Menu Close

Bagaimana Cina menggunakan beasiswa kuliah untuk menyetir pandangan politik para santri Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Cina menggunakan beasiswa kuliah untuk membentuk pandangan politik para santri dan pelajar Muslim Indonesia terkait isu seperti diskriminasi terhadap minoritas Uyghur di Xinjiang, Cina. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Dalam beberapa tahun terakhir, Cina semakin intens memperluas pengaruh budaya mereka di Indonesia, setelah sebelumnya gencar menanamkan pijakan ekonomi dan politiknya di negeri ini.

Salah satu upaya yang signifikan, namun jarang tersorot, adalah dengan menjaring pelajar Muslim – terutama kelompok santri – melalui pemberian beasiswa.

Ini bagian dari upaya berkelanjutan Cina untuk menyuguhkan citra positif di mata masyarakat Indonesia. Pemerintah Cina juga ingin memastikan kebijakan domestiknya mengenai keagamaan, termasuk isu diskriminasi terhadap minoritas Uyghur di Xinjiang, dapat dikontrol narasinya.

Cina telah menawarkan beasiswa pada masyarakat Indonesia sejak lama. Namun, penargetan secara khusus untuk para santri baru semakin gencar akhir-akhir ini, menyusul kritik keras masyarakat Indonesia terkait beberapa kebijakan Cina, termasuk menjamurnya megaproyek Belt and Road Initiative (BRI) maupun diskriminasi terhadap minoritas Muslim Uyghur.

Potensi “tujuan terselubung” ini, misalnya, terlihat dari banyaknya santri alumni beasiswa Cina yang kemudian menulis di berbagai media tentang bagaimana “kebebasan agama” dijamin di Cina.


Read more: Cina kembangkan pengaruhnya melalui media dengan 3 strategi berikut


Mereka turut membeo narasi Beijing bahwa isu di Xinjiang, tempat kamp penahanan bagi kelompok Uyghur, bukanlah isu diskriminasi melainkan upaya meredam “pemberontakan warga” terhadap pemerintah Cina.

Para santri ini juga lebih aktif berbicara tentang Cina secara positif di media. Beberapa bahkan mengutuk mahasiswa Muslim lain yang menyerukan pemboikotan Olimpiade Beijing, maupun pihak lain yang memprotes kejahatan Cina di Xinjiang.

Studi baru-baru ini mengungkap adanya pergeseran pandangan di antara anggota Muhammadiyah, organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia, terutama para santri yang hidup di Cina. Aktivitas media sosial mereka menghadirkan citra Cina yang lebih positif.

Pelajar Muslim menjadi target Cina

Bagi para pelajar Indonesia, Cina menjadi negara tujuan pendidikan tinggi kedua terfavorit.

Data terbaru tahun 2019 dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing menyebutkan bahwa ada 15.780 orang Indonesia yang sedang menempuh studi di Negeri Tirai Bambu, dengan kuota beasiswa yang terus bertambah.

Skema beasiswa yang ditawarkan sangat bervariasi. Namun, sebagian besar penerima beasiswa mengikuti program Chinese Government Scholarship (CGS).

Di antara skema-skema tersebut, ada satu program beasiswa yang secara khusus menyasar ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Pelajar yang berafiliasi dengan NU mendapat kuota spesial untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Cina secara gratis.

Berbagai mahasiswa ini kemudian tersebar di berbagai universitas di Cina. Seiring meningkatnya jumlah pelajar NU tersebut, mereka kemudian mendirikan Pengurus Cabang Istimewa NU Cina (PCINU-Cina).

Para penerima beasiswa santri ini juga menyelenggarakan berbagai acara di Cina seperti webinar dan peluncuran buku. Memperingati “Hari Santri” pada 2020, PCINU-Cina menggelar webinar yang membahas peran Santri dalam memperkuat hubungan bilateral Cina-Indonesia.

Mereka juga sering diundang untuk menghadiri acara yang dibuat Partai Komunis Cina (CCP) seperti Xinjiang Brief Forum. Cina mendesain forum tersebut untuk mengundang umat Islam global dan memberitahu mereka bagaimana narasi yang tepat saat mengkomunikasikan masalah Xinjiang kepada masyarakat di negara mereka masing-masing.

Dalam acara tersebut, para pelajar Muslim Indonesia sepakat bahwa isu Xinjiang perlu dilihat secara “komprehensif”. Mereka secara tegas memilih untuk tidak mempercayai laporan dan pemberitaan yang ditulis oleh media Barat.

Pelajar Muslim Indonesia yang menempuh studi di Cina secara aktif hadir di berbagai media untuk menampilkan citra Cina secara positif.

