Menu Close
Seekor nyamuk dengan latar belakang putih
Ivan Kmit / Alamy Stock Photo

Vaksin R21: vaksin menjanjikan untuk melawan malaria

Menurut hasil uji coba terbaru, kandidat vaksin, yang disebut R21, telah terbukti hingga 80% efektif dalam mencegah malaria pada anak.

Ini melanjutkan sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2021 dari tim yang sama di Oxford University, Inggris. Penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin sebanyak tiga dosis efektif hingga 77% dalam mencegah malaria. Studi terbaru mereka menunjukkan bahwa vaksin booster, yang diberikan setahun kemudian, dapat mempertahankan tingkat perlindungan pada 70% hingga 80%. Artinya, ada kemungkinan besar vaksin ini memberikan perlindungan jangka panjang terhadap malaria.

Para peneliti Oxford mengatakan kepada BBC bahwa vaksin mereka dapat dibuat hanya dengan “beberapa dollar,” dan mereka memiliki kesepakatan untuk memproduksi lebih dari 100 juta dosis setahun.

Meski demikian, masih ada rintangan besar yang harus diatasi. Uji klinis fase 3 yang merupakan fase akhir pengujian pada manusia sebelum persetujuan peraturan dapat diminta belum dilakukan.

Jalan panjang dengan banyak jalan buntu

Percobaan untuk mengembangkan vaksin malaria dimulai hampir 100 tahun yang lalu. Sejak awal tahun 1940-an, upaya untuk melindungi terhadap infeksi malaria dengan menyuntikkan parasit yang tidak aktif dilakukan pada hewan dan pada manusia. Sejak itu, upaya berlanjut tanpa henti hingga kemajuan dalam biokimia dan biologi molekuler memungkinkan para ilmuwan untuk mengisolasi protein dari parasit plasmodium penyebab malaria untuk digunakan dalam vaksin dan membuatnya di laboratorium.

Protein-protein ini diprediksi dapat menginduksi kekebalan yang lebih baik terhadap infeksi. Meskipun parasit memiliki protein yang sama, aksesibilitas dan keterpaparan mereka terhadap sistem kekebalan mungkin kurang efektif dalam menginduksi respons. Selain itu, menggunakan parasit utuh yang tidak aktif membawa potensi masalah lainnya, seperti kadar racun dan bahkan pengaktifan kembali parasit yang menyebabkan infeksi kembali.

Teknik-teknik modern mengarah pada pengembangan vaksin SPf66 di akhir tahun 1980-an yang terdiri dari beberapa molekul parasit sintesis yang diketahui dapat dikenali oleh sistem imun manusia. Vaksin yang dikembangkan di Kolombia itu diuji di berbagai negara di Amerika Selatan. Hasilnya, efektivitas dari vaksin ini mencapai 35% hingga 60%. Namun, ketika pengujian diperluas ke benua lain, tingkat efektivitas menjadi lebih rendah: 8% hingga 30% di Afrika dan tidak ada perlindungan sama sekali di Asia.

Meskipun mengecewakan, temuan ini membawa kabar gembira karena dapat mencapai kekebalan. Ini menunjukkan adanya kemungkinan pada vaksin untuk melawan penyakit penyebab kematian terbesar di negara-negara tropis.

Berbagai vaksin telah dirancang sejak penggunaan komponen parasit yang berbeda dan pengujian dalam uji klinis, termasuk RTS,S yang menjadi vaksin antimalaria berlisensi pertama. Vaksin ini mengandung bagian dari protein utama yang ditemukan pada permukaan parasit yang memulai infeksi: yang disebut tahap sporozoit (lihat grafik di bawah) yang menginfeksi hati.

Tahapan malaria.
Tahapan malaria. N.Vinoth Narasingam/Shutterstock

RTS,S diuji secara luas di Afrika dan mencapai tingkat perlindungan sekitar 40% meskipun berkurang seiring waktu. Ini didasarkan pada molekul parasit serupa yang digunakan dalam R21.

Mencapai tingkat perlindungan yang tinggi terhadap malaria nyatanya sangat sulit dilakukan. Bahkan dalam kasus-kasus yang memperoleh hasil yang menjanjikan, efektivitasnya menurun secara drastis ketika vaksin diuji secara lebih luas.

Masalah lainnya adalah, kekebalan yang diperoleh dari kandidat vaksin ini sangat sering menurun seiring waktu. Kekebalan jangka panjang merupakan aspek yang penting karena risiko infeksi dapat berlanjut sepanjang hidup, terutama di daerah dengan tingkat penularan yang tinggi.

Mengapa menemukan vaksin yang efektif sangatlah sulit

Kemajuan dalam pengurutan gen dalam beberapa dekade terakhir telah memungkinkan kami untuk menganalisis genom parasit penyebab malaria.

Urutan sampel dari pasien di seluruh dunia mengubah pemahaman kami tentang parasit dan penyakit malaria. Semakin jelas bagi kami untuk mengetahui bahwa ada banyak strain yang berbeda secara genetik, bukan hanya satu parasit. Keragaman ini tercermin dalam komponen parasit, termasuk yang digunakan dalam vaksin.

Karena vaksin dikembangkan dengan jenis parasit yang disimpan di laboratorium, identitas vaksin dibatasi untuk parasit tertentu. Sebagai hasilnya, sistem kekebalan akan dilatih untuk mengenali parasit serupa. Namun, sistem kekebalan manusia belum tentu dapat mengenali jenis lain yang berbeda secara genetik. Masalah ini meningkat akibat kompleksitas siklus hidup parasit ini dan perbedaan dinamika infeksi di berbagai wilayah di dunia

Sebagai contoh, penularan malaria yang tinggi di Afrika menyebabkan penduduk menjadi terbiasa dengan infeksi beberapa parasit yang berbeda secara genetik. Ini menunjukkan bahwa akan ada beberapa vaksin yang dieliminasi oleh sistem kekebalan tubuh ketika yang lainnya tidak jika vaksin ini efektif dalam melawan versi genetik yang terbatas. Ini menjadi masalah utama dalam pengembangan vaksin yang efektif untuk melawan malaria karena ini menyulitkan tubuh untuk menghilangkan parasit. Ini mungkin juga menjadi salah satu alasan sebagian besar vaksin yang diuji sejauh ini memiliki perlindungan rendah yang berkurang seiring waktu.

Tingkat perlindungan tinggi yang diperoleh dengan R21, yaitu vaksin malaria yang dikembangkan oleh para ilmuwan di Oxford University, benar-benar menjanjikan. Perlindungan yang diberikannya datang dengan harapan besar untuk mengetahui jika ini dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Pengujian vaksin ini di berbagai belahan dunia juga penting dilakukan untuk mengetahui jika dapat memberikan perlindungan luas. Terakhir, akan sangat membantu untuk mengetahui jika R21 juga dapat melindungi anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua dan menjadi alat pencegahan umum terhadap malaria.


Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now