Menu Close
Para capres cawapres berfoto usai debat kelima Pilpres 2024 di Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Minggu (4/2/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

Calon presiden harus tahu 5 permasalahan pendidikan di Indonesia

Dalam debat calon presiden (capres) kelima, Minggu, 4 Februari 2024, para capres tidak memberikan pandangan yang jelas tentang arah pendidikan negara Indonesia ke depannya. Untuk menentukan arah pendidikan ini, mereka tampaknya masih perlu memahami permasalahan pendidikan Indonesia terlebih dahulu.

Apa saja permasalahan tersebut?

1. Akses dan partisipasi

Tidak meratanya akses merupakan masalah utama di dunia pendidikan. Dari mulai jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan pendidikan tinggi (PT), terdapat kesenjangan akses antara masyarakat di perkotaan dan pedesaan, kelas sosial menengah atas dan kelas menengah bawah, serta Indonesia bagian barat dan timur.

Di jenjang PAUD, misalnya, data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudriset) tahun 2022/2023 menunjukkan bahwa angka partisipasi kasar anak-anak ke layanan PAUD baru mencapai 45,87%. Dari total 17,7 juta anak berusia 3-6 tahun di Indonesia, baru sekitar 8,1 juta yang sudah mengakses layanan PAUD.

Padahal, salah satu indikator dari Sustanaible Development Goals (SDGs) adalah adanya perluasan akses universal ke layanan PAUD bagi anak laki-laki dan perempuan.

Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, angka partisipasi kasar (APK) atau proporsi anak sekolah pada suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut, sudah cukup tinggi. APK SD mencapai 91,81%, sedangkan APK SMP dan SMA masing-masing sudah mencapai 79,35% dan 68,87%.

Namun, data Statistik Pendidikan 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terdapat 1 dari 1.000 penduduk yang putus sekolah di jenjang SD, 10 dari 1.000 penduduk putus sekolah di jenjang SMP, dan 12 dari 1.000 penduduk yang putus sekolah di SMA. Hal ini membuktikan bahwa isu akses senantiasa beriringan dengan isu partisipasi. Meskipun awalnya anak-anak telah memiliki akses terhadap layanan pendidikan, mereka tidak berpartisipasi penuh dan terpaksa berhenti di tengah karena tekanan kemiskinan.

Di tingkat pendidikan tinggi, angka partisipasi kasar penduduk masih rendah. Di tahun 2022, APK ke PT berada di angka 39,37%. Indonesia tertinggal dari beberapa negara ASEAN seperti Malaysia yang mencapai 43%, dan Singapura yang telah mencapai 91%.

Tingkat partisipasi pendidikan pascasarjana bahkan lebih rendah lagi. Pada acara pembukaan Konvensi Kampus XXIX dan Temu Tahunan XXV Forum Rektor Indonesia di Surabaya pada 15 Januari 2024, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyampaikan bahwa rasio penduduk berpendidikan S2 dan S3 terhadap populasi produktif Indonesia hanya mencapai 0,45%.

2. Neoliberalisasi

Untuk meningkatkan akses, strategi yang dilakukan pemerintah saat ini lebih banyak menggunakan paradigma neoliberal. Dalam pandangan neoliberal, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator dengan cara membangun standar-standar penilaian seperti akreditasi. Untuk pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat dan lembaga pendidikan sendiri.

Ini sangat jelas terlihat terutama pada level PAUD yang sampai saat ini masih belum masuk ke sistem pendidikan nasional. Pengelolaannya lebih banyak dilakukan oleh pihak swasta dan sukarela masyarakat. Akibatnya, selain memicu privatisasi PAUD, kesenjangan antara PAUD di perkotaan dan pedesaan juga semakin tinggi.

Masalah yang sama juga terjadi di pendidikan dasar dan menengah. Meskipun SD, SMP dan SMA sudah masuk menjadi bagian dari pendidikan wajib, riset yang dilakukan penulis di tahun 2019 mengungkap bahwa penggratisan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) tidak serta merta menghilangkan seluruh komponen biaya pendidikan. Siswa masih dibebani biaya-biaya lain seperti seragam, ekstrakurikuler, transportasi, dan uang study tour.

Hal tersebut tentu membebani, terutama bagi anak-anak dari keluarga miskin. Sehingga, konsep pendidikan wajib tidak serta merta menjamin akses penuh ke layanan pendidikan.

