Menu Close

Etika lingkungan dan pelestarian alam dalam epos Galigo

Salah satu manuskrip Galigo yang tertulis di gulungan daun Lontar. (Universitas Leiden), CC BY-ND

Artikel ini merupakan bagian dari serangkaian analisis untuk meramaikan perhelatan Wallacea Science Symposium di Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 13 - 15 Agustus 2023.

Sawerigading dari Kerajaan Luwuq di Sulawesi Selatan ingin menebang pohon welenreng (Wélenrénngé dalam ejaan Bugis). Dia ingin mengambil kayunya sebagai bahan baku kapal yang akan mengantarnya ke Cina. Di sana, Sawerigading akan meminang We Cudai, calon istrinya.

Namun, pohon Welenreng bukan sembarang pohon. Tingginya konon mencapai sekitar 700 depa, setara 1.280 meter atau sepertiga tinggi Gunung Semeru di Jawa Timur. Lebarnya 300 depa atau 548 meter. Dia dihuni oleh banyak makhluk: dari ular besar, burung-burung, raja dan ratu babi hutan, monyet, ikan, hingga makhluk gaib.

Sebelum menebang, Sawerigading melakukan sejumlah ritual dan membujuk makhluk gaib penunggu pohon welenreng (melalui ayahnya Batara Lattuq) untuk merelakan tempat tinggalnya.

Setelah lebih dari sembilan hari dan sembilan malam, pohon raksasa itu roboh dan mengguncang bumi. Para makhluk penunggu meratap lalu kocar-kacir mencari tempat tinggal. Tujuh kerajaan di sekitarnya tenggelam karena banjir. Sawerigading bahkan turut masygul atas perbuatannya.

Kisah di atas merupakan bagian dari cerita Penebangan Pohon Welenreng (Ritumpanna Wélenrénngé), yang tertulis dalam epos Galigo atau Sureq Galigo dari khazanah masyarakat Bugis. Karya tersebut sudah disampaikan sejak abad ke-14 dalam bentuk lisan.

Salah satu manuskrip Galigo yang ditulis dalam aksara Lontara atau aksara Bugis dan disimpan di Museum Nasional. (Wikimedia Commons)

Epos ini memuat 300 ribu bait syair-–dianggap sebagai yang terpanjang di dunia, mengalahkan Mahabharata dari India dan the Iliad dari Yunani. Sawerigading sebagai keturunan dewa sekaligus Raja Luwuq adalah tokoh utama dalam kisah ini.

Kisah Galigo menjadi salah satu bukti betapa kuatnya kearifan ekologi masyarakat Bugis. Di tengah deru pembangunan dan pengerukan sumber daya alam, rasanya tak ada yang lebih tepat dari saat ini bagi kita untuk menggali kearifan di tengah masyarakat dalam pelestarian Bumi.

Melalui penghayatan La Galigo, kita berharap dapat menyeimbangkan dominasi narasi antroposentrisme yang berpusat pada kepentingan manusia dalam berbagai kegiatan dan kebijakan di Indonesia maupun dunia.

Epos Galigo dan kearifan ekologi di Sulawesi

Kisah Penebangan Pohon Welenreng menyiratkan bagaimana Epos Galigo seirama dengan konsep etika deep ecology (ekologi mendalam). Konsep ini menekankan gagasan bahwa seluruh makhluk hidup berhak dan berharga untuk eksis, terlepas dari nilai instrumental mereka bagi manusia.

Deep ecology menantang pandangan antroposentrisme yang menganggap alam semesta hanyalah sumber daya yang harus dieksploitasi demi keuntungan manusia.

Dalam deep ecology, manusia hanyalah salah satu di antara banyaknya spesies di Bumi. Semuanya memiliki peran dan kontribusi unik terhadap kesehatan dan fungsi keseluruhan ekosistem.


Read more: Ekospiritualitas memicu sengitnya penolakan warga Wadas terhadap penambangan andesit


Dalam konteks ini, kisah Ritumpanna wélenrénngé juga menggambarkan pentingnya eksistensi pohon bagi keutuhan ekosistem. Misalnya, saat pohon welenreng yang disebut-sebut sejenis pohon trembesi tumbang, bencana banjir langsung melanda tujuh kerajaan.

Penggambaran tersebut sangat berbeda dengan keberadaan hutan yang saat ini jamak dianggap sebagai komoditas untuk meraup kekayaan. Akibatnya, atas nama pertumbuhan ekonomi, jutaan hektare hutan alam dirambah untuk kebun sawit, tanaman industri, industri kayu, hingga pertambangan.

Keberadaan pohon juga tak kalah penting bagi makhluk hidup di sekitarnya. Dalam Ritumpanna wélenrénngé, fakta ini diuraikan dalam ratapan salah satu burung penunggu Wellenreng:

Sawé si mpating lé manuq-manuq lé kurudaé…. …. ssellang mallappa wating makkeda “Lé patang sani bannapatimmu Wélenrénngé. mutuling sai wating mapeqdî pakkamasêku riwatammu.

