Menu Close
Indonesia bisa memulai gerakan nasional menghapus buta digital, sebuah bentuk ketimpangan yang kurang diperhatikan di Indonesia. Reuters/Beawiharta

Indonesia perlu belajar mengatasi gagap digital dari Cina dan India

Dalam rangka penyelenggaraan CAUSINDY (Conference of Australian and Indonesian Youth) minggu ini di Melbourne, The Conversation menampilkan analisa dari akademisi yang hadir dalam konferensi antara pemuda Australia dan Indonesia tersebut.


Indonesia memiliki kesamaan karakter demografi dengan Cina dan India sebagai negara Asia yang memiliki lebih banyak penduduk di rentang usia 15 hingga 64 tahun daripada anak-anak dan orang lanjut usia.

Para pengamat menyebutkan bahwa surplus penduduk usia produktif tersebut merupakan “bonus demografi” yang dapat berkontribusi pada bangkitnya Cina, India, dan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi terdepan di dunia.

Penduduk usia produktif dari negara-negara ini memasuki lanskap dunia kerja yang semakin dipengaruhi inovasi dalam teknologi digital. Cina dan India telah mengambil langkah-langkah untuk mempersiapkan populasi mereka untuk meraup keuntungan di era digital.

Indonesia perlu mengejar ketertinggalan dengan meningkatkan keterampilan penduduknya, di antaranya literasi digital, kemampuan menggunakan medium digital seperti komputer dan gawai. Bentuk literasi ini akan menjadi salah satu keahlian yang sangat diperlukan untuk memastikan seseorang mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak.


Baca juga: Model literasi yang bermanfaat untuk Indonesia: bukan sekadar melek huruf


Pergeseran lanskap dunia kerja

Sebelum munculnya internet, sekitar 30 tahun yang lalu, lebih dari setengah populasi Indonesia (54,7% dari populasi pada 1985) bekerja sebagai petani.

Pada 2016 diketahui bahwa hanya 34% populasi penduduk masih bekerja di sektor pertanian, sedangkan 44,8 % bekerja di sektor jasa dan 19,7% di industri manufaktur.

Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan lebih dari setengah (51,5%) pekerja Indonesia memiliki kualifikasi di bawah rata-rata atau bahkan tidak memiliki keterampilan untuk melakukan pekerjaannya karena tingkat pendidikan yang rendah. Sebanyak 40% pekerja dikategorikan memiliki keahlian yang sesuai dengan pekerjaan dan sisanya 8,5% memiliki kualifikasi yang lebih tinggi dari pekerjaannya.

Apa strategi Cina dan India?

Cina memanfaatkan teknologi digital dengan sangat baik untuk pembangunan ekonomi negaranya. Ekonomi berbasis teknologi digital di Cina tersebut menyumbang 30,6% PDB pada 2016.

Meski Cina membatasi akses internet kepada penduduknya sejak 1997 dan memblokir situs-situs tertentu dan beberapa aplikasi (“The Great Firewall”); negara Tirai Bambu ini telah memfasilitasi dan mendorong pengembangan platform buatan lokal seperti WeChat, Weibo, QQ, Renren, Alibaba, JD.com, dan lainnya.

Dengan menerapkan pembatasan tersebut, Cina mengarahkan pemanfaatan penggunaan internet dan perilaku online warganya untuk memaksimalkan potensi pasar dalam negeri.

Sebagai contoh, aplikasi WeChat, media sosial milik Cina yang telah tumbuh secara cepat sejak 2011 dan saat ini merupakan pesaing Facebook, adalah aplikasi paling populer di Cina yang telah mengubah gaya hidup dan cara berbisnis penduduk Cina. WeChat berpotensi mengalahkan popularitas Facebook di masa depan.

WeChat. from www.shutterstock.com

WeChat menyediakan fitur-fitur seperti pesan singkat, layanan komersial, dan pembayaran elektronik. Aplikasi ini juga membantu koordinasi tugas, sebuah fungsi penting dalam bisnis. WeChat juga menyediakan dompet virtual yang bisa digunakan untuk hampir semua transaksi mulai dari pembayaran tagihan listrik hingga pembelian secangkir kopi.

Diaspora Cina juga telah meningkatkan popularitas penggunaan WeChat di dunia. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana Cina dapat memanfaatkan bonus demografinya untuk menciptakan peluang dan lingkungan yang kompetitif, yang memungkinkan terjadinya definisi ulang kekuatan ekonomi global.

Sementara itu, India juga melakukan langkah serius untuk melawan rendahnya tingkat literasi digital dengan mendirikan National Digital Literacy Mission (Pusat Literasi Digital Nasional) pada Agustus 2014.

Dengan tujuan “membuat satu orang di setiap keluarga melek digital pada 2020”, India juga berkomitmen untuk melatih 147 juta orang di daerah pedesaan dengan keahlian yang dibutuhkan untuk memanfaatkan teknologi.

