Menu Close
Ekonomi digital
Tata kelola digital yang baik diperlukan untuk mencegah monopoli pasar digital oleh perusahaan-perusahaan besar. st_freelance/shutterstock

Visi Misi Pemilu 2024: euforia ekonomi digital paslon belum mempertimbangkan persaingan usaha

Di tengah glorifikasi potensi ekonomi digital Indonesia, ketiga calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) belum memaparkan visi misi konkret untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sektor tersebut.

Kontribusi produk domestik bruto (PDB) nasional dari ekonomi digital ditargetkan meningkat dari 6,12% pada tahun 2021 menjadi 20,7%, atau mencapai Rp 22.513 miliar pada tahun 2045, berdasarkan pada proyeksi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.

Di saat yang sama, perdagangan elektronik (e-commerce) bertumbuh signifikan, terlihat dari pertumbuhan Gross Merchandise Value (GMV) atau jumlah barang yang terjual di marketplace selama kurun tertentu. GMV nasional meningkat dari US$41 triliun (Rp635 ribu triliun) pada 2019 menjadi US$77 triliun pada 2022, atau hampir 90%.

Indonesia juga merupakan pemain kunci pasar digital di kawasan Asia Tenggara, dan diperkirakan akan terus memimpin pertumbuhan) dengan proyeksi GMV dikperkirakan menyentuh angka US$210-360 trilliun 2030, jauh di atas negara-negara lain di kawasan.

Dengan pertumbuhan yang moncer ini, negara sudah harus bersiap untuk menghadapi semakin ketatnya persaingan pasar digital kita. Apalagi, isu monopoli merupakan masalah yang tak asing di industri ini. Di Indonesia, hal ini juga mulai terlihat dari dikuasainya pasar e-commerce hanya oleh segelintir perusahaan.

Sayangnya, hingga hari ini ketiga kandidat capres-cawapres, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (PaGi), dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD (GaMa), belum secara jelas menjabarkan gagasan mereka mengenai satu hal penting dalam menghadapi perkembangan pesat ini: tata kelola pasar digital.

Apa kata paslon soal ekonomi digital

Ketiga paslon tampaknya menyadari betul pentingnya mengembangkan ekonomi digital tanah air. Visi misi mereka banyak menyertakan gagasan tentang ekonomi digital – meski penjelasan bagaimana mereka akan mengimplementasikan program-programnya masih belum jelas.

Pasangan AMIN, misalnya, menyebutkan akan memperkuat dan meratakan literasi digital di masyarakat dalam dokumen visi misinya, memastikan terpenuhinya infrastruktur dasar seperti telekomunikasi dan infrastruktur digital, serta melakukan digitalisasi desa untuk mendukung industri. Dalam kaitannya dengan ekonomi kreatif, mereka menyebutkan akan mencegah meningkatnya impor produk terkait yang masuk melalui platform digital dan meningkatkan merek Indonesia melalui pembuatan basis data budaya dan kreasi.

Sementara, paslon PaGi tampaknya punya lebih banyak angan-angan terkait ekonomi digital sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru. Visi misi mereka menitikberatkan industri digital dalam membuka lapangan pekerjaan dan penguatan UMKM, penyaluran pembiayaan perbankan nasional untuk industri ini, serta mendorong pertumbuhan startup berbasis digital. Mereka menjanjikan 1,5%-2% dari PDB dalam lima tahun untuk mendukung sains dan teknologi serta digitalisasi.

Visi digitalisasi dalam UMKM dan perusahaan rintisan juga muncul dalam dokumen visi misi paslon GaMa. Paslon ini memasukkan ekonomi digital sebagai salah satu faktor penting untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 7%. Mereka juga menjanjikan program beasiswa untuk meningkatkan SDM digital serta literasi aparat negara dan masyarakat. Dokumen visi misi paslon ini juga mengangkat isu soal keamanan data dan regulasi platform di dalam satu tema besar, “Mempercepat Pembangunan Sistem Digital Nasional.”

