Menu Close

Catatan untuk Jakarta: tiga masalah dalam larangan kantong plastik di ibu kota

ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/pras
Warga melintas di samping limbah sampah plastik Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat.

Tren larangan dan pembatasan kantong plastik telah berkembang di seluruh dunia. Pada pertengahan 2018, lebih dari 127 negara menetapkan regulasi tentang pembatasan penggunaan kantong plastik.

Angka tersebut meningkat lebih dari 3 kali lipat selama dekade terakhir.

Jakarta adalah salah satu yang mengadopsi larangan tersebut.

Jakarta, ibu kota Indonesia, merupakan pencemar sampah plastik terbesar kedua di lautan. Kemudian Jepang, yang menempati urutan kedua untuk volume kemasan plastik sekali pakai per orang.

Pada 1 Juli, kedua negara melarang penggunaan kantong plastik gratis di toko-toko.

Kebijakan terbaru di Jakarta, yang berupa larangan langsung, dan Jepang, yang berupa biaya tambahan, merupakan kebijakan penting yang berusaha meninggalkan logika ekonomi penggunaan barang sekali pakai.

Kebijakan ini memang seharusnya mengurangi jumlah angka kantong plastik yang, “menyumbat sistem saluran pembuangan, merusak lingkungan, terdegradasi menjadi polusi mikroplastik sekunder, dan membunuh satwa”.

Selain itu, dapat meningkatkan kesadaran lingkungan di kalangan konsumen.

Terlepas dari niatan baik dari kebijakan tersebut, ada tiga masalah dalam larangan penggunaan kantong plastik:

1. Plastik bukan sumber pencemaran plastik yang terbesar

Sampah plastik memang masalah yang serius. Manusia menggunakan sebanyak 1 triliun “kantong pembawa” sekali pakai, sekitar 128 per orang per tahun.

Jumlah penggunaan plastik sekali pakai jauh lebih besar, yakni 150 juta ton per tahun.

Sama saja dengan 19,32 kg botol sekali pakai, alat makan, sedotan, kemasan, dan lainnya dari setiap orang di planet ini.

Namun, riset terbaru menunjukkan kantong plastik hanya merupakan sebagian kecil dari sampah laut di perairan sekitar Jakarta. Kemasan dan kantong plastik, baik yang tipis maupun tebal, hanya berjumlah lebih dari 13,5% dari sampah yang ditemukan dan 8,5% dari berat mereka.

Di Jepang, kantong belanja plastik hanya 2% dari keseluruhan sampah plastik di negara tersebut.

Selain itu, meski kantong plastik nampak bagi kita, kita perlu ingat bahwa apa yang ada di dalamnya seringkali lebih berbahaya bagi lingkungan daripada kantong itu sendiri.

Misalnya, produk dengan kemasan plastik berat dan wadah beratnya bisa berkali-kali lipat dari kantong plastik.

Atau, pertimbangkan barang-barang yang dibungkus itu sendiri, mulai dari pelarut pembersih beracun, stroberi yang diimpor dari lokasi yang jauh, hingga soda dalam kaleng aluminium.

2. Konsumen dapat beralih ke alternatif yang lebih buruk

Bukti dari pelarangan kantong plastik menunjukkan bahwa kebijakan ini memang mengurangi penggunaan kantong plastik, tapi terkadang menyebabkan bahaya lain bagi lingkungan jika konsumen beralih ke material lain dengan jejak karbon yang lebih besar.

Tas yang terbuat dari kertas membutuhkan 400% lebih banyak energi untuk membuatnya, belum lagi pohon dan penggunaan bahan kimia yang berbahaya dalam proses pembuatannya.

Menanam kapas untuk membuat tas yang terbuat dari kain membutuhkan lahan, jumlah air yang besar, pupuk kimia, dan pestisida.

Kantong plastik menggunakan bahan bakar fosil, sumberdaya yang tak terbarukan dan permanen, dan masuk ke aliran limbah .

Mereka juga dapat menyebabkan lebih banyak polusi di darat dan di saluran air, namun dengan efek yang lebih minim pada perubahan iklim dan penggunaan lahan dibanding jenis kantong lainnya.

Kantong plastik yang mudah terurai, anehnya, mungkin bisa jadi “pilihan yang paling buruk” karena mereka juga berbahaya untuk iklim dan tanah, menyebabkan polusi air, dan mengeluarkan emisi beracun.

Pada akhirnya, keputusan tentang tipe kantong mana yang akan digunakan berhubungan dengan perihal isu lingkungan mana yang diprioritaskan.

3. Konsumen yang merasa sudah menyelamatkan lingkungan dengan tidak menggunakan kantong plastik, akan merusak lingkungan dengan cara lain

Peneliti psikologi menemukan bahwa orang seringkali membahayakan lingkungan ketika mereka mencoba menyelamatkan bumi.

Misalnya, mereka cenderung akan lebih banyak membeli produk, seperti bahan makanan, hanya karena produk tersebut memiliki label ramah lingkungan.

Ini berhubungan dengan konsep perilaku kompensasi.

Misalnya, orang mungkin merasa bahwa, karena mereka mendaur ulang, mereka tidak perlu ragu makan daging ekstra minggu itu. Atau, karena mereka jalan kaki ke toko ketimbang menyetir, mereka merasa boleh membeli baju berlebih.

Terkadang tindakan kompensasi ini adalah upaya dalam mengantisipasi tindakan merusak lingkungan.

Misalnya, penumpang yang berusaha membeli sebagian jumlah emisi karbon yang dihasilkan ketika bepergian dengan pesawat terbang merasa hal tersebut tindakan tepat.

Namun, dari perspektif lingkungan, tindakan yang paling tepat adalah tidak bepergian menggunakan pesawat.

Intinya, mengurangi penggunaan kantong plastik dapat membuat orang lain merasa bahwa mereka memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan lain yang lebih merugikan lingkungan.

Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Langkah selanjutnya

Pada akhirnya, keuntungan terbesar dari larangan kantong plastik adalah upaya dalam dalam mengubah cara pandang kita terhadap lingkungan.

Riset menghubungkan biaya untuk kantong plastik dengan perubahan sikap di antara konsumen, termasuk dukungan untuk kebijakan lingkungan tambahan.

Ada pergeseran norma yang lebih luas, seiring “munculnya norma anti- kantong plastik yang cepat dan menjamur di seluruh dunia”.

Harapannya, kesadaran yang meningkat tersebut juga bisa meningkatkan kesadaran tentang dampak lingkungan dan mengubah gaya hidup.

Hal tersebut memberikan beberapa pencerahan terkait penggunaan tas kemasan.

Sebagai contoh, berdasarkan data Badan PBB untuk Program Lingkungan (UNEP), kantong kain yang digunakan sekitar 50-150 kali lebih baik dibanding kantong plastik sekali pakai.

Jika Anda ingin mengurangi kerusakan lingkungan, pakailah 2 kali untuk mengurangi dampak lingkungan hingga setengahnya. Ingin mengurangi hingga 25%? Pakailah 4 kali. Ingin mengurangi hingga 90%? Pakailah 10 kali.

Jika kita punya kantong atau tas yang dapat digunakan kembali, kita perlu untuk benar-benar menggunakan berulang kali. Artikel di Popular Science mengatakan: “terlepas dari bahannya, kantong terbaik adalah kantong yang sudah Anda miliki.”

Pada akhirnya, apakah kantong plastik harus dilarang? Tidak juga, tapi dampaknya terhadap lingkungan harus dipertimbangkan dengan hati-hati.


Nadila Taufana Sahara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.__

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now