Menu Close
Patung United Trinity di Stadion Old Trafford, Manchester, Inggris. Thomas McAtee/shutterstock

Fans Manchester United menanti ‘Godot’: bagaimana klub sepak bola ini mengalami krisis identitas dan penurunan prestasi

Sepak bola sering kali mendapat sorotan publik karena transfer dan gaji pemain yang menghabiskan dana besar. Transfer Neymar dari Barcelona ke PSG pada 2017, misalnya menghabiskan dana 222 juta euro atau setara Rp3,7 triliun. Atau gaji yang diterima oleh Christiano Ronaldo di Al-Nassr yang bahkan dapat mencapai Rp3 triliun per tahun.

Persoalan ini menuai pro-kontra mengenai absurditas dunia sepak bola dan pertanyaan mendasar dalam industri ini: apakah pengeluaran yang sedemikian besar berbanding lurus dengan prestasi klub?

Bicara soal absurditas, nyaris tidak ada klub yang lebih absurd dari klub asal Inggris, Manchester United (MU). Setidaknya itu yang diungkapkan sendiri oleh Christiano Ronaldo lewat wawancaranya dengan Piers Morgan, legenda hidup yang malah diasingkan oleh klubnya sendiri. Dalam wawancara itu, Ronaldo mengatakan bahwa ada begitu banyak polemik yang terjadi di internal klub, salah satu dan yang terutama yang menjadi kritiknya adalah orientasi pemilik klub yang tidak berhasrat untuk mengejar prestasi olahraga dan hanya mengejar profit semata.

Kisah MU mengingatkan saya pada lakon Waiting for Godot yang dibuat oleh Samuel Beckett, orang Irlandia yang besar di Prancis. Dalam drama ini, ada dua babak yang menampilkan lokasi yang sama, yakni sebuah jalan di desa pada senja hari. Di sana terdapat sebatang pohon yang pada babak pertama tidak memiliki daun, tetapi pada babak kedua sudah tumbuh beberapa helai daun.

Lima tokoh utama dalam lakon ini adalah Vladimir, Estragon, Pozzo, Lucky, dan Boy. Meskipun hanya lima tokoh, nama “Godot” terus disebut dalam dialog mereka. Namun, Godot yang dinanti-nanti oleh Vladimir dan Estragon tidak pernah muncul secara fisik dalam drama ini. Meskipun mereka terus menantikan Godot bahkan hingga musim berganti, ia tak kunjung datang.

Dalam konteks MU, penantian para tokoh terhadap Godot ini adalah metafora bagi para penggemar klub yang terus membicarakan tentang trofi yang diharapkan–namun tak kunjung datang.

Mengenang MU

Sir Alex Ferguson
Sir Alex Ferguson melatih MU selama 26 tahun. Melinda Nagy/Shutterstock

Para penggemar MU–yang memiliki sejarah panjang dan tradisi yang kuat–mungkin saat ini merasa klub kesayangan mereka telah menjauh dari tujuan kesuksesan yang pernah mereka kenal.

MU memang punya segudang prestasi. Klub ini mencatatkan 20 kali juara Liga Primer Inggris, yang pialanya terakhir kali mereka bawa pulang ke Stadion Old Trafford pada musim 2012/2013, dan tiga kali juara Liga Champions Eropa, terakhir pada 2007/2008. Klub Setan Merah ini juga mengantungi 12 gelar Piala FA, terakhir kali pada musim 2015/2016.

Namun setelahnya, mereka terhitung minim prestasi dan hanya menyabet gelar dari turnamen nasional dan regional yang lebih kecil.

Dari catatan itu, tentu dapat dilihat betapa sulitnya MU berprestasi sepeninggalan Sir Alex Ferguson sejak tahun 2013.

Istilah Nothing to be done (tak ada yang bisa dilakukan) atau dalam bahasa Prancis aslinya “rien à faire” sering kali diucapkan oleh Vladimir dan Estragon dalam Godot.

Ungkapan ini sering kali disampaikan dengan berbagai variasi, namun intinya selalu mencerminkan rasa keputusasaan. Ungkapan ini mencerminkan bahwa dalam setiap situasi buntu yang dialami manusia, mereka cenderung mengeluh dan merasa terjebak. Namun, setiap kali mereka mengingat Godot yang mereka nantikan, semangat mereka kembali membara.

Situasinya mirip dengan para penggemar MU kekinian. Setiap kali mereka mengingat jumlah trofi yang pernah dimenangkan oleh MU, semangat mereka berkobar-kobar. Terkadang terasa seolah-olah para pemain MU dan dewan direksi klub sangat berharap dan menantikan “Godot” mereka sendiri. Seorang penyelamat atau mesiah dari dunia sepakbola yang akan membawa kebahagiaan kepada seluruh penggemar dan pemain.

Namun, kenyataannya adalah bahwa tidak ada perubahan yang signifikan dalam pola permainan MU, yang ada justru keputusasaan.

Sepak bola: bisnis berbasis penggemar

Merchandise MU
Berbagai pernak-pernik dipajang di toko resmi Manchester United di Stadion Old Trafford. chettarin/Shutterstock

Klub sepak bola profesional memiliki beberapa perbedaan mendasar dari bisnis lainnya. Terdapat setidaknya dua keunikan utama dalam aktivitas klub sepak bola profesional yang dapat dijelaskan melalui rasio keuangannya.

Pertama, klub sepak bola profesional memperoleh pendapatan dari tiga sumber utama: penjualan tiket pertandingan, pendapatan dari hak siar, dan pendapatan komersial seperti penjualan jersey, merchandise, sponsor, dan lain-lain.