Tampil pula meratap burung gerda,…. …..menangis meratap berkata, "Tahan dahulu jiwamu Wélenréng, kau dengarkan ratap tangis belas kasihku padamu.”

Contoh lainnya adalah kisah Sawerigading yang berdialog dengan makhluk penunggu pohon, persiapan serta ritual-ritual yang dilakukan sebelum penebangan. Hal-hal tersebut juga menyiratkan pesan etika manusia yang harus mempertimbangkan aspek ekologi sebelum melakukan sesuatu yang berdampak pada makhluk lain.

Epos yang Hidup dan Menghidupkan

Epos Galigo bukan hanya karya sastra yang menumpuk di Museum Universitas Leiden, Belanda. Bukan pula kisah ini hanya dihayati para ilmuwan sastra ataupun sastrawan.

Kisah-kisah di dalam Sureq Galigo tetap hidup dalam tradisi lisan dan norma adat masyarakat di berbagai wilayah di Sulawesi. Begitu juga dengan gagasan deep ecology di dalamnya.

Sebagai contoh, masyarakat Cerekang yang menjaga hutan dan sungai di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Keberadaan hutan dan kehidupan di dalamnya, menurut masyarakat Cerekang, berasal dari turunnya Batara Guru (yang menjelma limpahan air dari langit) ke bumi. Figur Batara Guru juga termuat dalam Sureq Galigo.

Hutan adat masyarakat
Kelompok masyarakat penjaga hutan adat Wija To Cerekang hendak memasang patok hutan adat. (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)

Kisah ini diwariskan secara turun temurun. Masyarakat Cerekang meyakini mereka bertugas merawat kedua ekosistem tersebut sebagai bentuk bakti mereka terhadap Batara Guru dan pasangannya, Wé Nyiliq Timo, yang dipercaya berasal dari sungai.

Keyakinan ini kemudian mengkristal dalam etika-etika komunal yang menghidupkan aktivitas masyarakat di kawasan adat Cerekang. Semuanya memiliki kisah, fungsi, dan aturan masing-masing.

Misalnya di ekosistem mangrove di sepanjang Sungai Cerekang yang dinamakan Beroe. Masyarakat meyakini Beroe dahulu merupakan desa tempat makam La Massagoni To Barani, pemimpin armada militer Raja Sawerigading.

Di kawasan ini, masyarakat dilarang menggunakan sabun, membuang tinja, minyak, bahkan sisa makanan ke sungai. Ada juga larangan membunuh buaya karena reptil ini dianggap sebagai jelmaan Sawerigading.

Selain masyarakat Cerekang, ada juga masyarakat Kajang yang bermukim di Bulukumba. Pakaian dan kebiasaan mereka memiliki beberapa kemiripan dengan orang Kanekes atau Baduy di Banten. Lebih dari dua dekade lalu, saya berkesempatan mengunjungi mereka. Saya merasa kagum dengan keteguhan masyarakat Kajang menerapkan kearifan lokal dalam melindungi lingkungan.

Masyarakat ini mengenal seperangkat aturan dan kewajiban adat bernama Pasang Ri Kajang yang bertujuan untuk memastikan kehidupan masyarakat selaras dengan alam. Contohnya, pelestarian hutan adalah salah satu kewajiban mutlak bagi setiap orang Kajang.

Memperbaiki Hubungan Dengan Alam

Masyarakat Kajang di Bulukumba melakukan ritual sesaji makanan (Istiqamah.a/Wikimedia Commons), CC BY-SA

Masyarakat Indonesia dan dunia memerlukan perubahan cara pandang terhadap lingkungan untuk mengatasi berbagai persoalan mendesak saat ini seperti perubahan iklim, kehilangan biodiversitas, deforestasi dan persoalan perairan, hingga polusi.

Perubahan tersebut juga mesti menjadi dasar pelaksanaan praktik-praktik yang lestari. Beberapa di antaranya adalah perlindungan keberagaman hayati (biodiversitas), pemakaian sumber daya secara berkelanjutan, aksi lingkungan dan kebijakan yang memihak kelompok rentan, dan siar kesadaran masyarakat.

Perubahan ini dapat kita ilhami dari salah satu karya sastra Nusantara seperti Galigo.

Kita juga dapat menyelami dan menghargai beraneka kearifan lokal masyarakat adat dalam menjaga lingkungan. Sebab, berkat keberadaan mereka, alam Indonesia tetap terjaga selama ratusan tahun.

Harapan kita, manusia dapat memperbaiki hubungan dengan alam, agar lebih selaras dengan alam, bukan menaklukkannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now