Menu Close

Cina dituduh mengekspor teknologi otoriter. Tapi negara-negara Barat juga diam-diam melakukan hal serupa

Ng Han Guan/AP

Teknologi 5G milik Cina kini telah dilarang di banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS), Australia, Selandia Baru, dan banyak negara di Uni Eropa. Pada 2019, laporan NATO Cyber Defence Centre menyebut teknologi 5G Huawei sebagai sebuah risiko keamanan.

Sejak September, penyedia layanan telekomunikasi di AS menyediakan kompensasi lewat program senilai 1,9 miliar dolar AS (Rp 27,12 triliun) untuk “mencopot dan menggantikan” peralatan Huawei dan ZTE yang dianggap mengancam keamanan nasional.

Namun ketakutan terhadap upaya Cina mengekspor teknologi digital dan pengawasan (surveillance) miliknya bukan hanya terkait Huawei dan 5G. Cina telah dituduh mengekspor “otoritarianisme digital” dan menyebarkan “techno-authoritarianism ke seluruh dunia”.

Cina telah dinyatakan sebagai ancaman untuk seluruh dunia.

Pemindai wajah memindai seorang pengunjung di pameran teknologi di Beijing. Song Fan/AP

Dalam penelitian saya, saya berargumen bahwa otoritarianisme digital tidaklah sesederhana itu.

Teknologi yang membantu pemimpin otoriter mengumpulkan informasi dan mengendalikan rakyat mereka telah diekspor dengan mudah selama berpuluh-puluh tahun. Cina memang mengekspor sistem pengawasan siap-guna pada pemerintah-pemerintah yang dianggap opresif; namun negara-negara di Eropa dan Amerika utara telah melakukan hal yang sama secara sembunyi-sembunyi.


Read more: Dari pembobolan rekening hingga pemerasan seksual: 4 risiko kebocoran data pribadi dan cara mudah mengantisipasinya


Cina mendukung ekspor surveillance, tidak peduli ke mana

Dalam hal ini, Cina memang sasaran kritik yang sangat jelas.

Pertama, negara ini menganut sistem otoriter. Dalam kumpulan pidato Presiden Xi Jinping dari 2012-2018, ia mengkritik sistem politik Barat dan menyerukan kerja sama lebih luas dalam “kolaborasi Selatan-Selatan” antara Cina dan negara-negara berkembang di dunia.

Pandangan-pandangan ini telah menjadi bagian ideologi nasional baru dan dalam proyeknya yang berpengaruh, yaitu Belt and Road Initiative.

Presiden Xi Jinping, kanan, berjalan bersama Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa saat konferensi tingkat tinggi Cina-Afrika pada 2018. Lintao Zhang/AP

Kedua, baik perusahaan maupun pemerintah Cina telah menekankan terus-menerus bahwa negara-negara lain bebas dalam memutuskan untuk apa teknolgi yang mereka beli dari Cina akan mereka gunakan. Pemerintah dan para perusahaan Cina adalah aktor netral yang menjual teknologi netral pada negara lain.

Cina adalah eksportir terbesar peralatan telekomunikasi, komputer, dan telepon di dunia; dan AS adalah negara tujuan utamanya. Cina juga telah mengekspor infrastruktur digital ke lebih dari 60 negara yang sebagian besar adalah negara berkembang lewat Belt and Road Initiative.

Sebagian dari produk-produk ekspor teknolgi surveillance Cina yang paling bermasalah termasuk:

  • basis data pengenalan wajah milik CloudWalk’s di Zimbabwe, yang dianggap dapat digunakan untuk mengawasi pengkritik pemerintah di sana.

  • teknisi-teknisi dari Huawei yang terlibat dalam upaya mata-mata politis di Uganda dan Zambia.

  • pengembangan “kartu tanah air” yang kontroversial untuk mengawasi aktivitas penduduk sipil di Venezuela.

  • penjualan teknologi pengawasan video pintar pada pemerintah Ekuador sebelum yang sekarang, yang cenderung otoriter.

Tabir “netralitas teknologi” untuk perusahaan Barat

Namun, perusahaan Cina bukanlah satu-satunya pelaku di arena perdagangan global yang mendapatkan keuntungan dari pernyataan “netralitas teknologi”.

Perusahaan-perusahaan dari Eropa dan Amerika Utara bertindak cepat begitu mereka punya kesempatan untuk menjual sistem pengawasan ke Cina pada awal 2000-an. Banyak dari teknologi ini turut memperkuat sistem sensor online di Cina.

