Menu Close

Diskriminasi di tengah konflik: Pengungsi Ukraina mudah mencari suaka di Eropa, tidak seperti pengungsi Timur Tengah

Sejumlah anak pengungsi dari berbagai negara bercengkerama saat menghadiri acara Hari Pengungsi Sedunia di Jakarta. Muhammad Adimaja/Antara Foto

Per hari Selasa, 15 Maret 2022, badan urusan pengungsi PBB, UNHCR, memperkirakan setidaknya ada lebih dari tiga juta orang mengungsi dari Ukraina untuk mencari perlindungan dari konflik bersenjata yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.

Sebagian besar para pengungsi ini menyebar ke negara-negara tetangga, seperti Polandia, Moldavia, Slowakia, Hungaria, Rumania dan Belarus. Sebagian lagi menuju negara-negara Eropa Barat, seperti Inggris dan Jerman. Para pengungsi tidak hanya terdiri dari warga negara Ukraina, tetapi juga warga negara asing, terutama pelajar yang sedang sekolah di sana.

Bagi para pengungsi Ukraina, tampaknya bukan hal yang sulit untuk mencari suaka di negara-negara Eropa. Hal ini karena pemerintah negara-negara Eropa memberi keringanan bagi mereka untuk mendapat suaka dengan menghilangkan restriksi tertentu. Praktik ini bertolak belakang dengan apa yang selama ini dihadapi oleh pengungsi non-Eropa, seperti dari Suriah, dimana para pemerintah tersebut justru menerapkan screening ketat dan membatasi jumlah pengungsi yang diterima.

Kondisi demikian menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap pengungsi yang bukan berasal dari Eropa masih terjadi.

Pengungsi Ukraina mudah masuk negara-negara Eropa

Pengungsi Ukraina tidak menemukan kesulitan untuk keluar dari negaranya, karena masih terdapat sarana transportasi, seperti bus dan kereta, yang menuju ke perbatasan negara, seperti perbatasan Polandia.

Untuk bisa masuk ke negara-negara sekitar Ukraina pun tampaknya mereka tidak mengalami hambatan. Para pengungsi tersebut bahkan tidak butuh dokumen-dokumen tertentu untuk bisa mencari suaka ke negara-negara sekitarnya. Mereka justru disambut dan disediakan layanan dasar, seperti tempat tinggal sementara, makanan, perawatan medis bagi yang membutuhkan, dan akses sekolah bagi anak-anak.

Inggris, contohnya, memberikan kemudahan bagi para pengungsi Ukraina untuk mendapatkan visa tinggal sementara. Jerman memberlakukan penghapusan permohonan suaka bagi seluruh pengungsi Ukraina yang ingin masuk. Uni Eropa sendiri mengeluarkan kebijakan untuk menerima semua pengungsi dan mengizinkan mereka tinggal selama tiga tahun di 27 negara-negara anggotanya.

Respon negara-negara Eropa dalam memberikan suaka bagi para pengungsi Ukraina patut diapresiasi dan dapat menjadi contoh bagi negara-negara di wilayah lain, seperti di Asia.

Sayangnya, hak dan kemudahan untuk mendapat suaka dan layanan dasar tersebut sulit, bahkan tidak bisa, dirasakan oleh pengungsi lain yang datang dari luar Eropa, seperti pengungsi Suriah.

Pengungsi non-Eropa harus menghadapi screening ketat

Kanal media sosial dan pemberitaan media massa banyak melaporkan kesaksian-kesaksian individu yang mengungkap adanya diskriminasi terhadap pengungsi non-Eropa.

Beberapa dari laporan tersebut menyebutkan bahwa petugas di perbatasan lebih mendahulukan warga Ukraina untuk keluar dari perbatasan negara dibanding warga negara asing non-kulit putih.

Sementara dalam kasus pengungsi dari Suriah, pemerintah negara-negara Eropa melakukan screening ketat sebelum membuka pintu untuk para pengungsi tersebut.

Berdasarkan data UNHCR tahun 2021, terdapat sekitar satu juta pengungsi Suriah yang terkonsentrasi di Jerman dan Swedia.

Mereka masih termasuk orang-orang yang beruntung jika dibandingkan dengan ribuan warga Suriah lainnya yang masih terdampar di kamp-kamp pengungsian di Turki dan Yunani, menunggu dengan tidak pasti untuk mendapatkan suaka atau perlindungan sebagai pengungsi.

