat.

Tidak adanya dokumen atau materi sebagai referensi menyebabkan para jurnalis sulit memeriksa informasi yang dibagikan oleh sumber mereka.

Beragam bahasa

Tantangan kedua adalah penggunaan bahasa yang berbeda-beda dalam pembuatan konten online. Akibatnya, pengecek fakta melewatkan hoaks yang tersebar di antara kelompok orang yang berbicara menggunakan bahasa daerah, bukan bahasa nasional atau bahasa yang digunakan kebanyakan orang.

Di Asia Tenggara paling tidak terdapat 1.000 bahasa dan dialek yang dipakai.

Hal ini memunculkan kekhawatiran bagi para peneliti terkait bagaimana caranya memastikan pengecek fakta tidak melewatkan informasi palsu yang dibagikan menggunakan bahasa yang kurang populer, dengan pertimbangan bahwa orang-orang di Asia Tenggara masih berkemampuan rendah dalam mendeteksi informasi yang keliru.

Pengecek fakta juga mencatat bahwa ketidakmampuan publik untuk memahami konten dalam konteks budaya yang berbeda-beda juga menyebabkan penyebaran misinformasi.

Konten atau unggahan budaya yang beredar dalam bahasa berbeda bisa saja salah dimengerti saat diterjemahkan atau diinterpretasikan dengan informasi yang disajikan tanpa konteks sesungguhnya.

Meeko Angela Camba dari VERA Files, lembaga pengecekan fakta di Filipina, mengatakan bahwa pengecek fakta menghadapi masalah dalam membuktikan kesalahan dari klaim yang “sebagian betul, tapi tanpa konteks yang lengkap, atau disajikan dengan konteks yang keliru”.

Tekanan negara

Dalam situasi politik di Asia Tenggara yang mengekang sebagian besar kebebasan pers, badan pengecekan fakta dan jurnalis memiliki kekhawatiran terkait tekanan yang muncul dari pemerintah ketika hasil temuan pengecekan fakta berseberangan dengan narasi politk pemerintah.

Contohnya, di negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, peraturan seperti UU Pencemaran Nama Baik, UU Rahasia Negara, dan UU Lèse Majesté menjadi penghalang bagi jurnalis, terutama yang bekerja atau berafiliasi dengan badan pemerintah, untuk melakukan pengecekan fakta secara efektif karena “takut” menyinggung pemerintah.

Karena terintimidasi dengan kemungkinan reaksi negatif setelah mengecek informasi yang menyinggung benar atau tidaknya narasi politik pemerintah, jurnalis dan pengecek fakta melakukan sensor diri terkait beberapa jenis konten.

Ada banyak badan pengecekan fakta independen di dunia Barat, namun badan independen serupa masih sedikit di Asia Tenggara.

Di Malaysia, Menteri Komunikasi dan Multimedia Malaysia membentuk Sebenarnya.my pada 2017. Situs tersebut adalah pusat pengecekan fakta konten yang viral di internet.

Sebenarnya.my mengalami peningkatan popularitas sejak awal pandemi.

Situs itu telah bekerja dengan erat bersama badan pemerintah lainnya untuk menangkis informasi keliru, terutama misinformasi terkait COVID-19. Namun, banyak kritikus tidak yakin apakah Sebenarnya.my akan menjadi platform yang terbaik untuk melakukan pengecekan fakta terkait konten politik.

Baru-baru ini, dua badan pengecekan fakta yang baru dibentuk di Malaysia, yaitu badan independen Faqcheck.org dan Mycheck di bawah Bernama, Kantor Berita Nasional Malaysia.

Terbentuknya dua badan tersebut bisa berkontribusi dalam memberikan pengecekan informasi yang lebih berimbang di negara tersebut.

MAFINDO di Indonesia juga telah banyak dikritik, terutama dalam pengecekan fakta konten politik.

Aribowo mengatakan bahwa MAFINDO telah dituduh mendukung pemerintah atau mendukung opisisi hanya karena melakukan pengecekan fakta konten politik.

Banyak yang mengkritik kolaborasi MAFINDO dan pemerintah Indonesia yang melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawasan Pemilihan Umum (BAWASLU) sebagai bentuk dukungan pada penguasa.

Namun, MAFINDO mengklaim diri imparsial dan apolitis. MAFINDO mengklaim badan itu telah menangkis hoaks, bahkan konten yang disebarkan oleh badan pemerintah.

Aribowo mengatakan bahwa tuduhan-tuduhan yang ada adalah bagian dan satu paket dengan kerja pengecekan fakta oleh MAFINDO dan pelaku pengecekan fakta serta media di Asia Tenggara.

Badan pengecekan fakta seperti MAFINDO, VERA Files, dan Rappler yang berpusat di Filipina telah menerima banyak ancaman. Badan-badan ini terpaksa melakukan tindakan pengamanan, termasuk menyembunyikan alamat kantor mereka.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now