Menu Close

Bagaimana big tech menentukan siapa yang berkuasa atas hak dan kebebasan kita

Ascannio/Shutterstock

Sejak akhir abad ke-20, bagi sebagian besar dari kita, kehidupan sehari-hari telah semakin banyak berpindah ke ranah digital. Ini telah mendorong munculnya sesuatu yang disebut dimensi “onlife”, yang menyimbolkan betapa eratnya kehidupan online dan offline kita.

Suatu hari nanti, kita mungkin akan melihat hadirnya metaverse, sebuah dunia online yang tidak pernah mati yang menyediakan ruang-ruang digital baru untuk orang berinteraksi, bekerja, dan bermain lewat avatar.

Dampaknya adalah hak dan kebebasan orang semakin dibentuk oleh aturan-aturan yang ditentukan oleh perusahaan-perusahaan teknologi besar (big tech). Keputusan Twitter untuk membungkam mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump setelah kekerasan di Capitol Hill, Facebook melarang konten dari penerbit Australia, dan YouTube memblok konten antivaksin adalah beberapa contoh bagaimana perusahaan teknologi melebarkan peran tidak hanya sebagai penjaga gerbang (gatekeepers) informasi global tapi juga sebagai institusi kekuasaan privat.

Contoh-contoh ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan konstitusional tentang siapa yang memiliki legitimasi, siapa yang memiliki kuasa, dan bagaimana demokrasi bisa berjalan pada era digital. Ini mengarah pada bangkitnya konstitusionalisme digital, sebuah fase baru ketika hak-hak individu dan kekuasaan publik “dipindahtangankan” di antara kelompok-kelompok baru - misalnya perusahaan digital - di skala global.

Permainan kekuasaan baru

Konstitusionalisme digital tidak berarti merevolusi akar konstitualisme modern, yaitu prinsip-prinsip yang mencakup pemerintahan yang bertanggung jawab dan akuntabel, hak-hak individu, dan negara berdasarkan hukum (rule of law). Namun, konstitusionalisme digital menempatkan rangka baru pada peran hukum konstitusional pada era digital.

Konstitualisme modern selalu mengejar dua misi: melindungi hak-hak fundamental dan membatasi kekuasaan lewat checks and balances.

Pda era digital, salah satu kekhawatiran utama adalah tentang penggunaan kekuasaan publik yang mengancam hak dan kebebasan, misalnya pembatasan internet atau pengawasan. Ini menjadi mencolok dalam kasus Snowden yang melibatkan seorang pegawai badan intelijen CIA membocorkan dokumen yang menunjukkan pengawasan oleh National Security Agency (NSA) di AS, yang menimbulkan perdebatan antara keamanan nasional dan privasi individu.

Namun perusahaan swasta kini mendominasi internet dan menerapkan aturan layanan atau panduan komunitas yang berlaku pada miliaran pengguna di seluruh dunia. Aturan ini menjadi patokan alternatif menyaingi perlindungan konstitusional atas hak-hak fundamental dan nilai-nilai demokrasi.

Tantangan terhadap demokrasi konstitusional tidak lagi datang dari otoritas negara. Kekhawatiran besar kini muncul dari institusi yang secara formal bersifat privat tapi mengendalikan hal-hal yang secara tradisional diatur oleh otoritas publik - tanpa batasan. Kemampuan perusahaan teknologi untuk menentukan dan memaksakan hak-hak dan kebebasan pada level global adalah wujud bertumbuhnya kekuasaan mereka atas publik.

Misalnya, saat Facebook atau Google memoderasi konten online, mereka membuat keputusan atas kebebasan berekspresi dan hak-hak individu lain atau kepentingan publik berdasarkan standar privat yang belum tentu sesuai dengan aturan konstitusional. Dan keputusan-keputusan ini diterapkan langsung oleh mereka, bukan oleh pengadilan.

Situasi ini telah memicu desakan untuk transparansi dan akuntabilitas. Skandal Cambridge Analytica yang menunjukkan betapa masifnya pengumpulan data pribadi untuk kepentingan pengiklanan politik, dan temuan dari penelitian Facebook sendiri yang menunjukkan potensi dampak berbahaya media sosial pada kesehatan mental anak muda telah memanaskan debat terkait tanggung jawab big tech.

Menangani kekuasaan big tech

Institusi-institusi demokrasi konstitusional masih mencari tahu bagaimana harus berhadapan dengan kekuaasan perusahaan teknologi. Dan walau negara-negara menghadapi tantangan global yang sama, reaksi mereka tidak selalu sama. Bahkan walau negara-negara demokrasi konstitusional secara umum melindungi hak-hak dan kebebasan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat demokratis, bukan berarti perlindungan ini besarnya merata di seluruh dunia.

Di Eropa, aturan Digital Services Act dan General Data Protection Regulation muncul dari keinginan untuk membuat perusahaan teknologi lebih akuntabel dalam hal moderasi konten dan perlindangan data.

Mark Zuckerberg giving a speech against a blue background.
Mark Zuckerberg belum lama ini meluncurkan Oversight Board sebagai tanggapan atas munculnya kekhawatiran tentang transparansi dan akuntabilitas Facebook. Frederick Legrand/Shutterstock

Namun AS masih melihat self-regulation sebagai pendekatan terbaik untuk melindungi kebebasan berekspresi pada era digital. Bahkan Mahkamah Agung AS telah menggarisbawahi bahwa internet - terutama media sosial - memainkan peran penting sebagai forum demokratis.

Oleh karena itu, platform daring tidak buang waktu dalam mengkonsolidasikan kebijakan mereka. Hadirnya dewan-dewan media sosial seperti Facebook Oversight Board telah diterima sebagai langkah baik menuju transparansi dan akuntabilitas. Namun ini juga bisa dilihat sebagai langkah untuk memperkuat kekuasaan dengan menampilkan citra yang meniru sistem konsitusional seperti “mahkamah agung”, sebagaimana yang Facebook telah lakukan.

Konstitusionalisme digital menawarkan beragam perspektif untuk menganalisis perlindungan hak-hak dan penggunaan kekuasaan oleh perusahaan big tech. Konstitusionalisme digital juga mendorong kita untuk melakukan perdebatan lebih dalam tentang bagaimana hak-hak individu dan kebebasan bukan lagi objek dalam kekuasaan negara, tapi juga bagi perusahaan big tech.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now