Dalam sebuah laporan mengejutkan pada 2001, peneliti independen Greg Walton menunjukkan bahwa perusahaan internasional memulai memasaran produk mereka ke institusi keamanan publik Cina paling tidak sejak tahun 2000 ketika sebuah pameran keamanan besar diadakan di Beijing. Pameran rutin terus menarik perusahaan internastional hingga pandemi membuat perjalanan menjadi sulit pada 2020.

Pada 2006, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS menyelidiki Cisco karena menjual teknologi pengawasan ke Cina. Perusahan itu membela diri dengan menekankan mereka punya hak melakukan perdagangan internasional dan atas netralitas teknologi.

Beberapa tahun kemudian, Cisco kembali membela haknya untuk menjual ke Cina dalam sebuah pertemuan dengan Subkomite Yudisial untuk Hak Asasi Manusia di Senat AS. Seorang perwakilan dari perusahaan itu berargumen:

Satu hal yang perusahaan teknologi tidak boleh lakukan, menurut saya, adalah terlibat dalam politik suatu negara.

Awal tahun ini, wartawan investigatif Mara Hvistendahl juga melaporkan bahwa Oracle (perusahaan yang memenangkan tender untuk menjadi host data TikTok di AS) telah menawarkan alat analisis pemolisian prediktif pada badan-badan keamanan publik di Cina.

Pada 2019, Inggris diketahui mengekspor peralatan pencegat telekomunikasi ke berbagai negara, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

Peneliti ilmu politik dari University of Cape Town, Mandira Bagwandeen berargumen bahwa menuding Cina memang mudah, mengalihkan perhatian dari negara lain.

Jujur saja, kalau memang AS benar-benar serius membatasi apa yang disebut sebagai ‘teknologi otoriter’, maka AS juga harus melakukan penanganan dan pembatasan komprehensif baik pada produser demokratis maupun otokratik.


Read more: Bagaimana negara-negara menggunakan identitas digital untuk meminggirkan kelompok rentan di seluruh dunia


Kita perlu memonitor perdagangan teknologi surveillance lebih baik

Faktanya, teknologi pengawasan yang mampu mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang orang pada dasarnya bersifat politis.

Xu Xu, profesor di Princeton University, berargumen bahwa pengawasan digital menjadi solusi “masalah informasi” di negara-negara otoriter karena membuat diktator mampu mengenali dengan lebih mudah pihak-pihak yang berseberangan dengan rezim.

Namun mengatur teknologi baru itu sulit, termasuk di negara demokratis. Australia sedang mengalami ini dengan penggunaan teknologi pengenal plat nomor kendaraan oleh kepolisian tanpa izin untuk memonitor kepatuhan lockdown.

Polisi di sana juga telah mencoba menggunakan data kode QR check-in COVID untuk melakukan penyidikan kriminal.

Berbeda dengan peralatan elektronik lainnya, teknologi pengawasan memiliki kemampuan untuk membentuk dan membatasi hidup, hak, dan kebebasan warga negara. Inilah mengapa penting untuk mengatur teknologi ini.

Walau menerapkan sebuah set aturan scara internasional mungkin sulit mengingat ketegangan antara Cina dan Barat saat ini, pengawasan dan peraturan lebih baik di level domestik mungkin bisa menjadi langkah ke depan.

Satu contoh inisiatif besar adalah proyek multi-tahun oleh Australian Strategic Policy Institute (ASPI) untuk memetakan ekspansi internasional perusahaan teknologi Cina.

Proyek ini membantu memonitor aktivitas perusahaan teknologi Cina dan menyediakan data bagi untuk membuat masukan kebijakan pemerintah. Saat iFlytek, sebuah perusahan teknologi kecerdasan buatan Cina yang terlibat surveillance warga Uighur di Xinjian memasarkan produk mereka ke Selandia Baru, media mengandalkan temuan ASPI untuk menekan sebuah perusahaan di sana menghentikan kerja sama dengan perusahan Cina itu.

Pada Juni 2021 ,Parlemen Eropa menugaskan dan menerbitkan laporan ekstensif tentang artificial intelligence , yang merekomendasikan pendirian komisi keamanan dan pusat penelitian baru yang fokus pada isu AI. Belum terlihat apakah laporan itu akan berdampak, namun ini adalah sebuah awal yang kita butuhkan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now