Menu Close
Hampir semua portal belanja di Indonesia menawarkan beragam promosi yang mirip. www.shutterstock.com

Ada apa di balik saling contek antar portal belanja Indonesia?

Belum lama ini, portal belanja daring Bukalapak.com mendeklarasikan statusnya sebagai salah satu start-up Indonesia yang dihargai di atas US$1 miliar.

Pengumuman ini diiringi oleh rencana Bukalapak untuk membuka pusat riset berbasiskan talenta lokal di Bandung, Jawa Barat, pada penghujung 2018.

Perkembangan ini menandakan persaingan yang semakin sengit di antara raksasa-raksasa portal belanja.

Dari penelitian saya sebagai pengguna belanja daring sekaligus akademisi pemasaran, saya melihat ada hal yang menarik dari sengitnya persaingan antar raksasa-raksasa portal belanja saat ini.

Alih-alih berinvestasi untuk menjadi unik di benak konsumen Indonesia, portal belanja daring justru terlihat berlomba-lomba “bakar uang” untuk menyerupai satu sama lain.

Melalui tulisan ini, saya menganalisis apa yang mendasari fenomena “serupa tapi tak sama” yang terjadi di lanskap portal belanja daring di Indonesia, beserta potensi dampaknya di masa depan terhadap sebagian masyarakat yang berniat untuk memulai berwirausaha daring.

Ketatnya persaingan

Bisnis belanja daring di Indonesia diprediksi tumbuh menjadi US$4,59 miliar pada 2020, tiga kali lipat nilai bisnisnya pada 2014. Ketatnya persaingan para portal untuk membangun bisnisnya di Indonesia tampak pada 2017. Lazada, Tokopedia, dan Shopee dilaporkan telah tumbuh paling pesat. Sukses dan semakin matangnya para portal ini mengerucutkan persaingan. Pemain lain seperti Matahari Mall terlihat mulai menurun.

Walau demikian, portal belanja di Indonesia terus berinovasi untuk mengantisipasi ancaman pemain baru seperti Amazon yang mungkin akan hadir di Indonesia.

Banyaknya inovasi yang ditawarkan oleh pelbagai portal saat ini membawa dampak sangat positif terhadap tumbuhnya kewirausahaan di Indonesia.

Gencarnya kampanye iklan seperti #mulaiajadulu oleh Tokopedia juga berdampak positif terhadap iklim usaha kecil di Indonesia. Gairah wirausaha ini juga tercatat dalam statistik pemerintah yang melaporkan lonjakan rasio wirausahawan di Indonesia dari 1,67% pada 2013 menjadi 3,1% atau 7,8 juta orang pada 2016.

Gelombang wirausahawan baru inilah yang sedang diperebutkan para portal dengan inovasinya masing-masing. Namun, pengamatan saya melihat banyak dari inovasi portal belanja justru tampak seragam. Padahal, persaingan yang semakin ketat menuntut mereka untuk menciptakan ide kreatif yang beda untuk bisa unggul.

Apa yang justru sedang mereka lakukan berpotensi berdampak negatif pada pertumbuhan wirausahawan di Indonesia?

Melawan teori pemasaran klasik

Teori pemasaran selalu mengajarkan bahwa untuk sukses, perusahaan disarankan untuk berani tampil beda dan menghindari predikat “ikut-ikutan”.

Sebagai contoh, walau BMW, Mercedes, Volvo, dan Ferrari masih satu keluarga di kategori mobil mewah, mereka masing-masing memiliki identitas kuat yang membedakan satu dengan yang lainnya.

Bahkan Xiaomi yang dengan sengaja meniru jejak Apple di masa lalu untuk membangun bisnisnya, kini berusaha keras untuk memiliki identitas sendiri seiring rencana mereka untuk menawarkan saham ke publik.

Perusahaan digital beroperasi dengan cara yang berbeda. Pada dasarnya, strategi perusahaan digital untuk tumbuh adalah bagaimana 1) memudahkan pengguna untuk menjadi pelanggan (onboarding) 2) meningkatkan keaktifan pelanggan (engagement) dan 3) mencegah pelanggan pindah atau keluar dari platform mereka (retention).

Bermuara dari ketiga prinsip ini, perusahaan digital seringkali berusaha menyamai inovasi para pesaing. Hal ini untuk mencegah penggunanya untuk dirayu pindah ke portal lain, dan sekaligus “mematikan” keunggulan pesaing yang ditiru (competitive points of parity)

Contohnya dapat kita lihat di ranah sosial media. Banyak orang berbondong-bondong bermigrasi dari Facebook ketika fenomena face filter Snapchat muncul pada 2012.

Tidak ingin kehilangan pengguna, Messenger dan Instagram akhirnya mencontek fitur Snapchat. Alhasil, pengguna yang awalnya semangat mengajak lingkaran sosialnya untuk migrasi justru kembali lagi ke Messenger karena Snapchat tidak lagi unik setelah dicontek.

Strategi inilah yang saat ini sedang diterapkan portal belanja di Indonesia. Hampir semua portal menawarkan beragam promosi yang mirip, seperti gratis ongkos pengiriman belanja dan flash sales. Dari sisi komunikasi dan iklan, tidak sedikit portal yang mengangkat isu kesuksesan berjualan di portalnya walaupun dengan bahasanya masing masing.

