Menu Close
Kategori gender yang bersifar biner sangat terbatas dan belum mampu menjelaskan pengalaman seseorang yang mengidentifikasi diri sebagai ‘nonbiner’ atau ‘genderqueer’. (Shutterstock/Black Hill Design)

Explainer: Apa itu identitas gender ‘nonbiner’?

Sejak kecil, kita diajarkan bahwa ada anak laki-laki dan ada anak perempuan. Dalam beberapa masyarakat yang progresif, jika beruntung, kita juga akan diajarkan bahwa terkadang “laki-laki” menjadi perempuan, dan “perempuan” menjadi laki-laki.

Tapi apakah pilihannya hanya dua itu? Orang-orang yang memiliki identitas gender nonbiner akan berkata “tidak”.

Mereka yang menganggap dirinya sebagai nonbiner (atau terkadang memakai istilah payung ‘genderqueer’) kerap merasa bahwa dua kategori gender – laki-laki ATAU perempuan – terlalu sederhana atau terbatas untuk bisa menjelaskan perasaan dan pengalaman mereka terkait gender mereka sendiri.

Sejak masa balita, misalnya, kita diberi tahu bahwa semua orang harus masuk dalam kotak tertentu, antara “laki-laki” atau “perempuan”. Salah satu hal yang pertama kali kita lakukan saat bertemu dengan orang baru, atau sekadar berpapasan dengan orang di jalan, biasanya adalah menentukan mereka masuk dalam kotak yang mana.

Konstruksi sosial tentang dua kategori gender mulai diajarkan pada kita sejak lahir. Mad Dog/www.shutterstock.com

Namun, pembagian gender menjadi hanya dua kategori atau biner, bisa meminggirkan mereka yang tidak merasa masuk dalam kategori ini. Menurut peneliti sosial Susan Saltzburg dan Tamara S. Davis:

Dalam mereduksi pengalaman manusia menjadi suatu interpretasi identitas gender yang terlampau sederhana, kita mengukuhkan suatu cara berpikir tentang kategori gender yang terpisah menjadi dua kotak, sehingga memarjinalkan mereka yang melintasi batasan-batasan kriteria gender tersebut.

Beberapa pengkaji feminis mendorong suatu pembedaan antara ‘seks’ dan ‘gender’. Dalam hal ini, seks merupakan kerangka biologis (male atau female), sementara gender merupakan konstruksi sosial mengenai pengalaman akan maskulinitas dan femininitas.

Feminis lain, termasuk peneliti gender Judith Butler dari University of California-Berkeley di Amerikat Serikat (AS), bahkan berpikir lebih jauh lagi. Mereka menantang kepercayaan umum terkait dua kategori biologis dari seks yang sering dianggap ‘alami’, dan beranggapan bahwa tidak semua bayi terlahir sebagai male ataupun female.

Para akademisi ini menunjukkan bahwa pemikiran sosial kita tentang gender mempengaruhi cara kita memahami tubuh manusia. Pemahaman bahwa gender tidaklah intrinsik ataupun biner memberi ruang munculnya konsep identitas gender nonbiner.

Melampaui batasan biner dari gender

Bagi banyak orang, konsep identitas gender nonbiner masih merupakan hal yang misterius. Salah satunya karena nonbiner bisa punya arti yang berbeda bagi orang yang berbeda.

Penulis dan aktor Tyler Ford serta penyanyi Miley Cyrus kerap dianggap melampaui batasan-batasan gender. Jason Szenes/AAP

Beberapa orang nonbiner merasa bahwa diri mereka hidup di antara dua kategori biner dari gender; beberapa merasa berada di luar kategori-kategori tersebut; sementara yang lainnya sepenuhnya menolak konsep biner dari gender serta menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa ditantang atau ‘ditarik-ulur’.

Identitas gender nonbiner bisa membantu individu untuk senantiasa mengeksplor gender mereka secara fleksibel dan bereksperimen sepanjang hidup mereka. Tapi, ini juga bisa memberi mereka tempat yang nyaman di antara dua kategori gender tradisional.

