Menu Close

Bagaimana orang Bali menanggapi runtuhnya pariwisata, ritual memang penting — namun berbahaya

Menunggu kedatangan wisatawan. Johanes Christo/NurPhoto lewat Getty Images

Merebaknya infeksi virus SARS-COV-2 varian Delta membuat Bali, salah satu provinsi terkaya di Indonesia, terjerembab ke dalam krisis ekonomi. Persoalan juga kian rumit akibat pelaksanaan protokol kesehatan yang kerap tak sejalan dengan kepercayaan masyarakat setempat.

Pemakaian masker telah menjadi kewajiban. Kebijakan karantina wilayah secara parsial pun tengah berlangsung guna menahan laju penularan. Namun, orang-orang Bali meyakini bahwa COVID-19–yang dianggap sebagai suatu kekuatan yang tak terbendung–justru dapat dihilangkan melalui sebuah ritual.

Dalam bahasa Inggris, fenomena itu kerap disebut ‘supernatural’–namun sesungguhnya tidak sesederhana itu. Di Bali, terdapat istilah ‘Niskala’–sebuah lapisan realitas lebih dalam yang mendasari terjadinya ‘sekala’, alias realitas yang dialami sehari-hari.

Karena itu, solusi untuk menghilangkan pandemi Covid-19 terletak (setidaknya sebagian) dalam ritual. Namun, pada dasarnya, pelaksanaan ritual di Bali bersifat kolektif – ratusan atau ribuan orang membuat persembahan dan berdoa bersama – terutama untuk mengatasi persoalan pandemi.

Meski dalam konsep niskala pelaksanaan ritual itu bisa diterima. Namun, di dunia sekala ini, ritual berjamaah itu berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

Bulan lalu, organisasi resmi Hindu Bali (Parisada Hindu Dharma) dan dewan desa adat (Majelis Desa Adat) mengeluarkan pernyataan bersama yang mengimbau masyarakat untuk membatasi pelaksanaan ritual-ritual penting dan jumlah orang yang hadir di dalamnya. Militer dan polisi pun turut “mendukung” permintaan tersebut.

Runtuhnya sektor pariwisata

Saat ini, hampir semua hotel maupun restoran di Bali dalam kondisi lengang. Banyak pekerja yang telah dipecat, atau terkena pemotongan gaji. Pelaku usaha kecil di pinggir jalan yang menjajakan pernak-pernik murah untuk turis telah menghilang. Sebagian di antaranya beralih menjual makanan murah untuk penduduk setempat agar dapat bertahan hidup.

Industri lapis kedua yang dulu melayani sektor pariwisata, seperti bangunan dan pertanian juga telah kehilangan sumber pendapatan mereka. Data resmi memperkirakan sekitar 100.000 pekerjaan (Data ini mungkin terlalu rendah) telah hilang.

Sebuah faktor yang memperumit adalah perhatian utama kebanyakan orang masih tertuju ke dampak ekonomi. Solusinya pun bertumpu pada pemulihan sektor pariwisata.

Perhatian itu memang menguntungkan dalam jangka pendek, namun tidak menyelesaikan risiko jangka panjang dari sebuah ekonomi yang hampir bergantung kepada satu sektor saja.

Pengunjung domestik yang tiba di Bali.
Meskipun Bali dibuka kembali untuk pariwisata domestik, jumlah pengunjung menurun. Johanes Christo/NurPhoto via Getty Images

Angka kedatangan turis internasional tercatat anjlok dari sekitar 15.000 orang per minggu menjadi segelintir saja sejak Maret tahun lalu. Penurunan wisatawan domestik juga tidak kalah dramatis. Selama periode 2019-2020, jumlah kedatangan wisatawan internasional menurun 79% dan wisatawan domestik melorot hingga 66%.

Dampaknya, pertumbuhan ekonomi Bali yang biasanya mencapai 5% per tahun menjadi minus lebih dari 10%.

Rendahnya tingkat pemeriksaan COVID-19 dan pelaporan yang kurang sistematis telah lama mengaburkan hitungan kasus yang sebenarnya di Indonesia. Situasi bertambah parah ketika varian Delta tiba pada bulan peJuli, Indonesia menjadi salah satu negara dengan kasus tertinggi — digambarkan oleh beberapa orang sebagai India kedua.