Masih ada ribuan lainnya yang lebih kurang beruntung karena terjebak di perbatasan antar negara, seperti di perbatasan Polandia dan Belarus.

Selain pengungsi dari Suriah, pengungsi yang berasal dari Afghanistan dan Irak juga merasakan kesulitan dalam memperoleh suaka di Eropa.

Meskipun baru-baru ini Uni Eropa mengumumkan akan menerima 40.000 pengungsi asal Afghanistan, namun mereka belum menetapkan kapan dan dalam waktu berapa lama proses penerimaan ini dilakukan.

Diskriminasi terhadap pengungsi non-Eropa sudah terjadi sejak dulu

Jika menilik sejarah, paska Perang Dunia Kedua (PD II), pengungsi kulit putih yang berasal dari Eropa ini sudah mendapatkan perhatian khusus oleh dunia, yang kemudian juga mendorong terbitnya Konvensi Jenewa tahun 1951 – kesepakatan internasional dalam menangani jutaan pengungsi di Eropa paska PD II.

Pada awalnya, Konvensi 1951 tersebut lebih merujuk pada kondisi pengungsi di Eropa, tidak termasuk wilayah lain di dunia, seperti di Asia dan Afrika dimana juga terdapat banyak pengungsi akibat perang. Kemudian, untuk memperluas jangkauan perlindungan pada pengungsi ini, pada tahun 1967, PBB sepakat menghilangkan batasan waktu dan geografis yang mengikat di kesepakatan tersebut.

Sayangnya, kesan European-centric terhadap Konvensi ini sudah terlanjur melekat di negara-negara luar Eropa, khususnya Asia, sehingga banyak negara Asia tidak mau meratifikasinya.

Mekanisme screening terhadap para pengungsi sendiri merupakan salah satu dari amanat dalam Konvensi 1951, yang pada dasarnya bertujuan untuk memastikan bahwa para pencari suaka tersebut memenuhi kategori ‘pengungsi’ yang tercantum dalam Konvensi.

Artinya, mekanisme tersebut memang lumrah dilakukan baik oleh UNHCR maupun oleh negara-negara penerima pengungsi. Refugee Determination Status (RDS) atau Penentuan Status Pengungsi, merupakan istilah formal yang digunakan UNHCR dalam menyeleksi para pencari suaka.

Screening merupakan proses untuk menyeleksi bagi pencari suaka untuk mendapatkan status pengungsi dan untuk memperoleh suaka. Proses ini dilakukan untuk memastikan bahwa seorang pencari suaka adalah pengungsi yang sah (genuine refugee) dan bukan pencari kerja (economic migrant). Hasil dari screening menjadi syarat mutlak bagi para pengungsi untuk bisa mendapatkan kesempatan suaka.

Menurut Konvensi 1951, minimal ada dua syarat agar seseorang diakui sebagai pengungsi. Pertama, orang tersebut terpaksa keluar dari negara asalnya ke negara lain. Kedua, alasan seseorang keluar dari negaranya tersebut adalah karena mendapat persekusi atau ancaman keselamatan.

Namun dalam praktiknya, negara-negara penerima pengungsi biasanya memiliki kriteria lain di luar kriteria Konvensi 1951. Misalnya, saat terjadi krisis pengungsi Indocina pada tahun 1975-1996, pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Prancis lebih mengutamakan pengungsi yang memiliki kerabat yang tinggal di sana atau pernah bekerja dengan pemerintah kedua negara tersebut di Vietnam.

Lain halnya dengan Australia, yang cenderung memprioritaskan pengungsi yang berstatus perempuan, usia muda dan belum menikah.

Kriteria screening lainnya yang ditetapkan oleh masing-masing negara juga termasuk agama yang dianut oleh pengungsi tersebut. AS dan Australia, misalnya, dalam menerima pengungsi Suriah, mereka lebih memilih pengungsi perempuan yang mampu berbahasa Inggris dan beragama Kristen.

Indikasi diskriminasi negara-negara Eropa dalam memberikan suaka pada pengungsi non-Eropa, terutama non kulit putih, sulit dibantah. Bukti di lapangan, baik yang terjadi sekarang maupun masa lalu, menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap pengungsi itu nyata adanya.

Jika merujuk pada instrumen hak asasi manusia dan perlindungan pengungsi internasional, diskriminasi semacam ini perlu segera dihapuskan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now