Istilah-istilah lain – seperti ‘genderfluid’, ‘agender’, atau ‘genderless’ – menjelaskan perspektif-perspektif yang serupa. Sementara ‘cisgender’ menjelaskan pengalaman saat seseorang merasa sejalan dengan gender mereka saat lahir (misalnya secara seks lahir sebagai female, lalu mengemban identitas gender sebagai perempuan).

Tidak ada satu cara untuk menjadi – atau menampilkan diri – sebagai nonbiner.

Meski beberapa orang nonbiner menunjukkan dirinya dengan tampilan yang ambigu antara maskulin dan feminin (androgynous), penting untuk kita catat bahwa tidak semua orang nonbiner menampilkan dirinya seperti ini.

Jadi, karena kita tidak bisa memastikan apakah seseorang merupakan nonbiner hanya dengan melihat mereka, satu-satunya cara untuk kita tahu perasaan seseorang tentang gender mereka adalah dengan mendengarkan mereka secara tulus dan menunggu mereka untuk memberi tahu kita.

Ruby Rose, yang mengidentifikasi dirinya sebagai genderfluid, memerankan karakter Stella di serial ‘Orange Is The New Black’. Jojo Whilden, Catapult Public Relations/AAP

Bagaimana dengan transgender?

Telah banyak perbincangan terkait istilah ‘transgender’, misalnya seputar mantan atlet olimpiade Caitlyn Jenner dan bintang serial Orange Is The New Black (2013-2019) Laverne Cox.

Jadi, mari kita bicarakan hubungan antara ‘nonbiner’ atau ‘genderqueer’, dengan ‘transgender’.

Laverne Cox di ajang Emmy Awards tahun 2014. Paul Buck/AAP

Secara umum, transgender biasanya merujuk pada orang yang mengidentifikasi diri dengan suatu kategori gender (laki-laki ATAU perempuan), yang ‘berlawanan’ dari seks mereka saat lahir.

Misalnya, seseorang yang secara seks lahir sebagai male, namun kemudian mengidentifikasi diri sebagai perempuan, kerap disebut ‘perempuan transgender’ atau ‘transpuan’. Sebaliknya, seseorang yang secara seks lahir sebagai female kemudian mengidentifikasi diri sebagai laki-laki disebut sebagai ‘laki-laki transgender’ atau ‘transpria’.

Namun, meski beberapa orang transgender memang punya perasaan terjebak di ‘tubuh yang salah’, beberapa lainnya merasa memiliki identitas gender yang lebih cair (fluid). Mereka bisa jadi mengidentifikasi diri sebagai transgender sekaligus nonbiner.

Beberapa orang yang transgender sekaligus nonbiner, bisa jadi ingin menggunakan terapi hormon atau melakukan operasi untuk membentuk ulang tubuh mereka. Yang lainnya mungkin tidak menginginkan perubahan fisik sama sekali.

Identitas gender nonbiner atau genderqueer memang merupakan konsep yang cenderung lebih asing dari transgender. Akibatnya, orang-orang biner yang tidak ingin mengubah tampilan diri mereka secara medis, legal, atau pun sosial, berpotensi menghadapi berbagai tantangan ekstra supaya identitas mereka diakui secara formal.

Dalam dunia riset, sudah banyak penelitian yang fokus pada pengalaman transgender, termasuk kompilasi analisis akademik ‘Transgener Studies Reader’ (2006, 2013). Namun, ada jauh lebih sedikit perhatian akademik untuk identitas dan pengalaman nonbiner.

Satu buku yang berupaya mengisi celah ini adalah ‘GenderQueer: Voices From Beyond the Sexual Binary’ (2002), yang diedit oleh Joan Nestle, Clare Howell and Riki Anne Wilchins.

Hambatan bahasa dan institusional

Ada banyak yang kita bahas tentang bagaimana orang mengubah tubuh mereka, tapi belum banyak atensi yang kita berikan terkait perubahan-perubahan kecil yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat untuk membuat hidup orang nonbiner menjadi lebih nyaman.

