Menu Close
(Budi Candra Setya/Antara)

Bias daratan megaproyek IKN: bagaimana ruang laut terlupakan dalam perencanaan ibu kota baru

Presiden Joko Widodo tengah mengupayakan berbagai strategi untuk memindahkan rencana Ibu Kota Negara (IKN) dari DKI Jakarta ke wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pembahasan Undang Undang (UU) IKN pun relatif singkat, hanya memakan waktu lima bulan sejak terbitnya Surat Presiden hingga pengesahannya oleh DPR pada 15 Februari 2022.

Ngebutnya pembahasan ini amat disayangkan. Kami menganggap masih ada beberapa aspek yang seharusnya dibahas lebih lanjut karena menuai kontroversi di masyarakat. Salah satu yang kami temui adalah rencana induk dalam UU IKN yang seakan melupakan pengelolaan ruang laut.

Ini bukan perkara kecil. IKN akan menjadi pusat aktivitas negara sehingga berisiko menambah tekanan manusia terhadap ekosistem. Pengelolaan IKN yang minim perencanaan tata ruang laut dapat berdampak pada ekosistem perairan seperti mangrove dan biota laut, serta terganggunya mata pencaharian nelayan dan masyarakat pesisir di wilayah sekitar IKN.

Laut yang minim disebut

Presiden Joko Widodo yang menggelar seremoni di hutan tanaman di kawasan IKN, bukan di laut. (Biro Pers Sekretariat Presiden)

Pemerintah mengusung konsep IKN baru sebagai kawasan yang ‘selaras dengan alam.’ Salah satu target yang mendukung hal ini, misalnya, dengan penetapan 75% kawasan IKN sebagai ‘area hijau’.

Sayangnya, tak satu pun target ‘selaras dengan alam’ yang menyentuh ekosistem biru. Ini menjadi ironis mengingat Presiden Joko widodo sempat menargetkan Indonesia sebagai poros maritim dunia dalam pemilu 2014 – yang mengantarkan dia menjadi kepala negara.

Minimnya pertimbangan kelautan dapat terlihat dari ketimpangan penyebutan kata ‘laut’ dan ‘pesisir’ dibandingkan kata ‘hutan’. Dokumen Rencana Induk IKN hanya menyebutkan kata laut sebanyak sembilan kali dan pesisir satu kali.

Sedangkan, kata ‘hutan’ dalam Rencana Induk IKN disebutkan sebanyak 44 kali.

Penyebutan kata laut dalam Rencana Induk pun hanya berkaitan dengan konteks batas wilayah, laut sebagai ‘gerbang’ daratan IKN, maupun infrastruktur di sekitar laut maupun di bawah permukaan laut.

Gambar Pidato Kemenangan Jokowi JK di atas sebuah kapal pinisi Hati Buana Setia. (Probo Darono Yakti]

Absennya paradigma biru akhirnya berimbas pada dokumen rencana induk yang tak memuat strategi perencanaan aspek penting dalam ekosistem laut. Ini misalnya zona perikanan tangkap, zona konservasi perairan, kawasan ekosistem pesisir, maupun kawasan pariwisata pantai.

Tanpa pengaturan ini, bagaimana nantinya Badan Otorita akan mengatur kawasan perairan IKN dengan luas 68.189 hektare?

Dampak dari minimnya pengaturan laut

Berdasarkan rencana induk, aktivitas perekonomian dalam kawasan IKN akan ditopang oleh fasilitas transportasi laut, yakni Pelabuhan Semayang di Teluk Balikpapan yang berfungsi sebagai pelabuhan umum. Ada juga terminal Kariangau sebagai terminal kargo internasional, yang berada lebih jauh di pedalaman Teluk Balikpapan.