Sebelumnya, pemerintah mencoba meredam persepsi risiko dan memprioritaskan aspek perekonomian dibandingkan kesehatan masyarakat. Namun, karena situasi bertambah buruk, pemerintah terpaksa menerima kenyataan sehingga kebijakan pembatasan yang sederhana pun diberlakukan.


Read more: How Bali could build a better kind of tourism after the pandemic


Bali sebenarnya memiliki jumlah kasus yang relatif rendah, bahkan mengizinkan beberapa kasus untuk tidak dilaporkan. Persoalan utama di daerah ini adalah tekanan perekonomian sebagai imbas penutupan mendadak aktivitas pariwisata–yang kemudian berlangsung lama.

Banyak orang yang terpaksa kembali ke kampungnya guna bertahan di situasi perekonomian yang sudah mengering. Cara ini adalah solusi darurat yang berhasil setiap pariwisata mengalami krisis, meski hanya sementara.

Saat ini, banyak orang tidak memiliki penghasilan selama lebih dari setahun. Dukungan dari keluarga, teman-teman, atau lembaga sosial tidak dapat bertahan lama. Orang dengan utang yang belum terbayar (biasanya untuk kendaraan bermotor atau investasi di bisnis pariwisata) terjebak di situasi yang sulit karena bunga yang tinggi. Akhirnya, banyak dari mereka yang terpaksa mengobral aset-aset demi pembayaran utang.

Bali sebagai pulau digital penghubung

Ada banyak kisah sukses tentang orang yang beralih pekerjaan ke sektor pertanian. Namun, mereka adalah pengecualian. Kebanyakan orang hanya menunggu dan berdoa agar pariwisata bisa menggeliat lagi.

Pemerintah juga telah berdoa, dengan mensponsori ritual besar di pura-pura penting di seluruh pulau. Ritual seolah-olah dihelat guna perlindungan dari pandemi, seperti yang dikatakan oleh wakil gubernur, agar Bali “kembali normal”.

Namun, pemerintah tak kunjung merilis rencana-rencana yang lebih pragmatis. Vaksinasi tengah dilaksanakan dan menjadi sebuah prioritas. Berdasarkan data resmi, vaksinasi tahap pertama telah mencapai “jangkauan 100%,” dan sekitar 36% untuk vaksinasi kedua.

Pada awal 2021, pemerintah Indonesia menginisiasi rencana untuk membuat 25% pegawai dari tujuh kementerian untuk pergi ke Bali dan bekerja jarak jauh dari sana. Ada juga sebuah rencana untuk mengeluarkan visa baru selama lima tahun untuk menarik para pekerja lepas, yang kebanyakan telah bekerja tidak secara resmi.


Read more: Five ways to turn Bali into a 'Zoom island' for global remote workers


Elemen kunci lainnya adalah program akreditasi untuk bisnis perhotelan dan tempat pariwisata. Harapannya, program ini dapat menciptakan kesan bahwa Bali siap menyambut wisatawan, tapi dengan protokol kesehatan yang ketat.

Bali pun tetap terbuka untuk kedatangan wisatawan domestik, meski pelancong dari pulau Jawa datang dengan risiko infeksi yang tinggi. Ada juga rencana untuk membuka kembali Bali untuk pariwisata internasional, namun selalu tertunda karena perkembangan-perkembangan terbaru.

Sejak kebijakan lockdown parsial diberlakukan di bulan Juli, ada tambahan sebanyak 3.500 pegawai hotel telah diberhentikan. Hotel-hotel serta restoran-restoran (setidaknya ada 48 unit menurut data terakhir) dijual. Rumah sakit di Bali telah kewalahan, suplai oksigen kembang-kempis. Akhirnya, banyak warga asing yang telah melewati gelombang pertama kini mencoba untuk meninggalkan Bali.

Risiko yang timbul karena hanya mengandalkan pariwisata sebenarnya telah terlihat dengan jelas lewat serangkaian insiden selama beberapa dekade terakhir. Insiden dimulai dengan serangan 9/11 di AS, letusan gunung Agung, dan epidemi yang kurang dramatis.

Pemerintah bisa saja dibujuk untuk bertindak–atas saran dari Bank Indonesia–untuk mengurangi ketergantungan pada pariwisata. Caranya melalui pengembangan “sektor-sektor lainnya seperti pertanian, ekonomi kreatif, ekonomi digital dan pendidikan”. Namun, solusi itu nampaknya lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now