Menu Close

Riset: Masyarakat Indonesia masih kekurangan energi listrik dan energi bersih untuk memasak

Artikel ini merupakan bagian dari serial untuk memperingati Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April.


Indonesia memiliki target untuk memberikan penerangan atau listrik kepada seluruh warga negara pada tahun 2020 atau rasio elektrifikasi 100%

Dan, hingga tahun 2019, pemerintah mengatakan realisasi rasio elektrifikasi sudah mencapai 98,89%.

Artinya, kita hampir mencapai target.

Untuk mencapai target ambisius tersebut, upaya-upaya yang sudah dilakukan, antara lain mengembangkan infrastruktur kelistrikan, seperti pembangkit listrik tenaga surya, ke wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) dengan menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Namun, di balik kebijakan dengan paradigma “yang penting ada listrik” tersebut, masih ada persoalan kualitas, keberlanjutan, dan kemanfaatan akses energi untuk mendukung kegiatan ekonomi yang produktif.

Singkatnya, capaian 100% rasio elektrifikasi akan terjebak dalam kuasi data karena abai menangkap kompleksitas permasalahan yang ada, terutama terkait dengan pemenuhan energi listrik dan energi bersih untuk memasak.

Kami menyebutnya sebagai kemiskinan energi ganda.

Sebagai peneliti senior di Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang meneliti topik ini, saya menemukan bahwa kemiskinan energi ganda ini masih terjadi karena banyak penduduk tidak memiliki akses layak untuk mendapatkan energi akibat tingkat pendidikan yang rendah, kondisi ekonomi yang lemah dan lokasi tempat tinggal mereka yang berada di daerah terpencil.

Miskin akses energi listrik

Dengan kondisi tingkat pendidikan yang rendah, ekonomi yang masih lemah, hingga lokasi terpencil, masih banyak penduduk yang kesulitan mendapatkan akses energi listrik.

Upaya untuk mengatasi persoalan tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah tapi penelitian saya menemukan bahwa upaya itu sebenarnya belum berhasil karena tidak memenuhi standar dunia.

Sejak tahun 2017, pemerintah telah membagi-bagikan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi atau LTSHE bagi masyarakat di pedesaan yang belum mendapatkan akses listrik.

Tahun 2018, Dirjen EBTKE Rida Mulyana secara simbolis menyerahkan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) kepada empat kepala kampung, –Kampung Pulau Tiga, See, Obaa, dan Suru-Suru–, di Kabupaten Asmat. www.ebtke.esdm.go.id

Paket LTSHE mencakup tenaga surya dengan kapasitas 20-watt, 4 lampu hemat energi, bateri, biaya instalasi, dan jasa pelayanan purna jual selama tiga tahun. Saat ini, pengguna LTSHE sudah mencapai 360.429 rumah tangga.

Sayangnya, LTSHE belum memenuhi standar yang diharapkan oleh Badan Energi Dunia.

Ini karena LTSHE hanya sebatas memberikan penerangan dan pengisian daya telepon genggam, belum mampu digunakan untuk peralatan elektronik lainnya, seperti radio, televisi, kipas angin, dan kulkas.

Hal ini karena rata-rata konsumsi listrik per per tahun per keluarga pengguna LTSHE baru sekitar 389 kWh, masih jauh di bawah standar dari Badan Energi Dunia 1.250 kWh per rumah tangga. Akibatnya kondisi kesenjangan besaran konsumsi energi kian melebar.

Oleh sebab itu, pemerintah mengatakan program ini sebagai ‘pre-electrification’, kondisi transisi sebelum mendapatkan listrik yang layak atau pantas.

Meski demikian, ratusan ribu pengguna LTSHE masuk dalam kategori rumah tangga berlistrik tanpa memperhatikan keberlanjutan dan kualitas dari akses dari program tersebut.

Dalam standar global, kondisi ini disebut sebagai rasio elektrifikasi yang semu.

Tahun 2017, Kementerian ESDM memposting foto ini di twitter untuk menunjukkan pembagian lampu surya gratis untuk rakyat Sori Tatanga, Kabupaten Dompu, NTB. Kementerian ESDM/twitter

Miskin akses energi untuk memasak

Kendala infrastruktur membuat distribusi energi bersih untuk memasak menjadi sulit dan mahal. Akibat daya beli yang rendah, penggunaan kayu bakar menjadi prioritas masyarakat.

Tantangan-tantangan tersebut terjadi karena tiga alasan :

Pertama, berdasarkan data yang berhasil kami himpun terkait potensi desa (sumberdaya alam dan manusia yang dimiliki oleh desa untuk perkembangan desa) pada tahun 2018, memperlihatkan hampir 30% desa di seluruh Indonesia atau lebih dari 25,000 desa, masih menggunakan kayu bakar. Hingga saat ini, desa-desa tersebut tidak memiliki akses energi bersih, misalkan untuk beralih ke listrik, gas, ataupun biogas untuk desa-desa tersebut.


Read more: Cuaca ekstrem akibat krisis iklim ganggu pembangkit listrik di Indonesia dan rugikan konsumen


Kedua, tidak mudah untuk ekspansi pemanfaatan gas LPG (liquid petroleum gas) 3 kg karena beban subsidi terus meningkat. Tahun 2019, subsidi gas LPG mencapai Rp58 triliun, hampir setara dengan dengan anggaran fungsi kesehatan Rp59,7 triliun.

Ketiga, subsidi gas LPG sering tidak tepat sasaran karena justru lebih banyak dikonsumsi oleh keluarga yang mampu.

Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang dirancang hingga tahun 2050 telah menyebutkan penyambungan baru gas kota terhadap 4,7 juta rumah di tahun 2025 dan menyediakan 1,7 juta juga reaktor biogas bagi rumah tangga.

Ini dilakukan juga untuk mencapai target penurunan emisi karbon Indonesia hingga 29% pada tahun 2030.

Kendala penganggaran bagi pengembangan infrastruktur jaringan gas kota, serta kondisi kebutuhan permintaan minimal untuk memenuhi skala ekonomis gas masih menjadi hal yang perlu dipecahkan.

Pembenahan akses energi listrik dan untuk memasak

Untuk bisa keluar dari kemiskinan ganda, perlu ada sinergi baik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) selaku penyedia akses listrik, Pertamina sebagai penyedia energi bersih untuk memasak, dengan pemerintah desa dan program tanggung jawab sosial sektor swasta bidang energi listrik dan energi bersih yang berlokasi di pedesaan.

Hasil kalkulasi sementara berdasarkan potensi desa memperlihatkan bahwa desa dengan akses listrik cenderung memiliki indeks pembangunan desa yang lebih baik.

Sehingga, program desa berlistrik perlu didampingi dengan program energi bersih untuk memasak.

Saat ini, dana desa sudah dapat dimanfaatkan untuk pengadaan, konstruksi, pembangunan, perawatan fasilitas energi, misalnya pembangkit listrik skala kecil yang menggunakan energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, lalu jaringan distribusi di tingkat desa.


Catatan kredit diberikan pada Alan Ray Farandy, peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI yang telah membantu penulis dalam mengolah data Potensi Desa 2018.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now