Di tingkat pendidikan tinggi, model neoliberalisme sangat kentara terutama sejak lahirnya Undang-undang No. 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi . Perguruan Tinggi didorong untuk menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTBH) yang memiliki otonomi dalam hal pengelolaan, termasuk pengelolaan keuangan.

Akan tetapi, hal ini turut mendorong privatisasi lembaga pendidikan tinggi. Mahasiswa dipandang sebagai sumber pemasukan utama. Akibatnya, masyarakat dari kelompok menengah ke bawah semakin sulit mengakses layanan pendidikan tinggi.

Kasus adanya mekanisme pelunasan Uang Kuliah Tunggal (UKT) melalui pinjaman online di Institut Teknologi Bandung (ITB), misalnya, semakin menunjukkan kuatnya pengaruh neoliberalisme di dunia pendidikan.

3. Kesejahteraan guru dan dosen

Dampak lain dari neoliberalisme pendidikan adalah tidak meratanya kesejahteraan guru dan dosen. Meskipun Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 telah mengatur kewajiban dan hak guru dan dosen, termasuk hak penghasilan mereka dalam bentuk sertifikasi guru, hal ini belum dinikmati oleh semua guru dan dosen.

UU Sisdiknas ini hanya mengatur hak dan kewajiban guru PNS dan guru tetap, sehingga hak dari guru honorer masih dikecualikan. Di tingkat PAUD, guru yang mengajar di PAUD nonformal pun tidak dapat mengakses program sertifikasi guru ini.

Di sisi lain, prosedur untuk memperoleh sertifikasi dosen sangat administratif. Terdapat beragam prasyarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Salah satunya, harus bekerja minimal dua tahun sebelum dapat mengajukan jabatan fungsional yang menjadi syarat sertifikasi.

Selain itu, hasil survei yang dilakukan tim dosen dari berbagai universitas pada tahun 2023 menunjukkan bahwa mayoritas gaji dosen di Indonesia berada di kisaran dua sampai dengan tiga juta per bulannya. Gaji ini tentu sangat minim apabila dibandingkan dengan upah minimum provinsi di Indonesia.


Read more: Berapa gaji dosen? Berikut hasil survei nasional pertama yang memetakan kesejahteraan akademisi di Indonesia


.

4. Tata kelola

Saat ini, pengelolaan dana pendidikan tidak lagi terpusat di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Situs Instagram resmi Kemendikbudristek (@kemdikbud.ri) menunjukkan bahwa dari 20% anggaran pendidikan, hanya 3% yang dikelola oleh Kemendikbudristek. Sisanya terbagi ke dalam beberapa kementerian, termasuk transfer ke daerah sebesar 11% dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Kedua Dana ini diambil dari APBN dan ditransfer oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk membiayai keuangan daerah.

Bagan distribusi pengelolaan APBN. Perpres Nomor 76 Tahun 2023 Rincian APBN TA 2024, Lampiran VI. Kemendikbudristek.

Meskipun bertujuan untuk meningkatkan otonomi dan partisipasi daerah dalam pengelolaan pendidikan, implementasinya masih sangat tergantung komitmen dari pemerintah daerah.

Isu tata kelola terkait juga dengan dualisme layanan pendidikan. Saat ini terdapat dualisme pengelolaan pendidikan, oleh Kemendikbudristek dan Kementerian Agama (Kemenag). Perbedaan pengelolaan ini sering menimbulkan kesenjangan, terutama dari segi pendanaan, perhatian, dan bantuan.

5. Inklusi sosial

Hingga saat ini, bermacam-macam bias masih mewarnai praktik-praktik di lembaga pendidikan. Sebut saja bias gender yang menghambat partisipasi penuh perempuan di ruang pendidikan, bias kelas karena norma dan kepentingan yang digunakan masih dominan nilai kelas menengah ke atas dan bias budaya karena masih menggunakan budaya Jawa. Belum lagi ada bias agama karena lembaga pendidikan masih belum sepenuhnya memenuhi hak dari pemeluk agama minoritas, dan juga bias terhadap kelompok penyandang disabilitas, yang tampak dari fasilitas dan kurikulum di lembaga pendidikan yang belum ramah penyandang disabilitas.

Akibatnya, lembaga pendidikan sering terjebak melakukan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan simbolik.

Kelima masalah yang diuraikan di atas merupakan masalah mendasar yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia saat ini. Siapapun presidennya nanti, dia harus bisa merumuskan solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut, sehingga arah pendidikan Indonesia yang adil dan setara dapat terwujud.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now