Menu Close

Energi surya dapat menjadi andalan Indonesia untuk menyediakan listrik bagi daerah terpencil – begini caranya

Pekerja memeriksa panel surya. Antara Foto

Penggunaan fotovoltaik atau panel surya yang mengubah sinar matahari menjadi listrik, berkembang pesat di seluruh dunia karena sudah menjadi lebih terjangkau.

Di Indonesia, biaya sistem panel surya telah turun 90% menjadi sekitar Rp 13 juta hingga Rp 18 juta per kWp (kilowatt-peak).

Indonesia harus memanfaatkan peluang ini dan memprioritaskan penyebaran sistem tenaga surya di berbagai daerah, khususnya di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal (3T).

Penelitian menunjukkan pendekatan ini dapat secara signifikan meningkatkan mata pencaharian dan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut.

Petani mengecek buah naga di kebun yang disinari lampu di Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur, Minggu (29/8/2021). Antara Foto

Akses energi di daerah terpencil

Kapasitas tenaga surya Indonesia telah tumbuh 250% dalam lima tahun terakhir. Dari 43,1 megawatt (MW) pada 2016, kapasitasnya kini mencapai 153,5 MW pada tahun 2020. Pemerintah bahkan berencana meningkatkan kapasitas ini 14 kali lipat menjadi 2,14 gigawatt (GW) pada tahun 2030.

Di sisi lain, pada tahun 2020, lima provinsi di Indonesia memiliki tingkat elektrifikasi (penyediaan listrik) kurang dari 95%, yaitu Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur.

Pemerintah harus mempertimbangkan bahwa pembangkit listrik tenaga surya tidak hanya menjadi sarana kunci untuk mempercepat transisi energi ke energi terbarukan, tapi juga menjadi solusi untuk memastikan akses listrik di semua wilayah – termasuk daerah 3T.

Sejak 2017, pemerintah sendiri telah mendistribusikan lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) ke berbagai daerah untuk meningkatkan tingkat elektrifikasi nasional.

Namun, LTSHE ini hanya menyediakan penerangan yang terbatas hingga 6-8 jam sehari.

Upaya elektrifikasi seharusnya tidak sekadar fokus pada menyediakan penerangan, namun juga memastikan masyarakat dapat mengandalkan listrik tersebut untuk berbagai kegiatan produktif, termasuk pendidikan dan pertanian.

Memanfaatkan peluang dari sinar matahari yang melimpah

Indonesia memiliki intensitas penyinaran – atau jumlah energi yang berpotensi diterima oleh suatu area tertentu dari sinar matahari – yang bervariasi dari 3.6 kWh hingga 6 kWh per meter persegi per hari.

Sinar matahari yang cukup membuat pembangkit energi surya cocok untuk daerah yang tidak terhubung dengan jaringan listrik, atau daerah di mana menghubungkan ke jaringan listrik membutuhkan biaya mahal dan tidak praktis.

Berbeda dengan daerah perkotaan yang akses listriknya sudah baik, panel surya dapat memberikan dampak yang sangat signifikan bagi masyarakat di daerah 3T.

Di negara-negara seperti Nepal dan India, elektrifikasi off-grid (di luar jaringan listrik nasional) melalui penggunaan panel surya bahkan mengurangi emisi karbon karena penggunaan minyak tanah menjadi berkurang. Praktik ini juga telah meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak dan pendapatan komunitas lokal di negara tersebut.

Apa saja tantangan elektrifikasi tenaga surya?

Namun, ada beberapa tantangan dalam menyediakan listrik tenaga surya di daerah terpencil.

Sebagai permulaan, sistem tenaga surya off-grid membutuhkan teknologi yang lebih rumit daripada sistem on-grid (terhubung ke jaringan listrik nasional). Misalnya, sistem off-grid membutuhkan baterai untuk menyimpan energi dan juga membutuhkan inverter yang mengubah listrik dari baterai agar bisa digunakan pada peralatan rumah tangga.

