Menu Close

Ilmuwan sosial di Indonesia dapat membantu ahli epidemiologi melakukan pelacakan kontak COVID-19

Indonesia perlu melakukan pelacakan kontak yang lebih ketat untuk memastikan mereka yang berisiko menyebarkan COVID-19 dapat diuji dan diisolasi. Sipa USA Algi Febri Sugita / SOPA Images/

Para peneliti ilmu sosial di Indonesia dapat membantu ahli epidemiologi menemukan orang-orang yang pernah kontak dekat dengan orang yang terinfeksi sehingga mereka dapat dites, diisolasi, dan dikarantina.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), strategi ini, yang disebut penelusuran kontak (contact tracing), adalah kunci dalam memperlambat penyebaran coronavirus.

Hingga 19 April, Indonesia telah mengkonfirmasi 6.575 kasus positif dari pengujian terhadap sekitar 42.000 spesimen. Sekitar 15.600 orang yang menderita demam dan batuk, berada di bawah kategori “pasien dalam pengawasan”, setelah dilacak memiliki kontak dengan orang yang terinfeksi atau baru saja melakukan perjalanan dari negara yang terinfeksi.

Indonesia juga baru-baru ini meluncurkan aplikasi seluler PeduliLindungi untuk melacak orang yang melakukan kontak dengan pemilik ponsel yang telah dites positif terkena virus corona. Langkah ini mengikuti jejak negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura yang telah berhasil menggunakan alat digital untuk melakukan penelusuran kontak.

Namun, semua ini mungkin belum cukup. Menurut Gugus Tugas Nasional COVID-19, jumlah kasus konfirmasi positif COVID-19 di Indonesia akan mencapai sekitar 100.000 kasus pada Mei, melampaui Cina, pusat penyebaran awal COVID-19 yang kini telah berhasil memperlambat penyebaran virus.

Dengan 496 orang meninggal dunia, jumlah kematian COVID-19 di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Dengan mulai kewalahannya sistem kesehatan dalam menangani pasien COVID-19—ditambah dokter dan perawat banyak yang terinfeksi—negara ini perlu melakukan pelacakan kontak yang lebih ketat untuk memastikan mereka yang berisiko menyebarkan COVID-19 dapat dites dan diisolasi.

Memanfaatkan keterampilan ilmu sosial dalam melacak proses

Indonesia termasuk lambat dalam melacak orang yang telah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi. Sebagai contoh, ada dua klaster besar dan penting dalam penyebaran awal COVID-19: Konferensi Bisnis Syariah dan pertemuan tahunan Gereja-Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB), keduanya diadakan pada Februari di Bogor.

Sementara beberapa dari mereka yang menghadiri acara-acara itu telah didiagnosis COVID-19, beberapa bahkan meninggal, peristiwa-peristiwa itu masih kurang diselidiki. Pelacakan kontak yang lemah itu boleh jadi berkontribusi pada keterlambatan deteksi yang menyebabkan tingginya jumlah kematian, serta cepatnya penyebaran virus terutama di provinsi-provinsi dengan populasi padat seperti Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Sementara para ahli epidemiologi memimpin pertempuran melawan pandemi COVID-19, para peneliti ilmu sosial juga dapat membantu memastikan pelacakan kontak dilakukan di semua provinsi di Indonesia.

Pelacakan kontak sangat penting mengingat kebijakan Indonesia dalam menerapkan pembatasan sosial berskala besar di kota-kota dan kabupaten di seluruh Nusantara. Pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten harus meminta persetujuan pada Menteri Kesehatan untuk mengimplementasikan langkah-langkah ini, yang meliputi penutupan kantor dan sekolah dan pembatasan pergerakan orang, dengan menunjukkan peningkatan kasus dan atau kematian karena COVID-19.

Melacak orang yang telah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi dapat membantu petugas kesehatan setempat untuk menemukan pasien yang dicurigai untuk diuji.

Tapi tidak hanya itu. Karena Indonesia tidak menempatkan orang tanpa gejala di bawah pengawasan, pelacakan kontak menjadi penting untuk memastikan mereka yang telah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi tapi tidak menunjukkan gejala, untuk mengkarantina diri mereka sendiri selama setidaknya 14 hari.

