Menu Close

Ada beragam konflik di Asia Tenggara - termasuk kudeta militer di Myanmar; masihkah ASEAN relevan?

Pengunjuk rasa melakukan aksi damai mengecam kudeta militer Myanmar di depan Kedutaan besar Myanmar, di Jakarta.
Pengunjuk rasa melakukan aksi damai mengecam kudeta militer Myanmar di depan Kedutaan besar Myanmar, di Jakarta. Aditya Pradana/Antara Foto

Kudeta militer di Myanmar awal bulan ini menjadi tantangan terbaru bagi ASEAN.

Sejak berdiri pada 1967, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara – lebih dikenal sebagai ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) – memiliki misi untuk menciptakan stabilitas dan keamanan regional serta mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial di kawasan.

Misi ini berulang kali menghadapi tantangan, mulai dari infiltrasi komunisme di era Perang Dingin, konflik di Laut Cina Selatan, sengketa wilayah negara, terhambatnya penerapan pasar bebas, hingga belum mengakarnya rasa memiliki di antara warga negara-negara anggota.

Sikap ASEAN terhadap kudeta di Myanmar terbelah dan lemah.

Filipina, Kamboja, dan Thailand memilih untuk menunggu sebelum menentukan sikap. Vietnam, Brunei Darussalam, dan Laos cenderung diam.

Indonesia dan Malaysia hanya menyatakan keprihatinan dan menyarankan dialog.

Sikap ASEAN tersebut menuai kritik dari berbagai kalangan karena dianggap tidak bisa berbuat banyak soal kudeta di Myanmar.

Masihkah ASEAN relevan hari ini?

Peran tidak efektif

Prinsip non-intervensi ASEAN – negara anggota tidak boleh mencampuri masalah internal negara anggota lain – justru menghambat tujuan organisasi itu untuk mengintegrasikan kawasan Asia Tenggara.

Prinsip ini berpotensi mengganggu penyelesaian konflik yang berakibat memanasnya hubungan antarnegara anggota.

Sebagai contoh, konflik Rohingnya di Myanmar berdampak ke negara-negara ASEAN lain karena banyak orang Rohingnya yang mengungsi ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

Prinsip non-intervensi juga menghambat penyelesaian isu politik-keamanan lainnya.

Dalam konflik Laut Cina Selatan, misalnya, ASEAN “hanya” menghimbau untuk menahan diri dan mengutamakan dialog. Terakhir, ASEAN mencoba menengahi dengan memulai membuat tata berperilaku di Laut Cina Selatan.

Contoh lainnya ialah konflik perbatasan Kamboja-Thailand akibat sengketa terhadap Kuil Preah Vihear pada 2008 yang sempat pecah menjadi konflik bersenjata. Peran ASEAN ketika itu hanya melakukan mediasi konflik tersebut tanpa ada keputusan mengikat.


Read more: Penganiayaan, kondisi hidup yang sangat sulit mendorong orang Rohingya terus mencari tempat perlindungan


Mencegah konflik terbuka

Meskipun banyak kritik terkait “diamnya” ASEAN dalam konflik politik keamanan di kawasan Asia Tenggara, beberapa analis percaya keberadaan ASEAN tetap berperan dalam mengendalikan stabilitas wilayah.

Keberadaan ASEAN dianggap dapat mencegah konfrontasi terang-terangan antaranggota yang dapat memunculkan perang terbuka.

Penandatanganan Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh Menteri-menteri Luar Negeri Narciso Ramos (Filipina), Adam Malik (Indonesia), Thanat Khoman (Thailand), Tun Abdul Razak (Malaysia), dan S. Rajaratnam (Singapura), menandai pembentukan ASEAN.
Penandatanganan Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967 oleh Menteri-menteri Luar Negeri Narciso Ramos (Filipina), Adam Malik (Indonesia), Thanat Khoman (Thailand), Tun Abdul Razak (Malaysia), dan S. Rajaratnam (Singapura), menandai pembentukan ASEAN. ASEAN Secretariat, CC BY

Sejarah politik di Asia Tenggara dapat menjelaskan kenapa keberadaan ASEAN mencegah negara anggotanya berperang secara terbuka.

Negara-negara anggota ASEAN tidak mau kawasan Asia Tenggara menjadi medan pertempuran antara pihak-pihak lain berkekuatan besar, seperti Cina, Amerika Serikat, dan Rusia (dulu Uni Soviet).

Indikasi menghindari menjadi medan pertempuran terlihat dengan bergabungnya semua negara anggota ASEAN ke dalam Gerakan Non-Blok (GNB). GNB dibentuk pada 1961 sebagai deklarasi tidak memihak ke blok manapun.

Untuk itu pula, ASEAN bersikeras untuk tidak mendukung blok kekuatan besar manapun di dunia.

Selain itu, perlu diingat bahwa ASEAN mengutamakan stabilitas politik di kawasan, sehingga ketika masalah keamanan internal terjadi, ASEAN menjaga supaya negara anggota lain tidak mengintervensi urusan domestik dengan tujuan terjadinya kestabilan politik regional.