Peralatan tambahan ini membuat biaya sistem off-grid menjadi lebih mahal, yakni dua atau tiga kali lipat dibandingkan on-grid, yang dapat membuatnya tidak menarik bagi investor.

Baterai dan teknologi ini juga memerlukan pemeliharaan, pemantauan, evaluasi, dan akhirnya penggantian, yang dapat menjadi tantangan bagi masyarakat setempat.

Apa saja solusinya?

Ada beberapa pilihan untuk mengatasi masalah di atas.

Beberapa contoh termasuk kombinasi insentif fiskal dan non-fiskal dari pemerintah, keterlibatan masyarakat yang lebih baik, serta pengembangan masyarakat secara jangka panjang – tidak hanya sekadar melalui program penyediaan LTSHE.

Pertama, pemerintah dapat memperkenalkan program yang berfokus pada 3D – dekarbonisasi, desentralisasi, dan digitalisasi – misalnya dengan peningkatan kapasitas BUMDes Bersama_ untuk mengelola sistem off-grid dengan lebih baik. Setelah itu, pemerintah bisa menunjuk pemimpin daerah yang efektif sebagai koordinator.

Hal-hal tersebut bisa dilakukan bersamaan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal.

Berbagai skema pembiayaan juga dapat digunakan untuk memastikan keberlangsungan program energi surya di daerah 3T. Contohnya termasuk blended finance (menggalang dana dari pemerintah dan sumber swasta) dan crowdfunding.

Otoritas Investasi Indonesia (OJK) sendiri mengatakan akan memprioritaskan energi terbarukan dalam Sovereign Wealth Fund (SWF) atau dana investasi kelolaan pemerintah yang baru-baru ini dibentuk. Ini adalah peluang besar bagi SWF untuk lebih fokus pada pengembangan energi di daerah terpencil.

Meski demikian, program-program tersebut juga harus memperhatikan kemauan dan kemampuan masyarakat dalam membayar (willingness and ability to pay).

Di sini, penggunaan skema ‘pay as you go’ (membayar seiring penggunaan), atau skema lain seperti melalui platform perdagangan pertanian Sinari Generasi Indonesia di mana masyarakat dapat membayar tagihan listrik tenaga surya dengan produk pertanian, bisa menjadi jalan keluar.

Kedua, pemerintah perlu mempertimbangkan penggunaan tenaga surya di berbagai sektor industri kecil yang biasanya belum banyak menggunakan listrik.

Hal ini dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi sistem pembayaran di berbagai sektor tersebut – terutama pada bisnis yang berbasis komoditas seperti pertanian, perikanan, kerajinan, dan usaha kecil lainnya.

Ketiga, penerapan smart microgrids – sistem kelistrikan yang dilengkapi dengan meteran otomatis – dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyediaan listrik.

Di sini, mereka bisa menjadi konsumen listrik sekaligus menjadi produsen dengan menjual listrik hasil produksi dari panel surya yang mereka miliki.

Keempat, pemerintah dapat memberikan insentif untuk mendukung pengembangan manufaktur panel surya di dalam negeri.

Hal ini bisa berbentuk pajak yang lebih rendah bagi produsen, sehingga dapat menekan biaya sekaligus meningkatkan kualitas panel surya yang diproduksi secara lokal.

Terakhir, pemerintah harus mempercepat digitalisasi peta dan batas wilayah di daerah 3T.

Penggambaran batas yang jelas akan meminimalkan potensi adanya konflik lahan di wilayah tersebut. Ini sangat penting terutama di masa depan saat pembangunan pembangkit listrik tenaga surya skala besar menjadi lebih lazim.

Jika tantangan-tantangan ini dapat diatasi, maka energi surya dapat menjadi andalan Indonesia untuk menyediakan listrik bagi daerah-daerah terpencil. Hal ini akan meningkatkan produktivitas masyarakat, sekaligus mendukung target pemerintah untuk mencapai 23% energi terbarukan dalam bauran listrik pada tahun 2025.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now