Menu Close
Gedung bertingkat di Turki roboh dengan mudah akibat gempa bumi dahsyat. Mustafa Karali/AP

Video gempa tunjukkan bangunan Turki runtuh seperti tumpukan kue dadar. Ahli menjelaskan penyebabnya

Sepasang gempa bumi dahsyat mengguncang Turki pada 6 Februari lalu, menyebabkan lebih dari 7.800 orang tewas. Banyak pula orang terluka atau mengungsi.

Gempa pertama, dekat Gaziantep dekat perbatasan Suriah, dengan magnitudo 7,8 dan terasa hingga Inggris Raya. Guncangan kedua terjadi sembilan jam kemudian, sepertinya terjadi karena patahan yang saling bertemu, dengan magnitudo 7,5.

Runtuhnya 3.450 bangunan, menurut pemerintah Turki, juga memperbesar dampak gempa. Banyak bangunan modern yang rebah menjadi semacam “kue dadar bertumpuk (pancake mode)” akibat keruntuhan struktur.

Kenapa ini terjadi? Apakah hanya karena besarnya magnitudo dan kuatnya gempa, ataukah bangunannya bermasalah?


Read more: Gempa Turki-Suriah: ahli gempa bumi jelaskan apa yang baru saja terjadi


Ribuan tahun gempa bumi

Gempa bumi biasa terjadi di Turki, karena terletak di wilayah yang sangat aktif secara seismik. Di bawah permukaan wilayah ini tiga lempeng tektonik saling bergesekan. Catatan sejarah gempa bumi di wilayah tersebut kembali setidaknya 2.000 tahun silam, hingga gempa pada tahun 17 Masehi yang meratakan selusin kota.

Zona Patahan Anatolia Timur yang menjadi tuan rumah gempa bumi ini berada di perbatasan antara lempeng tektonik Arab dan Anatolia. Mereka yang bergerak melewati satu sama lain dengan kecepatan sekitar 6 hingga 10 mm per tahun. Regangan elastis yang terakumulasi di zona batas lempeng ini dilepaskan oleh gempa bumi berselang-seling yang terjadi selama jutaan tahun. Dengan demikian, gempa bumi yang baru terjadi tidaklah mengejutkan.

Terlepas dari bahaya seismik yang terkenal, wilayah ini juga memiliki banyak infrastruktur yang rentan.


Read more: Earthquakes don't kill, our collapsing structures do. So how can we build them to stay up?


Selama 2.000 tahun terakhir kita banyak belajar tentang cara membangun gedung tahan gempa yang parah sekalipun. Namun, pada kenyataannya, banyak faktor yang mempengaruhi praktik pembangunan gedung di wilayah ini maupun wilayah lainnya di dunia.

Konstruksi yang buruk adalah masalah umum

Banyak bangunan yang runtuh tampaknya dibangun dari beton tanpa penguatan seismik yang memadai. Ketentuan seismik bangunan di wilayah ini menunjukkan bangunan ini seharusnya mampu menahan gempa bumi yang kuat (saat tanah bergoyang sangat cepat sebesar 30% hingga 40% dari gravitasi normal) tanpa menimbulkan kegagalan struktur.

Gempa berkekuatan 7,8 dan 7,5 tampaknya menyebabkan guncangan dalam kisaran 20 hingga 50% gravitasi. Sebagian dari bangunan ini dengan demikian gagal pada intensitas goncangan yang lebih rendah dari “aturan desainnya”.

Ada masalah umum di Turki dan di tempat lain dalam hal memastikan konstruksi bangunan yang aman dan kepatuhan terhadap ketentuan seismik bangunan. Runtuhnya bangunan serupa telah terlihat dalam gempa bumi yang lalu di Turki.

An aerial photo of a collapsed building.
Masalah umum: gedung apartemen yang runtuh setelah gempa bumi tahun 1999 di Izmit, Turki. Hurriyet / AP

Pada 1999, satu gempa besar di dekat Izmit menewaskan sekitar 17.000 orang dan sebanyak 20.000 bangunan runtuh.

Setelah gempa tahun 2011 yang menewaskan ratusan orang, Perdana Menteri Turki saat itu, Recep Tayyip Erdogan, menyalahkan konstruksi buruk untuk jumlah kematian yang tinggi. Dia mengatakan, “Pemerintah kota, pemgembang dan pengawas sekarang seharusnya melihat bahwa kelalaian mereka sama dengan pembunuhan.”

Rekonstruksi

Meski otoritas Turki tahu banyak bangunan tidak tahan gempa, masalah ini masih sulit dipecahkan. Banyak bangunan sudah berdiri, dan ongkos penguatan seismik mungkin mahal atau tidak diprioritaskan ketimbang tantangan sosio-ekonomi lainnya.

Namun, rekonstruksi setelah gempa memberikan peluang pendirian kembali bangunan yang lebih aman. Pada 2019, Turki mengadopsi peraturan baru untuk memastikan bangunan lebih siap menghadapi guncangan.

Meski aturan baru ini disambut baik, masih harus dilihat apakah ketentuan tersebut akan mengarah pada peningkatan kualitas bangunan yang sesungguhnya.

Selain hilangnya nyawa dan kerusakan infrastruktur, kedua gempa bumi tersebut kemungkinan besar menyebabkan banyak dampak lingkungan, seperti permukaan tanah yang pecah, tanah yang mencair, dan tanah longsor. Efek ini dapat membuat banyak area menjadi tidak aman untuk dibangun kembali. Karena itu, upaya rekonstruksi juga harus mencakup keputusan perencanaan tempat yang dapat dibangun, untuk menurunkan risiko di masa depan.

Untuk saat ini, gempa susulan terus mengguncang wilayah tersebut. Upaya pencarian dan penyelamatan masih berlangsung. Setelah debu mereda, rekonstruksi akan dimulai. Akankah kita melihat bangunan yang lebih kuat untuk menahan gempa berikutnya, atau kurang lebih sama saja?


Read more: Earthquake in Turkey and Syria: how satellites can help rescue efforts


This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now