Menu Close
(shutterstock)

Belajar dari aktivisme lokal perempuan untuk perjuangan lingkungan global

Perubahan iklim membawa dampak berbeda bagi laki-laki dan perempuan, terutama di negara-negara belahan bumi Selatan.

Perbedaan dampak ini salah satunya dipengaruhi oleh budaya patriarki. Perempuan dalam isu lingkungan kerap terpinggirkan dari kepemilikan dan pengelolaan sumber daya. Perempuan tidak dilibatkan dalam diskusi tentang pengetahuan lokal. Budaya patriarki juga membuat relasi gender yang timpang: perempuan hanya dianggap cakap mengurus rumah tangga.

Akibatnya, ketika perubahan iklim terjadi: cuaca ekstrem, kebakaran hutan, ataupun banjir, perempuan menanggung beban dan dampak lebih berat. Selain mengalami dampak langsung, perempuan juga rentan menghadapi kekerasan berbasis gender yang lebih intens.

Meski demikian, narasi bahwa perempuan hanyalah “korban” kerusakan lingkungan perlu kita bedah lagi. Di negara-negara Selatan, perempuan juga berdaya dan memiliki kekuatan untuk melestarikan lingkungan.

Keberdayaan atau agensi perempuan dalam mempertahankan lingkungan terwujud dalam berbagai bentuk aksi politik, baik formal maupun informal, individu maupun kolektif.

Gerakan perempuan di negara-negara Selatan

Sejarah mencatat kontribusi dan peran perempuan dalam advokasi konservasi dan perjuangan melindungi lingkungan dari kerusakan. Salah satu contohnya adalah gerakan Chipko di India.

Perempuan penjaga hutan
Foto perempuan Chipko yang memeluk pohon untuk melindungi hutan. (Arnab Chaudhary/Wikimedia Commons)

Gerakan ini berawal pada 1974, masyarakat dan perempuan adat di desa Reni, India, berjuang melindungi hutan dari penebangan yang mengancam kelangsungan hidup. Para perempuan setempat pun melakukan aksi kolektif menjaga dan memeluk pohon untuk menarik mundur kontraktor dan mencegah penebangan.

Upaya mempertahankan lingkungan tersebut berlanjut di level global.

Dalam Konferensi Nairobi tentang keberadaan perempuan negara-negara dunia ketiga pada 1985, para perempuan menyuarakan pentingnya pelestarian lingkungan dan aksi politik perempuan. Dalam konferensi ini, testimoni dari gerakan Chipko dan gerakan perempuan serupa di negara-negara lain terus berdengung.

Selain gerakan Chipko, gerakan perempuan di Zapotalito–desa di pesisir Pantai Pasifik Oaxaca, sebelah selatan Meksiko, turut mengusung aksi politik sejak 2016. Desa ini berada di dalam kawasan taman nasional laguna Chacahua-Pastoría yang rusak: ikan-ikan mati, bau amonia menyengat, air tergenang, dan kualitas udara buruk.

Para perempuan beraksi dengan bertahan tinggal di desa dan melakukan kegiatan sehari-hari di tengah kerusakan laguna Chacahua-Pastoría. Mereka memasak makanan, membuat tortilla, membersihkan rumah, merawat anak-anak, merawat hewan peliharaan dan tanaman, dan menangkap ikan untuk konsumsi keluarga. Sayangnya, upaya perempuan mempertahankan ruang hidup dengan kegiatan sehari-hari ini kerap tidak dianggap sebagai tindakan politik.

Selain bertahan, perempuan Zapotalito juga bersama-sama membersihkan kanal-kanal alami di kawasan mangrove Coaxaca. Pembersihan dilakukan secara berkala menggunakan sekop dan cangkul.

Sementara itu, gerakan perempuan di Chiquiacá, Bolivia, melawan pengrusakan kawasan konservasi Tariquía Flora and Fauna National Reserve sejak 2017.

Para perempuan ini memimpin unjuk rasa untuk menentang masuknya perusahan minyak dan gas bumi di kawasan tersebut. Pada tahun 2019, para perempuan memblokade jalan masuk wilayah konservasi selama 5 bulan untuk mencegah masuknya alat pengeboran.

Dokumentasi aksi perempuan Chiquiacá di Bolivia.

Para perempuan Chiquiacá juga berdemonstrasi di jalanan, menghalangi pembangunan masuk wilayah mereka. Gerakan ini menjadi aksi kolektif yang lebih luas hingga saat ini dan telah mendapatkan dukungan dari ribuan warga Bolivia.

Di Indonesia, para perempuan nelayan di Jawa Tengah berjuang untuk menjamin keberlanjutan komunitas dan ruang hidup mereka di tengah krisis iklim sejak 2020. Ketidakpastian gelombang laut, banjir pasang yang semakin tinggi, dan kenaikan permukaan air laut telah membuat beberapa rumah-rumah nelayan di tenggelam.