Sumber-sumber ini cukup jelas mencerminkan bagaimana fans punya andil besar dalam membawa keuntungan bagi klub.

Kedua, klub sepak bola mendapatkan pemasukan dari transfer pemain sepak bola, yang berfungsi sebagai sumber pendapatan tambahan.

Bagaimana dengan pemasukan MU?

Menurut data perusahaan konsultan multinasional Deloitte, MU saat ini adalah klub dengan pemasukan terbesar keempat setelah Manchester City, Real Madrid, dan Liverpool. Sekitar 45% dari pemasukan MU yang sebesar 689 juta euro (Rp11,46 triliun) pada 2022 berasal dari aktivitas komersial, 37% dari penyiaran, dan sisanya dari penjualan tiket. Ini menunjukkan betapa besarnya basis penggemar MU.

Krisis identitas pada Godot dan MU

Protes fans MU
Fans Manchester United menggelar aksi protes menyuarakan kekecewaan mereka pada Keluarga Glazer selaku pemilik klub. John B Hewitt/Shutterstock

Sebagai klub sepak bola, MU seakan mengalami krisis identitas yang tak kunjung usai. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sejak dekade 1980-an, MU selalu berusaha mendapatkan pemasukan baru untuk diinvestasikan dalam pengembangan klub.

Namun, MU seakan lupa bahwa tujuan akhir dari eksistensi klub sepakbola adalah prestasi. Nampaknya, mereka lebih fokus pada pengembangan bisnis.

Adanya bias tujuan ini nampaknya telah berperan dalam menjadikan klub ini semakin absurd. Vlad I. Roşca, profesor dari Bucharest Academy of Economic studies yang memiliki ketertarikan pada pemasaran olahraga, menyebutkan bahwa MU berhasil meningkatkan pendapatan mereka dari 2,25 juta pound (Rp43,1 miliar) pada 1985 menjadi lebih dari 200 juta pound (Rp3,83 triliun) pada dekade pertama abad ke-21. Hal itu tak lepas dari keberhasilan mereka dalam meningkatkan basis penggemar di Amerika Utara dan Asia.

Misalkan saja, salah satu aliansi strategis MU adalah dengan New York Yankees, sebuah franchise Major League Baseball. Kedua klub berbagi informasi dan melakukan kampanye periklanan bersama. Selain itu, YankeeNets, pemilik New York Yankees, membantu MU merencanakan dan mengadakan tur musim panas mereka ke Amerika Serikat (AS).

MU juga aktif dalam pasar poker dengan bantuan Playtech, salah satu perusahaan judi online terbesar di dunia. Mereka mencapai kesepakatan pada 2006 yang menghasilkan peluncuran situs poker dan permainan kasino. Keputusan ini mengikuti naiknya tren bermain poker dan bertaruh secara daring, termasuk bagi para penggemar MU.

Bahkan pada 2015, MU merilis kerja sama lain di pasar poker dengan Kamagames dengan meluncurkan program kasino sosial. Melalui platform ini, penggemar dapat berpartisipasi dalam turnamen dengan kesempatan untuk memenangkan hadiah-hadiah terkait MU seperti tiket, merchandise, tur, dan acara-acara khusus lainnya.

Namun, bagaimana dengan keputusan investasi terkait dengan pengelolaan tim, yang mestinya menjadi esensi sebuah klub bola?

MU bukannya tak menggelontorkan cukup dana untuk transfer pemain. Sebuah koran lokal, misalnya, menyoroti bagaimana MU tampaknya menolak beradaptasi, terjebak dalam bayang-bayang Ferguson, dan akhirnya bongkar pasang manajer ketika dirasa tak cocok dengan gaya yang diusung manajer tersebut.

Anehnya, walaupun minim prestasi, pemasukan MU terus bertumbuh dan mencatatkan kenaikan tahunan 23% pada 2022. Berdasarkan laporan tahunan yang dikeluarkan oleh MU, pendapatan yang diperoleh dari penjualan produk-produk terkait dengan merek atau hak lisensi, termasuk pakaian, barang dagangan, dan lisensi produk lainnya di sektor ritel naik 19% pada periode yang sama, meski sebelumnya sempat datar–disinyalir karena pandemi.

Sayangnya, semangat militansi fans dan prestasi yang ditorehkan dalam hal pengembangan investasi klub nampaknya tidak berbanding lurus dengan trofi yang rasanya semakin lama semakin jauh dari harapan.

Sebuah studi memang menunjukkan bahwa semakin lama sebuah tim tersungkur, semakin kuat loyalitas fansnya, semakin kohesif pula identitas yang terbentuk antar penggemar yang berbagi penderitaan.

Salah satu penjelasannya adalah terjadi disonansi kognitif, yaitu ketika penggemar menjustifikasi banyaknya waktu dan uang yang mereka habiskan untuk klub yang tidak pernah “membayar” dengan kemenangan sebagai kecintaan mereka pada klub tersebut.

Dalam konteks ini, Waiting for Godot karya Samuel Beckett menjadi sebuah metafora yang kuat. Seperti tokoh-tokoh dalam drama tersebut yang menunggu entitas yang tak pernah datang, fans MU mungkin merasa mereka juga menantikan kebangkitan klub mereka yang tampaknya terus mundur.

Kegagalan mencapai ekspektasi bisa menggambarkan kerangka kerja yang absurd dalam internal MU saat ini. Maka, nampaknya, seluruh fans MU perlu membaca Godot dan merefleksikannya agar ekspektasi terhadap MU tak kadung melambung tinggi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now