Menu Close

Bagaimana Indonesia mengatasi ancaman dari “pejuang” IS yang kembali ke tanah air

Aksi lilin untuk korban pengeboman gereja di Surabaya. EPA/Robert Rizky

Bukanlah suatu kebetulan bahwa serangan bom bunuh diri di tiga gereja Katolik di Surabaya terjadi ketika umat Islam akan memulai puasa pada bulan suci Ramadan.

Bagi kaum yang taat, Ramadan adalah saat untuk beramal, introspeksi, pembaruan, dan mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Namun, untuk Negara Islam (IS), Ramadan menjadi waktu yang strategis untuk menyerang. Pemilihan waktu ini terinspirasi oleh Pertempuran Badar pada 624 Masehi, terjadi pada 17 Ramadan tahun itu, ketika Nabi Muhammad dan pasukannya mengalahkan kekuatan yang jauh lebih unggul dan meletakkan dasar bagi pertumbuhan Islam.

Pada Ramadan tahun lalu, Negara Islam mengklaim lebih dari 300 serangan terpisah di seluruh dunia.

Bom bunuh diri mengerikan pada Minggu, yang melibatkan anak-anak dan menyebabkab 13 orang tewas serta lebih dari 40 luka-luka, juga menunjukkan adanya pola berbeda, yaitu serangan yang dilakukan oleh kelompok teroris Asia Tenggara.


Read more: Ketika teroris mengorbankan anak dalam aksi bom bunuh diri—apa yang bisa dilakukan?


Dengan hilangnya wilayah yang pernah mereka kuasai di Irak dan Suriah, IS secara aktif berusaha memobilisasi dukungan kelompok-kelompok jihadis di negara-negara seperti Libya, Yaman, Nigeria, dan Bangladesh.

Dalam sebuah artikel di majalah Negara Islam Rumiyah pada 2017, Asia Tenggara, khususnya Filipina dan Indonesia, juga diidentifikasi sebagai target inti. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, jumlah serangan di wilayah ini telah meningkat. Hal ini sebagian didorong oleh kembalinya para pejuang dari garis depan pertempuran Negara Islam di Timur Tengah.

Mengembalikan pejuang asing

Perkiraan konservatif menunjukkan lebih dari 1.000 pejuang telah melakukan perjalanan ke Timur Tengah dari Asia Tenggara untuk bergabung dengan Negara Islam selama lima tahun terakhir. Dari jumlah tersebut, sekitar 700 diperkirakan berasal dari Indonesia. Sekitar setengahnya adalah pejuang laki-laki, setengah lainnya perempuan dan anak-anak yang bergabung dengan suami mereka. Sekitar 75 pejuang Indonesia lainnya dideportasi dari Turki sebelum mereka dapat melintas ke Suriah.

Menimbang bahwa 225 juta muslim tinggal di Indonesia, jumlah orang Indonesia yang bertempur di Irak dan Suriah sangat rendah. Australia, yang memiliki populasi muslim 604.000, lebih dari 100 warganya bergabung dengan IS, setidaknya 87 tewas.


Read more: Ideologi dan agama hanya sebagian alasan aksi terorisme pasca 11 September


Jurnalis dan pakar berpendapat bahwa pluralisme di Indonesia berperan penting dalam menekan arus pejuang ke Timur Tengah.

Namun, tindakan segelintir pejuang IS yang terlatih dapat membawa dampak fatal—baik dalam hal korban dan dampak politik yang lebih luas, seperti ditunjukkan oleh serangan di teater Bataclan di Paris pada 2015.

Meskipun pasukan intelijen Indonesia terlatih dengan baik dan telah bekerja dengan negara-negara seperti Australia untuk meningkatkan pembagian informasi lintas batas, Indonesia tidak memiliki aturan yang melarang warganya pergi ke luar negeri untuk bergabung dengan IS. Selain itu, di Indonesia menyatakan dukungan terhadap IS juga bukan hal yang melanggar hukum.

Masalah menjadi semakin pelik dengan kenyataan bahwa perbatasan Indonesia mudah ditembus, sehingga hampir tidak mungkin mencegah kembalinya pejuang kembali ke negara tanpa diketahui.

Ancaman dari dalam

Awalnya media melaporkan bahwa keluarga yang bertanggung jawab atas pengeboman gereja di Surabaya telah bertempur di Suriah, klaim yang kini telah ditarik kembali.

Namun, mereka terkait dengan Jemaah Ansharut Daulah (JAD), sebuah organisasi yang memayungi lusinan kelompok militan di Indonesia. Pemimpin JAD, Aman Abdurrahman, ditahan di penjara Markas Komando Brigade Mobil, tempat terjadinya kerusuhan mematikan minggu lalu yang menyebabkan tewasnya beberapa polisi penjaga penjara.


Read more: Tindakan terorisme pertama dalam penjara: penyulut dan bagaimana mencegahnya


Kelompok militan yang beroperasi di dalam payung JAD relatif otonom dan tidak memiliki banyak interaksi satu sama lain. Namun, hampir pasti, meski sulit untuk dibuktikan, bahwa para “pejuang” yang kembali dari Irak dan Suriah telah bergabung dengan mereka membawa pengalaman medan perang dan keahlian militan.

JAD juga telah menyatakan dukungannya kepada IS. Ikrar dukungan, atau baiat, kepada pemimpin Negara Islam Abu Bakr Al-Baghdadi mengharuskan pengikut untuk mengikuti perintah Al-Baghdadi. Namun, pada saat yang sama pengikut dapat secara otonom mmenyerang negara, penolak IS, dan orang murtad.

Negara Islam juga menikmati dukungan yang cukup besar dari kalangan orang Indonesia umum. Sebuah penelitian dari Pew Research menemukan bahwa 4% orang Indonesia punya opini yang positif terhadap IS. Persentase ini mungkin tampak kecil, tapi jika diterjemahkan dalam dalam jumlah, ini lebih dari 9 juta orang. Masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi semakin konservatif. Maka dukungan pada IS akan terus tumbuh.

Pemerintah Indonesia menghadapi tantangan berat yang terjadi dalam waktu bersamaan, yaitu kembalinya pejuang IS dan kekerasan ekstrem yang tumbuh di dalam negeri.

Tidak ada bangsa yang bisa memerangi terorisme sendirian. Meski Australia dan Indonesia telah bekerja sama dengan baik dalam inisiatif anti-terorisme, seorang pejabat senior pemerintah Australia kepada The Australian pada Senin mengatakan bahwa Canberra akan memperkuat kerja sama dengan Jakarta untuk mengatasi masalah para pejuang IS yang kembali ke Indonesia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,400 academics and researchers from 4,954 institutions.

Register now