Gerakan perempuan nelayan yakni Puspita Bahari dan Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) di Kabupaten Demak, Jawa Tengah terus menyuarakan masalah ini. Mereka berbicara mengenai lingkungan dan hak atas ruang hidup kepada para pengambil kebijakan, melakukan peningkatan kesadaran masyarakat, menggalang dana untuk membangun jembatan, dan melakukan pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan.

Mereka juga secara aktif mengungkapkan masalah ini di berbagai forum dan media untuk memastikan agar masalah yang dihadapi oleh nelayan perempuan didengar dan mendapatkan perhatian yang lebih luas.

Video dokumenter Watchdoc tentang aksi perempuan Samin di Jawa Tengah yang memasung kaki untuk memprotes pembangunan pabrik semen di daerah mereka.

Selain di Demak, ada juga gerakan perempuan lainnya seperti Mpu Uteun yang menjaga hutan Aceh sejak 2015, Kartini Kendeng di Jawa Tengah yang melakukan aksi menyemen kaki dan membangun tenda perlawanan untuk menolak pembangunan pabrik semen sejak 2014, dan aksi ‘mama’ Aleta Baun di Nusa Tenggara Timur yang melawan pertambangan dengan menenun kain sejak 1999.

Tidak jarang dalam setiap aktivisme yang dilakukan, perempuan mengalami ancaman, intimidasi, dan kekerasan dari berbagai pihak. Misalnya, kekerasan verbal: “perempuan seharusnya duduk diam di rumah dan mengurus dapur” yang dialami gerakan perempuan di Chiquiacá, Bolivia. Ada juga ancaman pembunuhan yang diterima Aleta Baun di NTT.

Walau begitu, mereka pantang mundur. Para perempuan maju terus untuk memperjuangkan kelestarian ruang hidup mereka.

Berbagai dukungan di tingkat global

Gerakan di atas membuktikan bahwa perempuan berdaya melakukan dengan aktivisme lingkungan dari tingkat rumah tangga, komunitas, hingga negara.

Dunia internasional pun mengamini perjuangan tersebut. Kebijakan dan dokumen internasional saat ini telah memasukkan dimensi gender sebagai elemen penting dan spesifik dalam isu lingkungan dan pembangunan.

Dokumen terbaru, misalnya, diterbitkan oleh Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 2023. Laporan mereka mengangkat topik gerakan perempuan lokal dan perempuan adat sebagai solusi kebijakan dan aksi iklim. Laporan ini mengakui bahwa perempuan dari komunitas lokal dan perempuan adat memimpin dalam pengembangan dan implementasi kebijakan iklim di tingkat lokal, nasional, dan internasional.


Read more: Konferensi iklim masih didominasi laki-laki, saatnya meningkatkan keterlibatan perempuan


Sejumlah kebijakan juga mendorong keterlibatan perempuan dalam agenda pembangunan berkelanjutan.

Contohnya, Deklarasi Rio de Janeiro 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan menyepakati peran penting perempuan pengelolaan dan pembangunan lingkungan. Ada juga Konvensi PBB tahun 2004 untuk Melawan Kekeringan dan Degradasi Lahan (UNCCD). Konvensi ini menekankan peran penting perempuan di wilayah terdampak kekeringan, terutama di daerah pedesaan negara-negara berkembang.

Selain itu, Laporan Pertemuan Antar Pemerintah Tingkat Tinggi terkait Platform Beijing di Asia dan Pasifik turut menyoroti hubungan krusial perubahan lingkungan dengan peran perempuan sebagai pengelola dan penyedia sumber daya alam. Platform Beijing yang disepakati pada 1995 adalah resolusi yang mendukung kesetaraan dan pemberdayaan perempuan di seluruh dunia.

Langkah ke depan

Meskipun merasakan dampak berlapis akibat perubahan iklim, perempuan terus menunjukkan ketangguhan dan pengetahuan mereka untuk menemukan solusi terhadap krisis iklim.

Aksi perempuan menuntut keadilan iklim menjelang Konferensi Bonn pada 2017. (Dokumentasi Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim)

Karena itulah, pengakuan terhadap aktivisme perempuan sangat penting untuk menghubungkan aktivisme di tingkat akar rumput dengan politik global. Pengakuan ini juga akan menunjukkan banyaknya perbedaan, kesamaan, dan keterhubungan antara satu tempat dengan tempat lainnya, antara satu negara dengan negara lainnya. Sehingga bisa menjadi salah satu cara untuk menghadirkan solidaritas.

Kita dapat memulai upaya mendokumentasikan aktivisme lokal. Pencatatan ini berfungsi sebagai upaya mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman perempuan ke dalam agenda pembangunan lingkungan.

Kedua langkah tersebut penting dilakukan untuk menghindari generalisasi berlebihan terhadap situasi perempuan di berbagai negara sekaligus melampaui narasi bahwa “perempuan secara inheren adalah korban”.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now