Menu Close

Apakah Anda akan menjadi bos yang hebat? Penelitian menunjukkan kekuasaan dapat mengubah Anda

Gearstd/Shutterstock

Orang-orang kerap menggerutu bahwa bos mereka tidak pengertian dan memiliki rasa iba, lalu membayangkan kalau mereka dalam posisi tersebut mereka akan berbeda dari bos mereka. Tapi apakah pemimpin memang kekurangan empati? Jika ya, mengapa?

Pertanyaan ini penting. Sejak kegagalan dalam beretika yang dilakukan para pemimpin perusahaan terkemuka yang menyebabkan krisis finansial global 2008, ada kekhawatiran akan kekuasaan para pejabat eksekutif yang tidak diawasi. Hal ini mengingat kata-kata mereka didengar oleh para politikus dan berpengaruh dalam pembangunan masyarakat.

Hal ini menyebabkan adanya kehendak agar para pemimpin menggunakan pendekatan yang lebih merata dan beretika. Ada tren di perusahaan-perusahaan untuk mengembangkan kepemimpinan pada semua lapisan organisasi daripada hanya terfokus pada orang-orang tertentu yang pengaruhnya terlampau kuat. Kami juga melihat adanya peningkatan jumlah publikasi yang meminta para pemimpin untuk menunjukkan empati, etika, kepedulian, kerendahan hati, memberikan keadilan, kecerdasan secara emosional, dan rasa bertanggung jawab.

Meskipun demikian, penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa kekuasaan berkaitan erat dengan egoisme. Misalnya, mereka yang memiliki kekuasaan atas subordinat atau anak buah dengan jumlah yang lebih banyak cenderung lebih enggan menggunakan alasan moral dan kepedulian terhadap kesejahteraan kolektif dibandingkan mereka yang memiliki kekuasaan atas subordinat dengan jumlah yang lebih sedikit.

Penelitan sebelumnya terhadap “resonansi motorik” – sesuatu yang terkait dengan empati karena ia mengukur tingkat persepsi kita atas tindakan dan pengalaman orang lain – menemukan bahwa mereka yang berkuasa menunjukkan resonansi yang lebih rendah daripada mereka yang memiliki lebih sedikit kekuasaan.

Ayam dan telur

Saat kampanye untuk pemenangan kembali Presiden Amerika Serikat Barack Obama pada 2012, Michelle Obama menuturkan: “Menjadi Presiden tidak mengubah Anda, tapi menunjukkan siapa Anda.” Lalu apakah kekuasaan mengubah pemimpin ataukah justru menunjukkan siapa mereka sebenarnya?

Penelitian terhadap kekuasaan dan identitas moral menyimpulkan bahwa kompas moral seseorang mempengaruhi bagaimana kekuasaan yang dimiliki berdampak pada perilaku egois.

Kekuasaan bagi pemimpin suatu organisasi biasanya berasal dari adanya kewenangan (kekuasaan posisional) dan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain (kekuasaan pribadi).

Ketika pemimpin mampu mengimbangi kewenangan dan pengaruh pribadinya dengan empati, integritas atau kerendahan hati, maka dia akan cenderung memanfaatkan kekuasaannya secara beretika. Ketika kewenangan dan pengaruh pribadi tersebut tidak diimbangi dengan sifat-sifat positif tersebut dan justru didasarkan pada kepentingan pribadi atau tujuan yang tidak jelas secara moral, penyalahgunaan kekuasaan muncul.

Namun penelitian juga menunjukkan bahwa kekuasaan dapat mengubah kita. Lalu apa yang terjadi ketika seseorang mendapat kekuasaan? Mayoritas memiliki empati, hanya saja dengan kadar yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan kompetensi emosional dan sosial serta kemampuan emosional, yang sangat bermanfaat dalam menjalankan suatu organisasi.

Simon Baron-Cohen, psikolog di Universitas Cambridge, mengkaji korelasi antara empati dan sifat keji untuk mencari tahu bagaimana beberapa orang berperilaku secara amoral sementara beberapa masih berperilaku secara moral. Baron-Cohen menggunakan istilah “erosi empati” untuk menjelaskan bagaimana kita dapat “mematikan” rasa empati berdasarkan kepercayaan, pengalaman, tujuan, dan emosi kita. Ketika empati tersebut dimatikan, kita fokus pada kepentingan pribadi kita dan mengorbankan orang lain.

Berada di puncak organisasi dapat terasa sepi. fizkes

Kepemimpinan yang berfokus pada pencapaian tujuan, tercapainya target, dan kinerja finansial – dibarengi dengan peningkatan tingkat stress – dapat menyebabkan erosi empati bahkan pada pemimpin yang memiliki tujuan baik.

Penelitian menunjukkan bahwa kekuasaan membuat orang-orang cenderung akan berperilaku secara konsisten dengan tujuan mereka – meningkatkan kegigihan dan kehendak untuk meraih kesempatan. Tapi fokus pada tujuan ini juga membuat mereka cenderung mengabaikan informasi sepele, yang dalam situasi-situasi sosial, dapat dianggap sebagai ketiadaan empati.

Perusahaan asal Amerika Serikat Enron, yang pemimpinnya divonis bersalah atas penipuan dan persekongkolan, menjadi contoh ekstrem terjadinya erosi empati seiring dengan meningkatnya kekuasaan yang dimiliki. Meski Enron membuat pernyataan formal terkait prinsip-prinsip HAM dengan menjunjung penghormatan kepada semua, integritas, komunikasi, dan kinerja berkualitas, audit terhadap jajaran pemimpin justru menunjukkan perilaku amoral, arogan, dan orientasi pada uang – memanfaatkan kelonggaran aturan, memanipulasi pasar, dan menaikkan laba demi meraih kesuksesan.

Baru-baru ini, keprihatinan terhadap pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan telah beralih pada industri teknologi yang gerak-gerik pejabat eksekutif Facebook, Twitter, dan Amazon semakin dipantau.

Namun apakah ini hanya kesalahan sang bos? Kekuasaan dan empati dalam kepemimpinan adalah dinamika yang kompleks. Buku Baron-Cohen menunjukkan bahwa pemimpin bukanlah satu-satunya pihak yang dapat mematikan rasa empati, tapi juga bawahan mereka. Jika kekuasaan yang dimiliki bermanfaat bagi diri kita sendiri, apakah mungkin kita telah mengabaikan ketiadaan empati pada pemimpin kita?

Dalam lanskap politik yang semakin terpecah, kita melihat pandangan politik yang berbeda dilawan, bukan dengan debat dan diskusi, tapi dengan perilaku purba. Kita kerap menganggap bahwa kelompok kita layak menerima empati, rasa hormat, dan toleransi – tapi tidak dengan kelompok lain.

Terlebih lagi, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kita memuji pemimpin kita yang menentang kelompok lain – menilai negatif, menyangkal atau mengkritisi kelompok lain – daripada saling menguatkan satu sama lain.

Jadi, ya, kekuasaan dapat mengubah kita. Namun demikian, jika kita menginginkan adanya pemimpin yang benar-benar berempati maka kita harus mengubah perilaku kita.

Bram Adimas Wasito menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now