Menu Close
Karakter di film Wiro Sableng (dari kiri ke kanan) : Anggini (Sherina Munaf), Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarazi), Wiro Sableng (Vino G. Bastian), Pangeran (Yusuf Mahardhika) dan Rara Murni (Aghniny Haque) Eriek Juragan

Wiro Sableng: kebangkitan genre silat Indonesia?

Setelah dipukau oleh pahlawan super dari dunia barat Marvel dan DC, Indonesia akhirnya mendapatkan pahlawannya sendiri di layar lebar.

Sebuah film tentang jagoan lokal yang mengenakan kostum putih dari abad ke-16, Wiro Sableng mulai tayang di bioskop di Indonesia pada 30 Agustus. Film ini akan dirilis di Singapura pada 11 Oktober, setelah rilis di Malaysia pada 27 September.

Film ini mendapat ulasan positif dari media dan penonton. Majalah Amerika terkemuka menyebut film ini sebagai terobosan dalam industri film Indonesia sebagai film pertama yang didukung oleh rumah produksi Hollywood, 20th Century Fox.

Disamping kesuksesannya, Wiro Sableng meninggalkan pertanyaan besar pada sistem genre di industri sinema lokal. Banyak yang menganggap Wiro Sableng adalah film superhero tetapi dari unsur sinematik dan gayanya, Wiro Sableng lebih dekat dengan seni bela diri atau genre silat.

Apa itu genre?

Genre adalah alat referensi bagi pembuat film dan penonton. Profesor film Barry Keith Grant menjelaskan bahwa genre mengklasifikasikan film-film komersial yang “menceritakan kisah-kisah yang sudah dikenal dengan karakter-karakter di situasi yang akrab.” Referensi ini berguna bagi pembuat film dan penonton untuk menyediakan sejumlah elemen sinematik yang dapat mereka pakai sebagai titik acuan untuk konsumsi film, serta untuk tujuan promosi, sehingga kedua belah pihak tahu apa yang diharapkan dari sebuah film.

Konvensi di balik penetapan sebuah genre juga mengacu pada budaya dan konteks sosial di sekitar film. Sangat umum bahwa suatu genre dapat menghilang atau mendapatkan revisi yang signifikan, ketika budaya yang mendukungnya tidak lagi dominan. Salah satu contohnya adalah genre film koboi di Amerika. Setelah mendominasi layar di seluruh dunia dari era 1950-an hingga 1970-an, genre ini telah diubah untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat yang baru.

Kasus Wiro Sableng

Sejak diproduksi, banyak yang menganggap bahwa Wiro Sableng adalah film superhero. Beberapa situs bahkan berspekulasi kalau Wiro akan bergabung dengan Avengers, sebuah tokoh dari Marvel Cinematic Universe, yang perusahaan induknya, Disney merupakan pemilik 20th Century Fox. Penampilan Wiro di iklan Deadpool 2 , salah satu film Marvel Studio, juga memperkuat spekulasi ini.

Wiro Sableng’ dalam iklan film ‘Deadpool 2’

Asumsi bahwa Wiro Sableng mirip dengan film superhero Hollywood tidak bisa dihindari. Ini terjadi karena tidak ada referensi dalam film Indonesia yang karakter utamanya memiliki kemampuan super.

Genre silat lokal

Dari unsur sinematik dan gayanya, Wiro Sableng lebih dekat dengan seni bela diri atau genre silat. Genre silat Indonesia dekat dengan genre wuxia di Hong Kong. Kedua genre berbagi karakteristik, yaitu terjadi di masa lampau dengan perangkat perangkat kostum, properti dan arsitektur yang mendukung. Elemen penting dalam genre ini adalah kemampuan karakter untuk melakukan pertempuran dengan koreografi khusus, seperti misalnya “tendangan tinggi” dan “pedang terbang”. Terkadang kemampuan manusia super ditampilkan untuk menambah nilai hiburan.

Genre film silat Indonesia mendominasi layar pada era 1980-an. Film Jaka Sembung dan film Si Buta dari Gua Hantu merupakan dua contoh film yang berhasil. Menurut situs Film Indonesia, Jaka Sembung merupakan film terlaris ketiga pada 1982.

Setelah itu, genre ini hampir lenyap. Jaka Sembung dan Si Buta sekarang hanya beredar dalam format VCD berkualitas rendah. Mereka kehilangan daya tariknya di tengah generasi baru penonton film.

Upaya untuk menghidupkan kembali genre silat terjadi pada 2014 dengan diproduksinya Pendekar Tongkat Emas. Sayangnya, film ini gagal dan menerima ulasan buruk. Salah satu kritiknya adalah bahwa film ini tidak memiliki ide segar.

Genre superhero di Indonesia sudah lama tidak diproduksi lagi sementara genre silat yang pernah mendominasi layar, juga relatif menghilang. Tidak heran jika orang kemudian mengasosiasikan Wiro Sableng dengan genre superhero Hollywood, yang telah mendominasi industri film global.

Teknologi untuk bangkitkan genre silat

Perkembangan teknologi dalam pembuatan film telah membuka begitu banyak kemungkinan untuk menampilkan kemampuan manusia super di layar. Hal ini telah menjadi standar baru dalam industri film. Setiap film yang sarat dengan efek khusus untuk menggambarkan kemampuan manusia super tidak dapat melepaskan diri dari harapan untuk memberikan pengalaman menonton yang menyenangkan.

Film-film Cina dengan genre Wuxia telah mengalami peningkatan kualitas dengan bantuan efek visual yang canggih. Kita bisa melihat bagaimana efek visual memainkan sihirnya dalam film-film Ang Lee, seperti Crouching Tiger Hidden Dragon atau Hero. Efek visual yang canggih telah membantu film-film ini dalam menciptakan narasi film yang lebih baik untuk penonton di abad baru.

Kisah sukses di Indonesia dengan efek visual canggih dapat ditemukan di pembuatan ulang film horor klasik, Pengabdi Setan ke dalam versi terbarunya tahun 2017.

Kritikus film Hikmat Darmawan telah memuji Wiro Sableng untuk “efek visual yang mewah dibanding film-film fantasi Indonesia lainnya”. Dia juga mengatakan Wiro Sableng mewakili genre silat. Hal ini mengisyaratkan kemungkinan kebangkitan genre dalam industri film lokal. Namun sekali lagi, kebangkitan genre silat akan bergantung pada keterampilan teknis dalam menciptakan efek-efek visual yang meyakinkan dan dapat memukau generasi milenium yang sering terpapar dengan efek-efek khusus yang indah dari film-film superhero Hollywood.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now