Menu Close
Petugas kesehatan berjalan di antara pasien positif COVID-19 yang baru tiba di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC), Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, 5 Mei 2021. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj

COVID-19 berpotensi turunkan fungsi pendengaran pasien

Saat ini, banyak orang menyamakan COVID-19 dengan gejala pernapasan seperti sesak dan batuk, dan penurunan indra penciuman. Namun SARS-CoV-2, penyebab COVID-19, sebetulnya bisa menyerang bagian tubuh lain, termasuk indra pendengaran.

Sejumlah laporan kasus dan penelitian dari berbagai belahan dunia melaporkan adanya kasus penurunan pendengaran pada pasien positif COVID-19, baik yang dikeluhkan pasien atau baru diketahui saat pemeriksaan.

Sejauh ini terdapat 249 laporan penurunan pendengaran pada pasien positif atau suspek COVID-19 dari 50 negara. Diagnosis dan tata laksana dini oleh dokter telinga hidung tenggorok bedah kepala leher (THT-KL) dapat memberikan hasil yang positif berupa perbaikan gejala.

Ahli THT-KL sebenarnya telah lama mengetahui infeksi virus, seperti herpes, sitomegalovirus, atau coronavirus lain misalnya, dapat menyebabkan penurunan pendengaran mendadak, baik pada hanya satu atau kedua telinga.

Gejala penurunan pendengaran yang muncul sangat bervariasi bergantung pada jenis virus penyebab. Hasil penelitian mengenai penurunan pendengaran tersebut sangat bervariasi.

Namun Fetterman dan koleganya dari University of Southern California memperkirakan terapi dini yang dimulai kurang dari satu bulan sejak munculnya gejala dapat memberikan hasil yang positif pada 50% kasus dan menurun 25% jika terapi dimulai setelahnya.

Teori pendukung

Sejak awal pandemi banyak ahli memperkirakan SARS-CoV-2 juga dapat menyebabkan penurunan pendengaran.

Teori tersebut kemudian didukung oleh adanya beberapa laporan kasus penurunan pendengaran pada pasien COVID-19 dari berbagai rumah sakit atau sentra kesehatan lainnya di berbagai belahan dunia.

Sebuah laporan dari Thailand pada Maret 2020 menyatakan ada kasus penurunan pendengaran pada pasien COVID-19. Sejak saat itu, kasus-kasus serupa juga mulai dilaporkan dari berbagai negara dunia: Mesir, Amerika Serikat, Qatar, Jerman, Turki, Australia, Inggris, Brazil, Irlandia, Cina, Jepang, Iran, dan negara lain.

Memang laporan penurunan pendengaran pada pasien COVID-19 tidak sebanyak gejala lainnya. Hingga saat ini belum ada laporan kasus serupa di Indonesia.

Tujuh belas laporan kasus dari 14 negara menyebutkan 32 pasien COVID-19 pendengarannya menurun. Selain itu, 11 penelitian lain di 50 negara menunjukkan adanya 217 kasus penurunan pendengaran dari total 6.626 pasien COVID-19 (3,3%).

Kasus yang dilaporkan bervariasi mulai dari penurunan pendengaran ringan hingga tuli total, pada satu atau kedua telinga. Sejauh ini, pasien yang dilaporkan berada dalam rentang usia 18-81 tahun.

Selain penurunan pendengaran, beberapa pasien juga mengeluhkan gangguan telinga lain berupa suara berdenging, vertigo atau pusing berputar, dan nyeri telinga.

Pada beberapa kejadian, gejala penurunan pendengaran muncul sebelum, berbarengan, atau setelah gejala pernapasan yang banyak terjadi pada kasus COVID-19.

Pada kasus lain, gangguan telinga dilaporkan sebagai satu-satunya gejala COVID-19.

Selain gangguan penghantaran suara, SARS-CoV-2 juga diperkirakan dapat menyerang telinga dalam maupun pusat pendengaran di batang otak dan otak besar secara langsung. Teori lain menyatakan adanya kerusakan saraf pendengaran yang disebabkan oleh radang akibat SARS-CoV-2 di sepanjang jalur saraf.

Teori iskemia menyatakan pembekuan darah akibat SARS-CoV-2 juga dapat menghambat transfer oksigen menuju organ pendengaran. Teori-teori tersebut menjelaskan potensi menetapnya penurunan pendengaran menjadi permanen pada kasus COVID-19.

Kasus pada orang tanpa gejala

Yang menarik, penurunan pendengaran secara objektif juga ditemukan pada orang tanpa gejala (OTG) COVID-19. Sebuah riset di Mesir memeriksa fungsi pendengaran secara objektif pada 20 pasien OTG usia 20-50 tahun dan membandingkannya dengan kelompok kontrol.

Dibandingkan kelompok kontrol, peneliti menemukan adanya penurunan rata-rata fungsi pendengaran frekuensi tinggi pada kelompok OTG. Frekuensi >4000Hz tersebut merupakan rentang suara yang lebih tinggi dari percakapan sehari-hari. Hal ini menjelaskan tidak adanya keluhan penurunan pendengaran oleh pasien.

Namun, penelitian ini menunjukkan adanya potensi penurunan pendengaran yang tidak terdeteksi pada pasien COVID-19. Meski tidak selalu mengganggu aktivitas sehari-hari, penelitian ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan fungsi pendengaran pada pasien COVID-19.

Berkaca dari kasus-kasus sebelum masa COVID-19, pemeriksaan oleh dokter spesialis THT-KL untuk penurunan pendengaran mendadak memiliki waktu emas.

Meski tidak semua kasus dapat kembali ke fungsi pendengaraan semula, diagnosis dini penurunan pendengaran menjadi penting bagi pasien karena intervensi segera pada kasus akibat virus dapat memperbaiki fungsi pendengaran. Hal ini juga diperkirakan berlaku untuk penurunan pendengaran pada COVID-19.

Konteks Indonesia

Saat ini belum ada laporan kasus penurunan pendengaran pada pasien COVID-19 di Indonesia, yang dapat disebabkan belum adanya penelitian mengenai hal ini di Indonesia. Untuk itu, riset mengenai penurunan pendengaran pada COVID-19 di Indonesia sangat diperlukan.

Beberapa kesulitan yang mungkin dihadapi oleh peneliti dan dokter adalah pemeriksaan fungsi pendengaran harus dilakukan dalam ruangan tertutup yang hening atau kedap suara, sehingga meningkatkan risiko penularan COVID-19.

Lokasi pemeriksaan pendengaran yang didedikasikan untuk pasien COVID-19 dapat menjadi salah satu alternatif.

Namun mengingat risiko yang lebih besar jika tidak segera diperiksa oleh dokter THT-KL, pemeriksaan fungsi pendengaran dini sebaiknya dilakukan segera pada orang dengan positif COVID-19 atau penurunan pendengaran mendadak.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now