Hilangnya ASEAN diprediksi akan memecah kekuatan Asia Tenggara karena masing-masing negara dapat berafiliasi dengan blok besar di luar kawasan.

Hal ini dapat memicu konflik bersenjata terbuka di kawasan.


Read more: Kudeta Myanmar: militer kembali berkuasa, membuat demokrasi Myanmar semakin rapuh


Bagaimana selanjutnya?

Menurut saya, ASEAN perlu mempertimbangkan untuk memperbarui tujuan.

Melihat sejarahnya, tujuan awal didirikannya ASEAN ialah membendung pengaruh ideologi komunis.

ASEAN dibentuk saat kondisi global terbelah antara blok Barat dan blok Timur.

Meski tidak mengungkapkan secara gamblang memihak Barat, pemrakarsa ASEAN tegas menolak masuknya pengaruh komunisme, sehingga ASEAN dibentuk untuk mencegah paham tersebut masuk.

Tiga belas tahun lalu, ASEAN memperbarui visinya yang telah termaktub sejak 1967 dalam Deklarasi Bangkok ke dalam Piagam ASEAN 2008.

Dalam piagam tersebut, ASEAN mulai melihat bahwa isu demokrasi, tata kelola pemerintahan, dan HAM perlu diprioritaskan.

Namun, apakah tujuan baru ASEAN telah diterapkan?

Selama ini, ASEAN cenderung bersikap setengah-setengah dalam menyikapi konflik dalam negeri negara anggota yang terkait pelanggaran HAM.

ASEAN terlibat dalam isu-isu yang sedang marak di suatu negara anggota – melalui forum dialog, misalnya, namun tindakan ASEAN tidak bisa mengikat negara yang terlibat dalam isu tersebut.

Sehingga meski ASEAN ikut membicarakan isu yang terjadi, persoalan tidak terselesaikan.

Prinsip non-intervensi kembali menjadi penghalang ASEAN untuk mengimplementasikan visi yang telah diperbarui.

Sebagai contoh, dalam isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Rohingnya, negara anggota ASEAN melakukan tindakan namun hanya sebatas diskusi bilateral atau menggunakan forum Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untuk HAM (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, atau AICHR).

ASEAN sebagai organisasi juga hanya meminta Myanmar untuk selalu menginformasikan kondisi terkini serta menawarkan bantuan jika dibutuhkan, tapi tidak bertindak langsung untuk memfasilitasi pengungsi di kawasan terdampak atau menekan pemerintah Myanmar untuk bertindak non-koersif.

Belum ada totalitas dari ASEAN untuk menyelesaikan persoalan HAM yang menimpa masyarakat Rohingya karena terhalang oleh prinsip non-intervensi. Padahal, di saat yang sama, ASEAN berkomitmen untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.

Sementara itu, bila ASEAN memang lebih mementingkan aspek ekonomi, ASEAN lebih baik fokus bergerak dalam menciptakan zona perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara dan mengesampingkan urusan politik dan keamanan.

Jika ASEAN memang ingin menjaga stabilitas politik regional, ASEAN perlu menegaskan kepada lingkungan internasional bahwa ASEAN tidak mencampuri urusan politik domestik jika negara yang bersangkutan tidak mengizinkan.

Dalam isu kudeta di Myanmar, misalnya, ASEAN lebih baik memberikan pernyataan tegas kepada publik bahwa apa yang terjadi di Myanmar bukan kewenangan organisasi tersebut.

Implementasi lainnya adalah ASEAN tidak perlu berinisiatif membuka diskusi tentang isu demokrasi Myanmar, kecuali memang diminta oleh Myanmar dan disetujui negara anggota ASEAN lainnya.


Read more: Mengenal 3 jenis perjanjian dagang antarnegara dan manfaatnya bagi ekonomi Indonesia


Posisi Indonesia

Apapun perubahan dalam tujuan ASEAN, Indonesia tetap perlu mempertahankan pengaruhnya di Asia Tenggara.

Walaupun dominasi peran Indonesia sempat memudar di awal era Reformasi, Indonesia tetap dianggap sebagai motor utama ASEAN.

Dengan tetap menjadi pemimpin di Asia Tenggara, Indonesia punya peluang lebih besar untuk menyalurkan kepentingannya di level internasional.

Jika Indonesia tetap ingin memperjuangkan integrasi ASEAN, Indonesia perlu fokus memperkuat rezim pasar bebas di Asia Tenggara.

Selain itu, Indonesia perlu menggerakkan ASEAN untuk menciptakan budaya berbagi seperti merealisasikan pertukaran mahasiswa dalam kawasan Asia Tenggara, mencontoh program Erasmus di kawasan Uni Eropa.

Dengan menjalankan integrasi ekonomi dan sosial-budaya, integrasi kawasan lebih mungkin tercipta ketimbang berkutat pada persoalan politik keamanan terus-menerus.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,400 academics and researchers from 4,954 institutions.

Register now