Ilmu sosial memiliki metode yang disebut proses penelusuran yang mirip dengan metode pelacakan kontak yang diperlukan untuk melacak kontak orang yang terinfeksi dalam epidemiologi.

Dalam ilmu sosial, penelusuran proses digunakan untuk membuat kesimpulan tentang ada atau tidaknya penyebab dan hasil. Ini adalah proses menemukan atau melacak informasi untuk suatu peristiwa.

Dalam penelusuran proses, ilmuwan sosial memeriksa sejarah, arsip, dan menggunakan wawancara, pengamatan langsung, dan sumber-sumber lain untuk melihat apakah proses sebab-akibat yang diinginkan pada suatu kasus terbukti dalam rangkaian peristiwa yang diselidiki.

Ilmuwan sosial dengan demikian memiliki kemampuan untuk membantu melacak orang-orang yang mungkin telah terinfeksi oleh seseorang yang mengidap COVID-19 serta menelusuri penyebaran COVID-19 di tingkat masyarakat. Mereka dapat mengambil bagian dalam mewawancarai orang yang terinfeksi—dengan prosedur yang aman seperti melalui telepon—dan melacak rekam medis pergerakan pasien dalam dua minggu terakhir.

Pejabat Kementerian Kesehatan dapat menggunakan data yang disediakan oleh para peneliti tersebut untuk tindakan lebih lanjut: mengetes sampel dari mereka dan mengisolasi orang yang terinfeksi.

Bangun tim lokal pelacak kontak

Meskipun jendela peluang semakin sempit untuk menghentikan penyebaran nasional COVID-19, provinsi dengan jumlah kasus yang kecil masih memiliki peluang untuk menahan penyebarannya dengan bertindak cepat dan ekstensif melacak kontak.

Satuan Tugas COVID-19 Indonesia dapat bekerja sama dengan universitas-universitas di setiap provinsi di seluruh Indonesia dengan membuat tim penelusuran kontak di setiap wilayah yang menyertakan peneliti ilmu sosial sebagai anggota.

Para peneliti ini kemudian akan bekerja sama dengan Satuan Tugas dalam melakukan pelacakan kontak yang ketat untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Inisiatif ini bahkan dapat dikembangkan untuk melengkapi data dari aplikasi pelacakan kontak yang baru dibuat untuk membangun basis data penelitian yang melacak penyebaran penyakit di Indonesia. Ini dapat juga menjadi bahan untuk studi-studi epidemiologi, kesehatan masyarakat, dan aspek sosial penyakit menular ke depannya.

Pentingnya transparansi dan kebijakan berbasis ilmu

Agar ide-ide yang diusulkan di sini dapat terwujud, pemerintah perlu transparan dengan data tentang infeksi COVID-19 dan menahan diri dari kebijakan ad-hoc yang cenderung mengedepankan pendekatan militer.

Di negara-negara yang berhasil dalam memerangi pandemi, ilmu pengetahuan memandu kebijakan mereka. Para pemimpin mereka bekerja sama secara intensif dengan para ahli, ilmuwan, serta mengedepankan pendekatan berbasis fakta dan data.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk bekerja sama dengan komunitas akademik dan bahkan aktor-aktor masyarakat sipil, seperti KawalCOVID19, yang telah mengajukan berbagai inisiatif untuk mencegah dan memitigasi penyebaran COVID-19 di Indonesia.

Pertempuran melawan pandemi membutuhkan pendekatan yang tegas, cepat, dan partisipatif. Untuk mengimbangi kinerjanya yang kurang bagus, pemerintah perlu mengintegrasikan sensibilitas ilmu sosial dalam strategi pelacakan kontak yang ketat dan bekerja sama dengan peneliti sosial untuk memerangi pandemi secara lebih efektif.


Catatan Editor: Versi awal artikel menyebutkan 42,000 orang telah dites. Itu tidak tepat. Hingga 19 April, 42.000 spesimen telah diuji. Koreksi telah dibuat.

Ikuti perkembangan terbaru soal COVID-19 dengan berlangganan newsletter Kesehatan. Daftar di sini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now