Sebagai ibu kota baru, dua fasilitas ini akan menambah sesak lalu lintas kawasan Teluk Balikpapan yang sudah disibukkan oleh aktivitas kawasan industri yang sudah ada. Sejumlah pihak mengkhawatirkan hal ini karena risiko persinggungannya dengan habitat pesut Irawaddy -– satwa perairan yang jumlahnya diprediksi hanya 73 ekor. Kebisingan akibat lalu lintas kapal diprediksi mengganggu aktivitas para pesut.

Dampak tersebut belum termasuk mamalia perairan lainnya seperti lumba-lumba ataupun dugong. Belum lagi satwa yang berada di kawasan mangrove, misalnya bekantan, yang juga menjadi hewan dilindungi.


Read more: Dengan potensi energi matahari dan angin, Indonesia dapat gunakan energi bersih di ibu kota baru


Kawasan IKN Nusantara bukanlah ruang kosong. Perairan di kawasan ini merupakan bagian dari kawasan Selat Makassar yang mencakup perairan di sebelah timur Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah. UU IKN Pasal 15 Ayat 1 huruf b memang mengatur penataan ruang ibu kota baru mengacu pada Rencana Zonasi Kawasan Antarwilayah Selat Makassar.

Dalam Zonasi Selat Makassar, rencana alokasi ruang perairan sudah diperuntukkan sebagai kawasan pemanfaatan umum berupa zona perikanan tangkap. Perairan ini juga mencakup eksisting seperti kawasan strategis berupa blok pertambangan migas, serta jalur migrasi mamalia laut, jalur migrasi penyu, alur pipa migas, dan kabel telekomunikasi.

Namun, kebijakan zonasi ini tak lepas dari kritik. Misalnya, tak ada pengaturan prioritas soal perlindungan mangrove dari aktivitas industri. Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan – yang juga menjadi acuan penataan ruang IKN – juga tidak mengalokasikan permukiman nelayan di Teluk Balikpapan.

Rencana induk IKN semestinya menjadi peluang untuk pembenahan tata ruang yang sudah ada. Tapi, karena ketiadaan pengaturannya, maka pembangunan IKN dikhawatirkan menambah kusut permasalahan tata ruang.

Nelayan sedang menangkap ikan. (KKP)

Pentingnya sinergi dan partisipasi masyarakat

Bias daratan dalam Rencana Induk IKN harus dirombak dengan memasukkan perencanaan pengelolaan ruang laut yang lebih komprehensif. Belum terlambat bagi Badan Otorita IKN untuk merevisi Rencana Induk IKN sebelum pembangunan besar-besaran dimulai.

Kendati begitu, revisi tak bisa dilakukan sendirian. Badan Otorita harus bersinergi dengan pemerintah kota dan pemerintah provinsi – terutama Provinsi Kalimantan Timur. Revisi, misalnya, dapat dilakukan berbasiskan analisis daya tampung dan daya dukung kawasan Teluk Balikpapan serta dampaknya bagi lingkungan sekitarnya.

Sinergi ini penting untuk menjamin segala perencanaan terkait IKN tidak tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah daerah terkait. Risiko yang dapat timbul karena ‘status kekhususan’ IKN harus diredam agar hubungan pemerintah pusat-daerah tetap harmonis.


Read more: Rencana pemindahan ibu kota tidak memenuhi prinsip pembangunan berkelanjutan


Selain pemerintah daerah, masyarakat sekitar harus dapat berpartisipasi dalam berbagai bentuk pembangunan dan pengelolaan kawasan perairan IKN. Misalnya, Badan Otorita harus mengikutsertakan perwakilan nelayan. Sebab, kelompok inilah yang bisa jadi akan terkena dampak langsung oleh pembangunan dan pengelolaan IKN.

Paradigma ruang laut sebagai modal sosial (social capital) dan sumberdaya bersama (common pool resources) harus dipertimbangkan dalam pengelolaan ruang laut IKN. Hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.


Marine Kenzi Martasuganda, peneliti di Padjadjaran Ocean Data Center (PODC) yang berfokus kepada kebijakan dan perencanaan wilayah pesisir, berkontribusi sebagai penulis kedua dalam artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now