Menu Close

Dua sisi inovasi digital: represi pemerintah menggerus tapi perlawanan jalan terus

Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang mengikuti unjukrasa secara virtual menentang UU Cipta Kerja pada 2020. Ari Bowo Sucipto/Antara Foto

Kemajuan media digital adalah pedang bermata dua.

Pakar politik Aim Sinpeng dari University of Sidney, Australia, berpendapat bahwa media digital di Asia Tenggara hadir sebagai alat penting aktivisme. Namun, kelicikan politikus otoriter dan peningkatan kontrol pada internet nyatanya menindas masyarakat demokratis.

Gesekan antara kekuatan digital yang saling bertentangan ini sedang terjadi di Indonesia.

Di satu sisi, internet telah membantu publik menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Namun, di sisi lain, teknologi digital telah membantu penguasa membungkam kritik.

Pelanggaran kebebasan selama pandemi

Selama pandemi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan dan inisiatif baru untuk mengendalikan arus informasi di dunia maya.

Pihak berwenang mengklaim bahwa langkah-langkah ini perlu untuk melindungi bangsa di tengah kemajuan teknologi digital. Tapi tampaknya, peraturan dan inisiatif ini justru menghalangi warga untuk berinteraksi di dunia digital.

Tahun lalu, kepolisian memerintahkan personilnya untuk mengadakan patroli siber.

Patroli tersebut bertujuan untuk memantau peredaran opini dan berita, penyebaran hoaks terkait COVID-19, respons pemerintah terhadap pandemi, dan penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah.

Namun, parameter yang digunakan dalam patroli untuk menentukan informasi COVID-19 serta respons atas hoaks tidak jelas.

Pada awal 2021, polisi mengumumkan pemberian penghargaan bagi warga yang aktif melaporkan tindak kriminal yang dilakukan di media sosial. Lagi-lagi, bagaimana persisnya penilaian dan mekanisme pemberian “Badge Award” tersebut hingga kini belum jelas. Dengan demikian, hal itu justru dapat mendorong warga untuk saling mencari-cari kesalahan dalam aktivitas online.

Polisi juga membentuk unit baru, yaitu “polisi virtual” atau polisi siber. Unit ini bertugas memantau media sosial dan mengeluarkan peringatan untuk konten yang melanggar Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

UU ITE disahkan pada 2008 untuk melindungi konsumen dalam transaksi elektronik via internet seiring meningkatnya kegiatan ekonomi daring. Tapi, dalam praktiknya, pemerintah dan aparat penegak hukum justru menyalahgunakan UU ini untuk membungkam para pengritik.

Polisi siber adalah model pemantauan baru. Kehadiran “Badge Award” dan polisi siber ini dikhawatirkan akan membuat warga takut mengekspresikan pendapat mereka di dunia maya. Ini adalah bentuk serangan terhadap kebebasan berekspresi.

Selain itu, kriminalisasi terhadap pengguna online lewat UU ITE telah meningkat selama pandemi. Efeknya adalah pembungkaman kritik publik atas respons negara selama pandemi.

Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet telah mencatat setidaknya 84 kasus kriminalisasi netizen pada 2020 - hampir empat kali lipat dibanding 24 kasus yang tercatat pada 2019.


Read more: COVID-19 di Asia Tenggara: bukan 'sekadar' krisis kesehatan


Otoritarianisme digital

Sebuah analisis oleh peneliti politik Tiberiu Dragu dari Universitas New York dan Yonatan Lupu dari Universitas George Washington, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa inovasi teknologi telah menyebabkan peningkatan penyalahgunaan untuk mencegah kelompok oposisi bergerak.

Kemajuan teknologi juga meningkatkan kemungkinan pihak otoriter untuk dapat berhasil melumpuhkan para oposisi.

Ini karena kemajuan di bidang digital telah memfasilitasi pemerintah dan institusi otoriter untuk memantau secara digital dan mengekang kebebasan berekspresi dan kebebasan sipil lainnya.

Beberapa cuitan oleh akun resmi Pusat Reserse Kriminal Siber Polri. Author provided, CC BY

Polisi siber menggunakan kampanye satu arah dan membatasi diskusi interaktif di ruang publik digital. Netizen Indonesia telah memposting banyak pertanyaan tentang cuitan para polisi siber, tapi tidak ada tanggapan. Hal itu akhirnya hanya membuat perdebatan online tak berujung di kalangan netizen.

Sebuah survei terbaru oleh Kompas menemukan 34,3% masyarakat Indonesia memandang polisi siber sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi.

Dalam konteks yang lebih luas, polisi siber telah menambah tekanan pada kebebasan digital di Indonesia. Kebebasan digital sebelumnya sudah menghadapi ancaman represi serupa lewat UU ITE dan serangan siber.

Serangan siber sudah terjadi sebelum pandemi dan hadirnya polisi siber. Serangan terhadap aktivis pro-demokrasi ini tercipta dalam berbagai bentuk, termasuk teror telepon dan peretasan, serta pengawasan WhatsApp dan email.

Salah satu serangan siber terbesar adalah serangan terhadap aktivis kampus yang menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019.

Kasus lainnya adalah penyerangan terhadap aktivis, mahasiswa, dan situs web media.


Read more: Mendorong polisi virtual melakukan edukasi, bukan pengawasan yang represif


Sisi baik

Kabar baiknya, terlepas dari serangan-serangan ini, kelompok masyarakat sipil tidak berhenti berjuang.

Media digital telah mendukung dan memfasilitasi munculnya oposisi masyarakat sipil terhadap tindakan dan kebijakan pemerintah yang bermasalah. Termasuk di dalamnya, protes terhadap revisi UU KPK, kebijakan new normal, UU Cipta Kerja, dan keputusan tentang pengadaan pemilihan kepala daerah selama pandemi.

Riset Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), University of Amsterdam dan KITLV Leiden di Belanda, Universitas Diponegoro di Jawa Tengah, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta, dan perusahaan konsultan Drone Emprit mengidentifikasi gelombang perlawanan masyarakat sipil di ranah digital.

Penelitian yang akan segera terbit ini berusaha membandingkan jumlah akun Twitter Indonesia yang mendukung UU Cipta Kerja dan yang menolak.

Drone Emprit, Author provided

Pegiat masyarakat sipil Indonesia terus berjuang melawan serangan siber serta invasi influencer, buzzer, dan bot yang mendukung penguasa di ranah digital. Dalam hal ini, polisi siber dapat dilihat sebagai bentuk intimidasi di ruang publik.

Resistensi ini menandai munculnya kesadaran baru warga negara untuk berpartisipasi dalam politik di lingkungan digital.

Warga negara Indonesia perlu terus belajar tentang hak digital untuk memahami hak dasar mereka demi mengungkapkan pendapat dan menemukan informasi yang dapat dipercaya.

Pemerintah harus memfasilitasi kebebasan berekspresi di ruang online bagi warga negara untuk menyuarakan hak dan kepentingannya. Pada saat yang sama, pemerintah harus menghindari dan mencegah praktik otoriter yang merusak demokrasi. Ini dapat dimulai dengan merevisi UU ITE dan membubarkan unit polisi siber.


Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now