Hal ini merupakan langkah positif dalam menciptakan India yang lebih melek digital dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya literasi digital untuk pembangunan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia saat ini fokus membangun infrastruktur tradisional seperti jalan, pelabuhan, dan subway untuk meningkatkan konektivitas fisik dan mobilitas.

Namun, pemerintah Indonesia selayaknya tidak melupakan pentingnya ketersediaan infrastruktur untuk mengakses informasi dan teknologi. Sebuah survei yang dilaksanakan oleh Asosiasi Penyedia Jaringan Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di daerah urban seperti Pulau Jawa, Sumatra, dan Bali menikmati akses internet, sementara wilayah Indonesia yang lain masih berjuang untuk mendapatkan akses tersebut.

Menurut Akamai, sebuah perusahaan teknologi digital, sampai dengan Maret 2017, penetrasi internet di Indonesia mencapai 50,4%. Prosentase ini masih di bawah negara-negara tetangga seperti Australia (85,9%), Singapura (81,2%), Malaysia (67,7%), Filipina (52%), Vietnam (52,1%), dan Thailand (60%).

Kecepatan rata-rata internet di Indonesia juga lebih lambat (7,2 Mbps) dibandingkan Singapura (20,3 Mbps), Thailand (16 Mbps), Vietnam (9,5 Mbps), dan Malaysia (8,9 Mbps).

Meskipun penjualan smartphone di Indonesia sangat tinggi (55,4 juta pengguna smartphone pada 2015 dan 4,5 juta smartphone terjual per tahun), Indonesia hanya akan menjadi “pasar” dan belum berpotensi sebagai kekuatan baru dalam persaingan global dalam dunia digital. Indonesia adalah pasar smartphone ketiga terbesar di wilayah Asia Pasifik, sesudah India dan Cina.

Penduduk Indonesia hanya dapat menggunakan media sosial seperti Facebook dan WhatsApp, namun mereka belum memiliki akses internet yang cepat dan memadai untuk mencari informasi secara online, apalagi untuk menciptakan peluang usaha.

Penelitian yang dilakukan oleh Edwin Jurriens dan Ross Tapsell merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk mulai memperhatikan kesenjangan digital jika Indonesia serius tentang penanganan ketidaksetaraan.

Mulai dengan langkah yang sederhana tapi penting

Indonesia perlu mengembangkan kebijakan dengan tujuan yang jelas untuk mendorong penggunaan internet dan literasi digital.

Jika Presiden Joko Widodo benar-benar ingin mencetak “1000 teknoprenur pada 2020”, sebaiknya pemerintah perlu memulai dengan:

  • bekerja sama dengan sektor swasta untuk menyediakan akses internet dan layanan telekomunikasi untuk wilayah pedesaan.

  • melatih warganya untuk menggunakan teknologi digital melalui pendidikan formal dan informal,

  • mempromosikan dan menyediakan insentif untuk pembangunan platform online buatan lokal, dengan mengadakan kegiatan-kegiatan, contohnya, hackathons untuk memecahkan masalah nyata yang hadapi sehari-hari seperti kemacetan, banjir, pasar produk lokal, akses ke pelayanan kesehatan dan rujukan, pilihan layanan jasa yang beragam, saluran untuk menyampaikan masukan untuk memperbaiki layanan, dan lain-lain.

Bukannya langsung loncat pada tujuan menciptakan “technopreneur”, Indonesia bisa memulai gerakan nasional dengan tujuan sederhana menghapus iliterasi digital, yang merupakan bentuk ketidaksetaraan yang kurang diperhatikan di Indonesia.


Baca juga: Pemetaan 9 kota menegaskan Indonesia harus bangkit dari gagap digital


Indonesia juga perlu menyediakan lingkungan yang mendukung pengembangan start-up teknologi melalui potongan pajak atau penyediaan investasi agar industri teknologi digital betul-betul dapat bermanfaat bagi ekonomi Indonesia.

Sebagai contoh, Gojek, salah satu start-up lokal yang paling sukses didirikan oleh Nadim Makarim, orang Indonesia. Namun, Gojek baru benar-benar bisa sukses setelah menerima dukungan dan investasi dari Warburg Pincus, KKR, dan Farallon Capital – semuanya firma ekuitas yang bermarkas di Amerika Serikat.

Kita bisa saja merayakan Gojek sebagai contoh start-up Indonesia yang sukses yang telah membantu permasalahan lokal dengan menyediakan akses terhadap layanan transportasi yang cepat dan nyaman. Namun jika kita gagal memahami “siapa pemilik asli” bisnis tersebut, Indonesia akan terus menerus menjadi pasar, dan bukannya kekuatan ekonomi baru.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now