PCINU-Cina pernah menghadiri undangan ke China-Indonesia Symposium on Islamic Culture di Quanzhou, Wuhan, pada 2019 dan 2020. Acara ini diselenggarakan Pemerintah Provinsi Fujian bersama Huaqiao University dan China-Indonesia People-to-People Exchange Development Forum sebagai wadah untuk berbagi pandangan akademisi, praktisi, dan pejabat mengenai hubungan Indonesia dan Cina.

Salah satu situs berita milik NU, yakni NU Online, juga mempublikasikan artikel-artikel yang seolah melukis gambaran kehidupan yang damai dan nyaman bagi para umat Islam yang tinggal di Cina.

Dalam perkembangannya, selain NU, Cina pun telah menawarkan beasiswa kepada pelajar Muhammadiyah. Meski jumlah pastinya tidak dilaporkan, upaya ini tampaknya membuahkan hasil. Banyak penerima beasiswa tersebut kini mulai memuji Beijing.

Selain beasiswa kuliah penuh, Cina juga menawarkan banyak beasiswa short course (program akademik berjangka pendek). Pada 2019, misalnya, Beijing menawarkan beasiswa kepada santri khusus untuk mengunjungi wilayah Xinjiang untuk mengamati kehidupan umat Islam di daerah tersebut melalui tur yang dipandu.

Cina bahkan berkolaborasi dengan Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia untuk mengirimkan beberapa delegasi santri untuk berkunjung ke Cina. Program ini diberi nama “Santri Untuk Perdamaian Dunia, Goes to China”.

Dalam agenda tersebut, para santri bertemu dengan perwakilan dari berbagai lembaga nasional di Cina. Di antaranya adalah China Islamic Association (CIA), untuk mendengarkan seminar bertema “Islam di Cina”, yang tentunya merupakan versi Beijing.

Pada kunjungan tahun 2019, misalnya, tokoh CIA mengklaim bahwa hubungan antara Muslim Cina dan pemerintah Cina terjalin sangat baik.

Sebelumnya pada 2013, sekitar 60 santri dari Pondok Pesantren Ar-Risalah Jawa Timur diundang menghadiri kelas musim panas di Hangzhou. Pesantren Nurul Jadid Probolinggo Jawa Timur juga mengabarkan bahwa mereka menerima beasiswa dari pemerintah Cina untuk sejumlah santrinya.

Selama bertahun-tahun, Cina telah berkomitmen untuk terus memberikan beasiswa kepada mahasiswa Muslim Indonesia.

Tahun lalu, perguruan tinggi di Daerah Otonomi Ningxia Cina mempromosikan program beasiswa kepada komunitas santri Indonesia. Mereka menggunakan slogan “Lulusan pesantren bisa belajar teknologi dan bisnis di Ningxia University”.

Beragam beasiswa ini tidak hanya dipromosikan oleh perwakilan dari Cina saja, melainkan juga disebarkan oleh para alumni di Tanah Air melalui seminar dan konferensi. Banyak di antaranya bahkan diselenggarakan di masjid dan kampus Islam.

Melawan narasi Beijing

Para santri ini, yang sangat fasih dan mengerti betul mengenai konsep “persaudaraan sesama Muslim” seharusnya dapat berbicara lebih banyak tentang penderitaan Muslim Uyghur di Xinjiang.

Mereka seharusnya tidak mempercayai narasi Beijing begitu saja. Ada banyak sekali laporan komprehensif dan terpercaya dari organisasi hak asasi manusia, panel independen, dan bahkan kesaksian dari penyintas yang mengonfirmasi bahwa kejahatan kemanusiaan di Xinjiang terhadap Muslim Uyghur benar terjadi dan hingga kini masih berlangsung.

Sayangnya, sampai artikel ini terbit, sulit untuk menemukan laporan atau tulisan terkait santri yang menentang sikap pemerintah Cina atas isu Uyghur.

Komunitas santri harus bisa menggunakan waktu mereka di Cina untuk mempelajari lebih lanjut dan menguak tabir tentang perjuangan Muslim Uyghur dan kondisi kehidupan mereka yang sebenarnya.

Dengan intelektualitas dan kapasitas mereka, para santri punya peran besar untuk turut serta melobi pemerintah Indonesia dan tokoh-tokoh terkemuka untuk mengeluarkan pernyataan yang kuat dan tegas menentang kebijakan Cina di Xinjiang.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah menulis surat terbuka. Ini tidak hanya ditujukan ke Beijing, tapi juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil sikap menekan Cina. Dengan ini, para santri Indonesia pun dapat mengajak pelajar Muslim lain di seluruh dunia serta organisasi lain yang relevan untuk membantu membebaskan saudara Muslim Uyghur dari penindasan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now