Beberapa portal bahkan berlomba meniru fitur unik pesaingnya yang sekilas tidak terlihat relevan dengan belanja seperti pembayaran zakat, investasi reksadana, bahkan investasi emas.

Dampak strategi saling contek

Salah satu dampak strategi ini bagi para portal tentunya adalah membengkaknya biaya operasional untuk membiayai perlombaan penawaran fitur yang sama dengan pesaing mereka.

Efek jangka panjang dari persaingan ini masih diperdebatkan. Di satu sisi, pengalaman dari ranah start-up digital di negara maju mengajarkan prinsip “winner takes all, maksudnya hanya satu perusahaan yang pada akhirnya akan selamat dan mendominasi pasar.

Dari sudut pandang ini, satu per satu portal belanja daring di Indonesia diprediksi akan berguguran seiring habisnya dana investor untuk membiayai persaingan.

Namun di sisi lain, salah satu pendiri Bukalapak menyatakan bahwa masyarakat Indonesia cenderung tidak time poor tapi justru money poor yang senang membanding-bandingkan harga antar portal. Hal ini, disertai dengan besarnya populasi, membuat mereka percaya bahwa masih cukup ruang bagi lebih dari satu portal untuk tetap bisa bertahan meski strategi mereka seragam.

Dampak lain dari perlombaan saling contek ini adalah berlimpahnya fitur yang memanjakan pengguna. Akibatnya, tidak jarang wirausahawan Indonesia yang memiliki lebih dari etalase digital di dua atau bahkan tiga portal.

Ketika tawaran promosi atau fitur di satu portal menyusut, mereka mudah untuk pindah dan memfokuskan usahanya di portal lain.

Strategi kreatif dan dampaknya

Di tengah-tengah inovasi yang seragam, para pemain portal belanja tak berhenti mengembangkan strategi bisnisnya untuk memenangkan persaingan.

Dari sisi strategi pemasaran, memanjakan pengguna saja tidak cukup untuk menjaga loyalitas agar mereka tidak pindah ke pesaing.

Sisi lainnya adalah mengunci (lock-in) para pengguna yang sudah ada dengan menaikkan switching cost. Artinya, pengguna dibuat sulit untuk keluar dari hubungan dengan perusahaan. Contohnya dengan meminta pembayaran di muka.

Dalam konteks portal belanja, pengguna di sini adalah para wirausahawan yang berjualan di platform mereka.

Penelitian saya mendapati bahwa prinsip inilah yang saat ini mendasari eksperimen-eksperimen kreatif para portal belanja di Indonesia, untuk menciptakan keengganan para penjual untuk pindah platform.

Dari sisi finansial, salah satu penjual yang saya wawancara memberi contoh bahwa cashback yang didapatkan dari portalnya hanya bisa dibelanjakan di toko yang berada di platform yang sama.

Bagi perusahaan, praktek “menyandera” saldo ini sangat efektif. Selain melariskan penjual lain di platformnya sendiri, pemilik saldo akan terpacu untuk menghabiskan waktunya di satu portal sehingga kesempatan untuk pindah menjadi kecil.

Dari sisi psikologis, seorang penjual lain mencontohkan bahwa portalnya memberikan fitur istimewa hanya kepada penjual di tingkatan premium. Tingkat premium ini hanya bisa diraih setelah volume transaksi dan tingkat kepuasan tertentu.

Dengan kata lain, penjual diarahkan untuk berkompetisi satu sama lain dan memfokuskan usahanya hanya di satu portal untuk meraih status premium.

Kreativitas portal untuk menjaga engagement penjual di platformnya juga dapat dilihat di etalase toko digitalnya. Sebagai contoh, beberapa portal menampilkan kapan penjual terakhir aktif di tokonya kepada calon pembeli.

Secara tidak langsung portal telah mengarahkan penjual untuk mencurahkan upayanya di satu etalase saja agar menampilkan kesan baik bagi para pembeli.

Dampaknya adalah upaya untuk mempunyai dua atau tiga etalase di portal yang berbeda menjadi sulit.

Menjaga hubungan suka sama suka

Sebagai penutup, maraknya lanskap belanja daring di Indonesia dengan inovasi yang tampak serupa pada saat ini membawa banyak dampak positif bagi perkembangan kewirausahaan skala mikro di Indonesia.

Namun, hal ini menjadi seperti pedang bermata dua. Kita tidak bisa meramalkan kapan, tapi seiring dengan desakan para investor portal daring untuk mendapatkan keuntungan, para portal akan semakin kreatif dalam upaya monetisasi penggunanya. Hal ini berpotensi menghambat perkembangan dunia kewirausahaan Indonesia.

Namun, upaya monetisasi ini tidak selalu harus disambut dengan kecurigaan karena dalam dunia bisnis berlaku prinsip take and give. Langkah para portal untuk mengikat penjual di platformnya ini juga vital untuk mencegah perang harga.

Seringkali, korban pertama perang harga adalah jaminan kualitas dan keamanan pengguna, seperti yang terjadi pada penerbangan murah di Indonesia era 2013-2015.

Dunia kewirausahaan Indonesia tentu tidak menginginkan pola persaingan tidak sehat serupa terjadi di antara para portal. Oleh sebab itu, strategi kreatif para portal perlu disambut baik selama masih saling menguntungkan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now