Menu Close

Dari stigma sampai kurangnya sinergi lintas sektor, berikut alasan sulitnya melakukan pendataan akurat terkait penyandang disabilitas

Penyandang disabilitas. Freepik, CC BY

Penyandang disabilitas ganda seperti yang dialami oleh Dede Aris (terlahir tuna wicara dan kini kakinya mengalami lumpuh total) seringkali tidak bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh layanan kesehatan.

Tentunya bukan Dede saja, banyak penyandang disabilitas yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia yang belum mendapatkan perhatian dan dukungan yang layak dari pemerintah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa penyandang disabilitas masih dianggap sebagai warga kelas dua. Hak atas kesehatan, yang sebenarnya adalah hak dasar, masih menjadi barang langka bagi mereka.

Salah satu permasalahan mendasar, namun sering disepelekan, yang menghambat pemberian akses layanan kesehatan adalah terkait pendataan penyandang disabilitas.

Data menjadi sumber penting dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi program pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk dalam layanan kesehatan. Program-program pelayanan kesehatan membutuhkan data dasar yang valid agar tepat sasaran dan tujuan.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa sulit menyediakan data yang akurat dan valid secara keseluruhan, yakni stigma masyarakat, definisi yang kurang jelas, dan diskoordinasi lintas sektoral.

Keluarga kerap menyembunyikan

Persoalan terkait data tidak lepas dari munculnya stigma dan persepsi masyarakat yang menganggap bahwa penyandang disabilitas adalah sebuah aib atau kutukan sehingga banyak keluarga yang menutupi keberadaan anggota keluarga mereka yang memiliki disabilitas.

Kondisi ini pada akhirnya berujung pada kecenderungan orang tua penyandang disabilitas untuk ‘menyembunyikan’ mereka dari ‘dunia luar’ dan tidak mengizinkan mereka berinteraksi dengan lingkungan sosial. Bahkan, banyak dari mereka yang tidak ‘mencatatkan’ keberadaan anggota keluarga tersebut ke dalam sistem administrasi kependudukan, seperti Kartu Keluarga (KK) atau Kartu Tanda Penduduk (KTP). Inilah mengapa banyak penyandang disabilitas yang keberadaannya tidak terlaporkan (under-reported).

Ketiadaan dokumen administrasi ini telah menyulitkan penyandang disabiitas memperoleh layanan kesehatan tak berbayar.

Rancunya definisi disabilitas

Persoalan pendataan penyandang disabilitas itu sendiri berkaitan dengan definisi, istilah, dan kategori penyandang disabilitas itu sendiri.

Menurut [Resolusi PBB Nomor 61/106], definisi penyandang disabilitas adalah setiap individu yang memiliki gangguan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang menghambat mereka dalam berinteraksi dan berpartisipasi penuh dalam bersosialiasi dengan sesama individu lain.

Jika merujuk pada definisi di atas, maka kategori penyandang disabilitas bukan hanya terbatas pada mereka yang memiliki hambatan fisik saja. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, kategori disabilitas terbagi menjadi 5, yakni penyandang disabilitas fisik (seperti lumpuh layu, cerebral palsy, dan paraplegia), penyandang disabilitas intelektual (termasuk down syndrome dan tuna grahita), penyandang disabilitas mental (contohnya skizofrenia, gangguan bipolar, depresi, anxiety, autisme, dan hiperaktif), penyandang disabilitas sensorik (tuna netra, tuna rungu, dan tuna wicara), serta penyandang disabilitas ganda (gabungan fisik dan mental, mental dan sensorik, dan sebagainya).

Namun demikian, masih banyak masyarakat awam yang menggunakan istilah penyandang cacat.

Berdasarkan hasil temuan awal riset kami, Tim Riset Rumah Program Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH) dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada 2022 di Yogyakarta, salah seorang informan penelitian mengaku kesulitan ketika menggali informasi dari masyarakat. Umumnya mereka kurang familiar dengan kata “disabilitas’, tapi ketika ditanyakan "apakah ada orang cacat?”, barulah mereka mengatakan “ada”.