Aspek kehidupan sehari-hari yang kita sering remehkan – seperti masuk ke toilet umum yang 'tepat’, atau mencentang ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’ pada sebuah formulir – menjadi sangat susah kalau kita tidak masuk salah satu kategori tersebut.

Di beberapa negara, banyak sekolah, perusahaan, dan organisasi mulai menawarkan ‘kamar mandi netral-gender’. Dalam beberapa formulir atau dokumen resmi juga mulai muncul kotak ‘lainnya’ (other) dalam bagian yang menanyakan gender, atau sebutan yang netral-gender seperti Mx (di samping Mr dan Ms).

Kamar mandi netral-gender di University of California-Irvine, AS. Lucy Nicholson/Reuters

Perubahan-perubahan ini penting untuk menghapus beberapa hambatan institusional yang dihadapi orang-orang nonbiner. Ada juga beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai individu untuk mendukung orang-orang nonbiner.

Mengubah nama bisa jadi langkah yang penting bagi seseorang untuk menunjukkan identitas gender mereka pada dunia. Jika namamu adalah ‘Jessica’, misalnya, orang kerap beranggapan bahwa kamu adalah perempuan; jika ‘Ben’, maka laki-laki. Meski tidak semua orang nonbiner merasa perlu untuk mengubah nama, beberapa mengingingkan nama yang netral.

Mengakui perubahan nama tersebut sangat penting untuk menghormati identitas gender seseorang. Senada dengan itu, di beberapa negara Barat, ada orang nonbiner yang nyaman dengan kata panggilan (pronoun) seperti ‘he/him’ atau ‘she/her’, ada pula yang lebih suka memakai kata panggilan yang netral-gender seperti ‘they/them’ atau ‘zie/zir’.

Meski pergeseran bahasa ini membuat beberapa pegiat tata bahasa tersinggung, pergeseran kata plural ‘they’ dalam bahasa Inggris menjadi subjek tunggal telah diakui dalam Kamus Oxford.

Di negara berbahasa Inggris, menggunakan ‘they’ untuk menyebut seorang individu bisa jadi terasa menantang saat kita pertama kali melakukannya. Namun, ini merupakan perubahan kecil yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan rasa hormat kita pada identitas orang lain.

Memahami dan mengingat berbagai istilah dan konsep yang kompleks ini adalah upaya yang menantang, namun layak kita perjuangkan.

Lagipula, tantangan menyesuaikan diri dengan perubahan ini jauh lebih remeh daripada hambatan sosial yang dialami orang-orang transgender atau nonbiner.

Saatnya berhenti mengkotak-kotakkan

Kita bisa membawa berbagai pelajaran di atas selangkah lebih jauh lagi. Selama ini, kategori gender yang konvensional terikat erat dalam bahasa kita sehari-hari maupun dalam dokumen institusional – dan ini mempengaruhi cara kita memandang dunia.

Selamat! Anda melahirkan seorang…bayi. tisskananat/www.shutterstock.com

Karena kita tahu bahwa tidak semua orang masuk dalam kategori ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’, mungkin ini adalah saatnya mempertanyakan insting kita untuk langsung memberikan label tertentu pada orang lain. Lain kali kita sedang berada di jalan, cobalah untuk membayangkan orang-orang yang kamu lewati tanpa suatu gender tertentu.

Bagi kebanyakan dari kita, hal ini sangatlah susah. Tapi, dengan berlatih, kita bisa sedikit lebih menghormati orang selanjutnya yang kita temui, yang bisa jadi adalah nonbiner.

Menyangkal identitas gender seseorang bisa berkontribusi meningkatkan prasangka, rasa takut, dan kekerasan terhadap orang yang tidak masuk dalam kategori gender tradisional.

Kekerasan ini wujudnya bisa bermacam-macam, dan bisa mempengaruhi berbagai kelompok individu termasuk transgener, agender, dan nonbiner. Ketimbang berupaya menentukan siapa yang ‘benar-benar’ merupakan laki-laki atau perempuan, bukankah lebih baik kita menghabiskan waktu kita untuk membahas dan menghormati kompleksitas identitas gender manusia?

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now