Menu Close

Gagasan ‘green growth’ kehilangan dukungan dari peneliti kebijakan iklim, ungkap survey terhadap 800 akademisi

Wind turbins on a sea cliff.
Gagasan mengenai “pertumbuhan hijau” memang menarik, namun kini mulai kehilangan daya tariknya di kalangan peneliti kebijakan iklim. Shutterstock

Saat memberikan pidato tahunannya pada 13 September, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen berpegang pada narasi yang selama ini bergulir. Menjelaskan visinya mengenai Eropa yang kuat secara ekonomi dan berkelanjutan di era perubahan iklim, ia meminta Uni Eropa untuk mempercepat pengembangan sektor teknologi ramah lingkungan, “mulai dari pembangkit listrik tenaga angin hingga baja, dari baterai hingga kendaraan listrik”.

“Jika menyangkut Kesepakatan Hijau Eropa, kami tetap berpegang pada strategi pertumbuhan kami,” kata von der Leyen.

Rencana von der Leyen tidaklah unik. Gagasan pertumbuhan hijau (green growth)–gagasan bahwa tujuan lingkungan dapat diselaraskan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan–masih menjadi ortodoksi ekonomi yang umum bagi lembaga-lembaga besar seperti Bank Dunia dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

OECD telah berkomitmen untuk “memperkuat upaya menerapkan strategi pertumbuhan ramah lingkungan […], dengan mengakui bahwa lingkungan hidup dan pertumbuhan dapat berjalan beriringan”. Sementara, Bank Dunia menyerukan “pertumbuhan ramah lingkungan yang inklusif"–merujuk pada bagaimana "pertumbuhan ramah lingkungan diperlukan, efisien, dan terjangkau”. Uni Eropa pun telah membingkai pertumbuhan hijau sebagai

“dasar untuk mempertahankan tingkat serapan tenaga kerja dan mengamankan sumber daya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat […] mentransformasikan produksi dan konsumsi dengan menyelaraskan peningkatan PDB dan batasan lingkungan hidup”.

Akan tetapi, survey kami terhadap lebih dari 800 peneliti kebijan iklim di seluruh dunia mengungkap meluasnya skeptisme terhadap konsep di negara-negara berpendapatan tinggi, dengan menggunungnya literatur yang berargumen bahwa prinsip tersebut bisa jadi tak mungkin dilakukan atau tak diinginkan.

Alih-alih, paradigma-paradigma post-growth (pandangan bahwa dengan keterbatasan sumber daya alam, ekonomi ekstraktif dan populasi tak akan bisa terus bertumbuh) seperti “degrowth” dan “agrowth” justru semakin populer.

The president of the European Commission, Ursula von der Leyen, against a blurred backdrop of an EU flag in Strasbourg
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, membuat banyak pernyataan implisit tentang pertumbuhan hijau dalam pidato tahunannya di Parlemen Eropa pada 13 September 2023. Frederick Florin/AFP

Membedakan pertumbuhan hijau dengan agrowth dan degrowth

Namun apa arti dari terminologi ini?

Pemikir-pemikir degrowth mengajukan reduksi terencana konsumsi material di negara-negara maju demi mencapai masyarakat yang lebih berkelanjutan dan adil. Sementara, para pendukung agrowth mengadopsi pandangan yang netral terhadap pertumbuhan ekonomi, berfokus pada mencapai keberlanjutan tanpa memerhatikan fluktuasi pendapatan domestik bruto (PDB).

Secara esensi, kedua sudut pandang ini skeptis terhadap paradigma “green growth”, dengan degrowth mengambil posisi yang lebih kritis.

Perdebatan yang ada berpusat seputar konsep decoupling (pemisahan)–apakah perekonomian dapat tumbuh tanpa peningkatan degradasi lingkungan atau emisi gas rumah kaca. Pada dasarnya, hal ini menandakan pemisahan hubungan historis antara pertumbuhan PDB dan dampak buruknya terhadap lingkungan.

Yang penting, pemisahan absolut dan bukan pemisahan relatif diperlukan agar pertumbuhan ekonomi hijau dapat berhasil. Dengan kata lain, emisi harus menurun seiring pertumbuhan ekonomi, dan tidak hanya tumbuh lebih lambat.

Para pendukung green growth berkeras bahwa pemisahan absolut dapat dicapai dalam jangka panjang, meskipun ada perbedaan pendapat mengenai apakah akan ada dampak jangka pendek terhadap pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, perspektif degrowth menekankan pentingnya pemisahan absolut dilakukan dengan skala global dan dapat dicapai dengan kecepatan yang dibutuhkan untuk tetap berada dalam target iklim Kerangka Perjanjian Paris.

Sebuah studi terbaru, misalnya, menemukan bahwa menemukan bahwa tingkat pemisahan kelompok berpendapatan tinggi saat ini masih jauh dari apa yang dibutuhkan untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 2°C sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

Sementara itu, posisi agrowth mengambil jalan tengah dengan pandangan yang cenderung beragam terkait perdebatan decoupling ini. Sebagian berpendapat bahwa pemisahan mungkin dilakukan di bawah kebijakan yang tepat. Namun, fokusnya harusnya lebih pada kebijakan dan bukan target, karena hal ini menimbulkan kerancuan antara upaya dan hasil.