Kurangnya pemahaman terhadap penggunaan istilah disabilitas juga berimplikasi pada tidak terjaringnya penyandang autisme. Sebagian orang masih menganggap bahwa autis atau hiperaktif adalah hal biasa yang dialami oleh anak-anak. Hal ini menegaskan bahwa dalam setiap survei tentang disabilitas perlu melibatkan penyandang disabilitas (inklusif) agar dapat menjaring data yang valid.

Keberadaan data yang valid sangat penting untuk dapat mengindentifikasi kategori disabilitas yang dialami guna mengetahui kebutuhan atau alat bantu yang mereka perlukan. Alat bantu kursi roda biasa, misalnya, tidak selalu bisa digunakan untuk semua penyandang disabilitas fisik. Mereka memerlukan alat bantu yang adaptif sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu.

Buruknya integrasi lintas sektoral

Selama ini, pendataan para penyandang disabilitas tidak dilakukan dengan komprehensif. Ini karena masing-masing kementerian atau lembaga memiliki data terkait penyandang disabilitas yang disesuaikan dengan kebutuhan program instansinya saja.

Mengacu Peraturan Menteri Sosial Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pengolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, yang termasuk penyandang disabilitas hanya mereka yang berasal dari keluarga miskin atau Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Banyak instansi yang merujuk pada data Kementerian Sosial tersebut untuk melaksanakan program-program mereka terkait disabilitas.

Konsekuensinya, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas hanya menjangkau kelompok miskin saja, sementara penyandang disabilitas yang tidak berada dalam garis kemiskinan tetap tidak terdata meskipun mengalami disabilitas berat.

Padahal, menurut hasil riset kami, hambatan akses juga dialami oleh penyandang disabilitas yang bukan berasal dari kelompok miskin, khususnya bagi mereka yang memerlukan layanan atau terapi yang sifatnya rutin dan terus-menerus.

Sebagian informan, misalnya, menyebutkan kebutuhan alat bantu adaptif yang sangat mahal dan terkadang harus diimpor karena belum bisa diproduksi di dalam negeri serta terapi bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual yang harus rutin dilakukan dengan biaya yang tidak sedikit.

Akar permasalahannya adalah Indonesia belum memiliki satu lembaga resmi yang berfokus pada isu disabilitas guna mengintegrasikan berbagai kebijakan antar lembaga yang berbasis satu data. Inilah yang menyebabkan data penyandang disabilitas nasional tidak pernah satu data valid.

Konsekuensi dari alasan-alasan yang disebutkan di atas adalah tidak semua penyandang disabilitas memperoleh haknya. Penyandang disabilitas yang membutuhkan alat bantu khusus, misalnya, tidak bisa terjaring secara keseluruhan akibat data yang tidak detail ter-update.

Padahal, pendataan disabilitas harus menyasar seluruh penyandang disabilitas tanpa terkecuali. Jika persoalan data dapat diselesaikan dengan baik oleh negara, hak para penyandang disabilitas sebagai warga negara, baik hak ekonomi, sosial, budaya maupun hak sipil politiknya secara otomatis akan dapat terpenuhi.

Butuh kesadaran semua pihak

Pembenahan data penyandang disabilitas harus dianggap sebagai bagian dari reformasi birokrasi. Data yang komprehensif tentang jumlah, ragam, dan kondisi sosial-demografi penyandang disabilitas merupakan tanggung jawab lintas sektoral dan sebaiknya terintegrasi satu pintu oleh satu lembaga yang mengelola isu disabilitas. Data tersebut tentunya tidak boleh hanya dikhususkan bagi mereka yang berada pada kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Sinergi data penyandang disabilitas di Indonesia menjadi tanggung jawab negara, terlebih dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar mereka. Dalam melakukan pendataan penyandang disabilitas, keikutsertaan komunitas maupun organisasi penyandang disabilitas, baik di tingkat pusat maupun daerah, menjadi kunci untuk memperoleh data yang valid. Dengan demikian, proses pendataannya pun akan semakin inklusif dan transparan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,000 academics and researchers from 4,949 institutions.

Register now