Menu Close

Dengan potensi energi matahari dan angin, Indonesia dapat gunakan energi bersih di ibu kota baru

IKN. (Sekertariat Negara)

Pada 15 Februari 2022, Presiden Joko Widodo menandatangani dan mengumumkan sebuah Undang-Undang baru untuk penetapan ibu kota baru Indonesia, yang disebut sebagai “Nusantara” dan berada di antara Balikpapan dan Samarinda di Provinsi Kalimantan Timur.

Jokowi membayangkan Nusantara sebagai kota yang berkelanjutan dan hijau, yang akan menggunakan energi terbarukan untuk memenuhi hampir 40% dari kebutuhan listrik - jauh melebihi rata-rata nasional yakni 11,5%

Lalu, bagaimana Indonesia akan mewujudkan “visi energi hijau” di ibu kota baru Nusantara?

Penelitian kami merekomendasikan pemerintah mempertimbangkan penggunaan potensi energi surya dan energi angin sebagai alternatif untuk memenuhi target energi terbarukan di ibu kota baru.

Energi matahari dan angin: mana yang paling layak?

Pada Agustus 2019, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan ibu kota baru akan membutuhkan kapasitas listrik 1.500 MW . Saat ini produksi energi terbarukan di daerah tersebut masih 0%.

Kalimantan Timur memiliki potensi energi bersih yang sangat besar. Riset dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan prospek pembangkit listrik tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, biofuel dan sumber energi terbarukan lainnya di Kalimantan Timur saja bisa mencapai 2.000 MW.

Statistik kami menunjukkan adanya potensi pembangkit listrik tenaga air yang terdiri dari 26%, dan tenaga surya yang terdiri 65%. Kami menggunakan data geospasial yang menggunakan lahan dan karakteristik medan Nusantara untuk menganalisis kemungkinan potensi energi matahari dan angin.

Kami menemukan bahwa kecepatan angin rata-rata Kalimantan Timur pada umumnya terlalu rendah untuk proyek pembangkit tenaga angin agar bisa menguntungkan. Tetapi beberapa daerah, terutama di bagian timur wilayah tersebut, memiliki kondisi angin yang baik.

Meski demikian, area tersebut perlu memiliki turbin angin dengan ukuran yang tepat, yang dapat diangkut dengan infrastruktur yang tersedia ke lokasi.

Energi matahari lebih layak daripada angin, karena wilayah Nusantara menerima sinar matahari dalam jumlah besar, meski jelas tidak setiap daerah di kota tersebut cocok untuk dipasang panel surya.

Dengan menggunakan data geospasial, kami mengidentifikasi area berpotensi tinggi dengan mengecualikan area miring yang tidak cocok untuk pengembangan tenaga surya dan area penggunaan lahan tertentu seperti hutan, lahan basah, area perlindungan nasional, dan area yang direncanakan untuk bangunan pemerintah.

Riset kami menunjukan bahwa proyek energi surya harus difokuskan di 3 area potensial yakni

1) Perairan, dengan menggunakan panel surya terapung hingga luas 22 km persegi, termasuk badan air di area pertambangan;

2) Daerah pertambangan, karena radiasi matahari umumnya paling tinggi di daerah tersebut. Dengan luasnya yang sekitar 2,21% dari area Nusantara, lapangan pertambangan sudah memiliki infrastruktur distribusi listrik, transmisi, dan transportasi. Keuntungan kedua adalah dampak lingkungan yang rendah dari penggunaan lahan yang sudah terganggu di wilayah pertambangan. Dengan cara ini, kita dapat menghemat biaya sambungan ke jaringan listrik yang tinggi dan meminimalkan dampak lingkungan.

3) Area pertanian, sekitar 1,26% dari lahan yang dapat digunakan. Penelitian kami telah mengidentifikasi 23 km persegi lahan pertanian yang dapat digunakan untuk memasang pembangkit listrik tenaga surya. Petani dan bisnis pertanian dapat berkolaborasi untuk menguraikan solusi yang tergantung sesuai tanaman, lokasi, dan ukuran. Hasilnya bisa menjadi situasi yang menguntungkan tidak hanya bagi petani, investor, tapi juga perusahaan listrik.

Apa yang harus dilakukan

Pemerintah harus memperluas jaringan listrik yang stabil untuk memenuhi permintaan yang meningkat. Jaringan yang tidak stabil berdampak buruk pada energi yang berfluktuasi seperti matahari dan angin.

Saat ini, Kalimantan Timur bergantung pada saluran transmisi sebesar 150 kilovolt (kV). Tetapi menyalurkan daya sebesar 1.500 MW akan membutuhkan saluran transmisi utama 500 kV.

Hal ini terus-menerus membutuhkan beban dasar tertentu, yang saat ini disediakan oleh bahan bakar fosil seperti batu bara. Di sinilah dibutuhkan inovasi.

Ada dua konsep inovasi yang bisa diadopsi

1) Menggunakan jaringan mikro guna meringankan jaringan listrik nasional.

Banyak dari “sistem pulau” – yang jaringan listrik lokal beroperasi secara independen dari jaringan utama – menggunakan energi terbarukan. Jaringan listrik lokal ini ini dapat dihubungkan ke jaringan utama – seperti yang berhasil dilakukan di New Delhi, India.

Saat menghubungkan sistem energi, energi terbarukan dapat melengkapi atau bahkan menggantikan sistem kelistrikan yang ada, dan menghasilkan listrik yang lebih stabil.

Pemerintah juga dapat mengupayakan sistem pemantauan jaringan listrik yang inovatif agar memiliki sejumlah besar data yang tersedia untuk dianalisis sehingga hasil yang konsisten dalam konsumsi listrik dapat dilacak, dan pedoman tersebut disesuaikan dengan manfaat pembangunan kota.

2) Untuk mencapai target pembangunan infrastruktur energi di ibu kota dan negara baru, dapat dipikirkan untuk merangsang pengusaha swasta untuk berkontribusi dalam tender publik untuk produsen listrik independen dalam skala besar.

Produsen listrik asing dan penyedia lokal PLN dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama. Banyak cara yang bisa dilakukan. Peralihan ke energi terbarukan dengan menggunakan sedikit batu bara, pembangkit listrik yang sudah pensiun dapat digunakan untuk lokasi energi surya yang besar karena mereka sudah memiliki infrastruktur untuk terhubung ke jaringan.


Arina Apsarini dari Binus University menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now