Apa yang luput dari visi misi paslon

Hasil penelusuran dokumen visi misi paslon menunjukkan bahwa ketiga kandidat tak hanya masih abai soal keamanan siber, namun juga masih mengesampingkan urgensi penguatan ekosistem ekonomi digital nasional melalui mekanisme tata kelola pasar digital. Hal ini penting untuk menjamin terciptanya pasar digital yang adil dan terbuka serta juga melindungi hak-hak konsumen dan pengguna.

Tata kelola pasar digital adalah kerangka kerja dan regulasi yang mengatur perilaku perusahaan dan melindungi konsumen dalam lingkungan bisnis digital. Ini mencakup aturan persaingan, perlindungan privasi, keamanan data, dan transparansi dalam layanan digital.

Teranyar, fenomena akuisisi Tokopedia oleh TikTok menunjukkan pentingnya kebijakan yang tepat demi menjamin para pelaku usaha digital dalam negeri tidak tergerus oleh keberadaan perusahaan-perusahaan e-commerce besar.

Namun, gagasan populis berbasis proteksionisme pasar seperti yang diusulkan oleh pasangan AMIN, misalnya, bukanlah solusi efektif untuk jangka panjang. Di tengah tantangan perdagangan elektronik lintas batas, ini adalah langkah percuma jika tidak dibarengi dengan peningkatan daya saing produsen lokal dan kualitas produk domestik.

Sayangnya, pemerintah saat ini masih cenderung memilih kebijakan populis seperti ini, terlihat misalnya dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan No. 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan ini melarang impor barang senilai kurang dari US$100 demi melindungi produk-produk UMKM dalam negeri di lokapasar (marketplace).

Sementara, pasangan PaGi dan GaMa terlihat memiliki ketertarikan kuat untuk memperkuat peran UMKM dan startup di pasar digital. Akan tetapi, belum jelas bagaimana strategi yang akan dilaksanakan untuk mendorong produktivitas para inovator domestik dan untuk menjamin kontestabilitas pasar digital yang adil dan terbuka.

Secara praktis, kerangka tata kelola pasar digital ini akan mengatur mekanisme kompetisi dan menciptakan pasar digital yang lebih adil, sehingga menciptakan lingkungan yang kondusif dan produktif bagi bisnis dan inovator. Kebijakan ini tidak hanya akan menjamin ekosistem pasar digital yang adil bagi startup tetapi juga bisa mencegah perusahaan teknologi besar (big tech) dalam menghambat pertumbuhan ekonomi digital nasional, seperti melalui monopoli pasar.

Tata kelola pasar digital akan bertindak sebagai benteng proteksi terhadap munculnya surveillance capitalism, yakni ketika perusahaan teknologi besar bisa mengendalikan dan mengeksploitasi data perilaku konsumen. Pada saat yang bersamaan, kebijakan ini juga akan membuka jalan bagi harga yang lebih adil, layanan yang lebih baik, dan jaminan keamanan bagi konsumen pengguna pasar digital.

Komisi Eropa, misalnya, telah menerapkan regulasi pasar digital yang mengatur ketat dominasi enam perusahaan yang telah dikategorikan sebagai “gatekeepers"–Alphabet, Amazon, Apple, ByteDance, Meta dan Microsoft–dalam ekosistem bisnis Uni Eropa melalui the Digital Markets Act (DMA).

Aturan lain, seperti the EU antitrust law, yang melarang diskriminasi, mendorong transparansi, dan menjamin kepentingan konsumen ini menjadi dasar kasus denda kartel sebesar 2,4 miliar euro (Rp40,63 triliun) pada 2017. Kala itu, Google dituduh memanfaatkan posisinya dalam pencarian online dengan memberikan prioritas pada layanan perbandingan harga mereka, yaitu Google Shopping.

Pemimpin yang terpilih nantinya bisa mempertimbangkan untuk menerapkan kebijakan semacam ini. Tanpa adanya rencana soal penguatan regulasi, komitmen dari ketiga calon untuk memanfaatkan perkembangan pasar digital masih patut diragukan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now