Pendapat lainnya adalah bahwa perdebatan ini tidaklah relevan karena PDBB merupakan indikator yang buruk untuk menunjukkan perkembangan di masyarakat–bahwa terdapat “paradoks PDB”, yakni bagaimana indikator ini terus menjadi tolok ukur dominan dalam ekonomi dan politik meski kegagalannya banyak diakui.

7 dari 10 pakar iklim skeptis terhadap green growth

Seberapa umum para pakar menganut pandangan degrowth dan agrowth?

Sebagai bagian dari survei terbaru terhadap 789 peneliti global yang pernah mempublikasikan riset soal kebijakan mitigasi perubahan iklim, kami mengajukan pertanyaan untuk menilai posisi responden dalam perdebatan pertumbuhan. Menariknya, 73% dari seluruh responden menyatakan pandangan mereka sejalan dengan posisi “agrowth” atau “degrowt”, dengan pandangan pertama lebih populer di antara para pakar ini.

Kami menemukan bahwa pendapat tersebut bervariasi berdasarkan negara dan disiplin responden (lihat gambar di bawah).

green growth, degrowth and agrowth split according to scientific discipline
Grafik menunjukkan pemikiran 789 peneliti global, berdasarkan asal wilayah and disiplin keilmuan. Fourni par l'auteur

Meskipun OECD sangat mendukung pertumbuhan ramah lingkungan, para peneliti dari Uni Eropa dan negara-negara OECD lainnya menunjukkan tingkat skeptisisme yang tinggi. Sebaliknya, lebih dari separuh peneliti dari negara-negara non-OECD, terutama di negara-negara berkembang seperti negara-negara BRICS, lebih mendukung pertumbuhan hijau.

Gejolak disipliner

Tak hanya itu, terdapat pula kesenjangan disiplin. Ilmuwan lingkungan dan sosial lainnya, kecuali ekonom ortodoks, merupakan kelompok yang paling skeptis terhadap pertumbuhan ekonomi hijau.

Sebaliknya, para ekonom dan insinyur menunjukkan preferensi tertinggi terhadap pertumbuhan ramah lingkungan, yang kemungkinan merupakan indikasi kepercayaan terhadap kemajuan teknologi dan model ekonomi konvensional yang menunjukkan sejalannya pertumbuhan ekonomi dengan tujuan iklim.

Analisis kami juga menguji hubungan antara posisi pertumbuhan dan PDB per kapita di negara asal responden. Sebuah tren muncul: ketika pendapatan nasional meningkat, terdapat peningkatan skeptisisme terhadap pertumbuhan hijau. Pada tingkat pendapatan yang lebih tinggi, para ahli semakin mendukung argumen post-growth yang menekankan bahwa dampak sosial-lingkungan dari pertumbuhan mungkin lebih besar daripada manfaatnya.

Hasil ini bahkan terlihat lebih jelas ketika kita memperhitungkan Indeks Pembangunan Manusia yang Disesuaikan dengan Ketimpangan (Inequality-adjusted Human Development Index/IHDI), yang menunjukkan bahwa aspek-aspek di luar pendapatan, seperti ketimpangan dan pembangunan secara keseluruhan, mungkin memengaruhi pandangan-pandangan ini.

Di dunia yang sedang bergulat dengan perubahan iklim dan kesenjangan sosio-ekonomi, temuan-temuan ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Hasil ini menggarisbawahi perlunya dialog yang lebih holistik mengenai pembangunan berkelanjutan, yang melampaui paradigma pertumbuhan hijau konvensional.

Pemikiran post-growth tak lagi radikal

Meski von der Leyen teguh mendukung pertumbuhan hijau, pergeseran akademik ini semakin terefleksikan di dalam perdebatan politik.

Pada Mei 2023, Parlemen Eropa mengadakan konferensi bertajuk Beyond Growth sebagai inisiatif dari 20 anggota dewan yang berasal dari lima fraksi politik berbeda dan didukung oleh lebih dari 50 organisasi mitra. Tujuan utamanya adalah untuk membahas usulan kebijakan yang tidak hanya menjadikan pendekatan pertumbuhan PDB nasional sebagai ukuran utama keberhasilan.

Enam pemerintah nasional dan regional–Skotlandia, Selandia Baru, Islandia, Wales, Finlandia, dan Kanada–telah bergabung dalam kemitraan Wellbeing Economy Governments (WEGo). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk melakukan transisi menuju “perekonomian yang dirancang untuk melayani manusia dan planet bumi, bukan sebaliknya.”

Cukup jelas bahwa pemikiran post-growth tidak lagi menjadi posisi yang radikal dan terpinggirkan dalam upaya mencari solusi perubahan iklim. Perhatian yang lebih besar perlu diberikan pada mengapa para ahli meragukan bahwa pertumbuhan ekonomi hijau dapat dicapai serta alternatif potensial yang berfokus pada konsep kesejahteraan masyarakat yang tak terbatas pada pertumbuhan PDB.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now