Menu Close
Demonstrasi menolak pertambangan di Desa Wadas. (Andreas Fitri Harmoko/Antara)

Ekospiritualitas memicu sengitnya penolakan warga Wadas terhadap penambangan andesit

“Kami mempertahankan hak kami untuk kelangsungan hidup di sini, untuk anak cucu. Supaya tanah Wadas masih utuh, desa masih utuh. Ini tanah leluhur yg harus dijaga kelangsungannya.”

Pernyataan itu disampaikan Yatimah, warga Desa Wadas yang berada di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dalam diskusi virtual yang diselenggarakan Pers Suara Mahasiswa UI, 22 Februari lalu.

Yatimah mewakili suara warga Wadas yang menolak tanah kelahirannya menjadi lokasi penambangan batuan andesit. Hasil penambangan akan menjadi material untuk pembangunan Bendungan Bener, yang berjarak sekitar 15 km dari desa. Bendungan direncanakan untuk menjadi sumber irigasi dan energi listrik kawasan Jawa Tengah.

Penolakan ini sudah berlangsung sejak 2013, saat sosialisasi pertama perencanaan penambangan andesit tersebut. Namun pemerintah terus melanjutkan perencanaan pembangunan bendungan dan tercatat dalam proyek strategis nasional pada 2020.

Kontroversi seputar proyek memuncak saat polisi menangkapi puluhan warga Wadas yang sedang berkumpul di Masjid Dusun Krajan tanpa dasar hukum yang jelas. Namun, alih-alih mereda, gelombang protes justru terus bermunculan seiring simpati yang mengalir dari sejumlah kelompok masyarakat.

Ekospiritualitas warga Wadas

Pakar ekologi politik dan kebijakan lingkungan dari IPB University, Soeryo Adiwibowo, menilai penolakan sengit warga Wadas berakar dari ekospiritualitas, atau keterikatan batin yang kuat antara masyarakat dengan lingkungan. Ini berasal dari latar belakang profesi mayoritas warga Wadas sebagai petani yang bergantung pada hasil bumi seperti vanili, kemukus, durian, dan sebagainya.

Manfaat ekonomi dari hasil bumi itu kemudian menyebar ke faedah-faedah lainnya seperti relasi antarmasyarakat, relasi intrakeluarga, hingga relasi dengan alam. Ikatan ini semakin menguat melalui pergantian generasi.

Ikatan tersebut membuat posisi warga Wadas tak lagi berada di luar siklus ekosistem, melainkan di dalamnya. Warga pun secara aktif menjaga kelestarian lingkungan karena adanya hubungan timbal-balik dengan alam yang saling menguntungkan.

Hubungan timbal-balik kemudian diperkuat oleh adanya mitos-mitos tertentu yang disebarkan secara lisan. Misalnya, tentang pohon randu alas (Bombax ceiba L.) yang berdiameter lebih dari satu meter di hutan Wadas. Pohon ini dianggap keramat karena sudah berusia ratusan tahun. Di Wadas, pohon ini dikalungkan kain putih sebagai tanda pohon yang disucikan.

Ditemani sejumlah warga, Soeryo dan beberapa akademisi pun mengunjungi pohon tersebut. Warga percaya bahwa penambangan akan membuat pohon menjadi merah atau disebut “karang abang.” Bagi penduduk Wadas, itu adalah pertanda datangnya petaka.

Nah, menurut dia, hal inilah yang tidak terurai secara lengkap dalam dokumen analisis dampak lingkungan hidup (Andal) proyek bendungan Bener-penambangan andesit. Soeryo – yang sudah membaca Andal tersebut – mengatakan dokumen hanya memuat data demografis warga seperti jumlah penduduk, sebaran profesi, dan lain-lain.

Penilaian yang rumpang membuat upaya mitigasi dampak sosial dan ekonomi proyek tersebut begitu dangkal. Warga hanya dijanjikan ganti rugi, ataupun diiming-imingi kesempatan kerja. Padahal, menurut Soeryo, hal-hal tersebut tak akan bisa menggantikan keterikatan batin warga terhadap lingkungannya.

“Dokumen Andal gagal menangkap esensi alam sebagai ruang hidup masyarakat,” kata Soeryo.

Dia menyarankan pemerintah untuk menggunakan pendekatan dialog dan menghormati hak-hak masyarakat atas ruang hidupnya. Meski bakal memakan waktu lebih panjang, tapi pendekatan ini lebih efektif untuk meredam risiko-risiko sosial di kemudian hari.

Peneliti Sajogyo Institute, Siti ‘Mai’ Maimunah, juga berpendapat serupa. Menurut Mai, kebiasaan pemerintah menakar sumber daya alam dalam bentuk uang dalam kebijakan pembangunan tidak akan bisa dicerna masyarakat Wadas yang memiliki paradigma yang berbeda.

Mai menganggap beragam proyek yang dijalankan pemerintah ini tidak bersifat membangun, justru memutus. Dalam kasus Wadas, penambangan andesit akan memutus relasi masyarakat dengan alam. Akhirnya, masyarakat yang terbiasa mengolah alam akan kebingungan untuk mencari sumber penghidupan baru. Warga kemudian akan mencari sumber pendapatan dengan merantau ke kota tanpa keahlian yang memadai.

“Risikonya bisa menjadi pengangguran dan akan memicu masalah baru,” kata dia.

Momentum evaluasi Proyek Strategis Nasional

Penolakan warga terhadap penambangan Wadas juga dapat menjadi momentum pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Menurut Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Raynaldo Sembiring, aturan PSN tidak membuka ruang partisipasi sejak perencanaan dan penetapan. Warga hanya bisa berpartisipasi ketika proyek sudah masuk tahap perizinan.

“Ini berimplikasi pada tidak tersedianya ruang bagi masyarakat untuk mempelajari sampai menyatakan keberatan atas suatu PSN,” ujar Raynaldo dalam diskusi virtual Indonesia Environmental Law Outlook 2022 oleh ICEL, awal Februari silam.

ICEL juga mengingatkan bahwa aksi protes warga Wadas adalah bentuk perjuangan warga untuk mendapatkan hak atas ruang hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dijamin undang-undang. Aparat semestinya menjaga hak-hak tersebut, bukan melakukan tindakan represif.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now