Menu Close

Pemetaan 9 kota menegaskan Indonesia harus bangkit dari gagap digital

Pendidikan literasi digital harus dimulai dari tingkat keluarga. Shutterstock

Indonesia mencatat 132,7 juta pengguna internet, tetapi tidak semua warganet (netizen) mempunyai kedewasaan dalam menggunakan media digital. Lima puluh enam peneliti di sembilan kota di Indonesia memetakan upaya pendidikan literasi digital. Kami menemukan tak kurang dari 342 kegiatan yang dilakukan. Tetapi, jumlah ini masih terlalu terbatas jika dibandingkan dengan masalah gagap digital yang kita hadapi.

Menyebarnya hoaks dan ujaran kebencian, maraknya cyberbullying, penggunaan media sosial untuk kegiatan terorisme dan radikalisme, dan ketergantungan yang tinggi atau kecanduan pada media digital adalah beberapa contoh kegagapan digital masyarakat Indonesia.

Sekadar menggunakan media digital, semua juga bisa. Sayangnya, hanya sedikit yang mampu berpikir kritis dan menganalisis muatan pesan yang diperoleh melalui media digital. Lebih sedikit lagi yang punya kesadaran untuk memberdayakan dirinya maupun komunitasnya dalam menggunakan media digital.

Kolaborasi pemetaan di sembilan kota

Pemetaan kolaboratif diawali dengan pertemuan 10 akademisi komunikasi dari Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta pada bulan Januari 2017. Penelitian dilaksanakan bergotong-royong agar wilayah yang dipetakan bisa semakin luas dan lengkap. Kami mencatat aktivitas literasi digital yang telah dilakukan oleh masing-masing perguruan tinggi dan komunitas-komunitas pegiat literasi digital.

Hasilnya dapat menjawab sejumlah pertanyaan mendasar, seperti siapa sajakah pelaku kegiatan literasi digital di Indonesia, siapa saja target sasarannya, dan dengan pihak mana saja mereka bermitra. Pemetaan juga mencatat ragam kegiatan literasi digital yang penting untuk membantu perancangan program-program lanjutan literasi digital.

Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi koordinator penelitian. Sedangkan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menjadi tuan rumah konferensi nasional Literasi Digital. Dalam proses penelitian dan persiapan konferensi, muncul komunitas baru bernama Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi) pada bulan April 2017.

Japelidi beranggotakan 56 peneliti dari 26 perguruan tinggi di sembilan kota di Indonesia (Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Surakarta, Malang, Bandung, Banjarmasin, Bali, dan Jakarta). Gerakan penelitian Japelidi bersifat sukarela dan swadaya.

Temuan Japelidi

Japelidi berhasil memetakan 342 kegiatan literasi digital dalam kurun waktu 2010-2017 di sembilan kota. Angka ini tentu saja masih di bawah kegiatan literasi digital yang ada di Indonesia secara menyeluruh. Kendati demikian, sebagai data awal, cukup signifikan untuk mencermati gerakan literasi digital di Indonesia.


Baca juga: Model literasi yang bermanfaat untuk Indonesia


Kajian pemetaan ini menghasilkan empat temuan, yaitu pelaku, ragam kegiatan, target sasaran dan mitra kegiatan literasi digital di 9 kota di Indonesia. Pada temuan pertama, pelaku kegiatan literasi digital di sembilan kota didominasi oleh perguruan tinggi (56.14%). Selama beberapa tahun terakhir, perguruan tinggi adalah motor gerakan literasi digital, khususnya di bawah payung program pengabdian masyarakat di perguruan tinggi.

Kedua, ragam kegiatan. Sosialisasi atau ceramah menjadi favorit karena dianggap paling efektif untuk memberikan pemahaman mengenai literasi digital pada beragam kelompok sasaran (29.64%). Sedangkan kegiatan lain merentang mulai dari pelatihan, diskusi, kampanye, advokasi kurikulum, hingga pembentukan unit anti hoaks.

Ketiga, sasaran utama kegiatan. Remaja atau pelajar menjadi target favorit kegiatan literasi digital (29.55%). Kaum muda dianggap sebagai kelompok yang paling rentan terpengaruh efek negatif media digital sekaligus berpeluang menjadi agen literasi digital.

Keempat, mitra yang paling aktif adalah sekolah (32.07%), disusul oleh pemerintah dan komunitas.

Sukarela, insidental, sporadis

Berdasarkan empat temuan tadi, dapat disimpulkan bahwa gerakan literasi digital di Indonesia cenderung bersifat sukarela, insidental, dan sporadis.

Sayang sekali, belum dijumpai kemitraan sinergis yang berkesinambungan di antara pelaku gerakan. Berkait ragam kegiatan, Japelidi merekomendasikan pentingnya mengeksplorasi lebih banyak bentuk kegiatan. Selain memperbanyak ragam, metode penyampaian juga harus disesuaikan dengan kelompok sasaran. Misalnya, dengan permainan interaktif ular tangga sehingga belajar literasi digital terasa menyenangkan.

Target sasaran literasi digital pun perlu diperluas. Jaringan kemitraan dengan berbagai aktor, terutama dengan pemerintah, media, dan korporasi, perlu ditingkatkan agar tujuan bisa tercapai semaksimal mungkin. Selain itu, dibutuhkan lebih banyak pelaku literasi digital dari kalangan non perguruan tinggi, supaya menjangkau kelompok sasaran yang lebih luas.

Literasi: mulai dari keluarga

Data Japelidi menunjukkan bahwa keluarga belum tercatat menjadi mitra kegiatan literasi. Keterlibatan orang tua tercatat hanya 12.23%. Padahal orang tua sangat penting perannya, sebab dari orang tualah anak pertama kali mengenal media digital di usia balita.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka Japelidi merekomendasikan literasi digital dimulai dari level keluarga, lalu ke institusi pendidikan, dan masyarakat.

Pada level keluarga, orang tua diharapkan menjadi panutan dengan mendampingi dan melibatkan anak untuk merumuskan kesepakatan bersama dalam mengakses media digital.

Pada level lembaga pendidikan, kurikulum perlu diintegrasikan dengan visi kegiatan berbasis literasi digital. Misalnya untuk mata kuliah literasi digital di perguruan tinggi, mahasiswa dilibatkan dalam pembuatan beragam program literasi digital dengan beragam kelompok sasaran. Maka guru-dosen dan murid-mahasiswa dapat memahami konsep literasi digital seutuhnya, sehingga mampu menjadi agen bagi masyarakat di sekitarnya.

Pada level masyarakat, perlu ada kolaborasi dengan berbagai kelompok warga, baik secara swadaya atau bekerja sama dengan media, perguruan tinggi, atau korporasi. Salah satu contohnya adalah komunitas santri yang mengadakan workshop literasi digital dengan pemerintah dan akademisi di akhir tahun 2016.

Pada level negara, pemerintah diharapkan memelihara sistem informasi digital yang demokratis. Makna demokratis dalam konteks literasi digital ini adalah bagaimana pemerintah mampu merumuskan regulasi yang menghargai hak asasi manusia dalam berhubungan dengan teknologi komunikasi.

Selain itu, pemerintah sebaiknya bekerja sama dengan pelaku lainnya untuk mendorong gerakan literasi digital. Tujuannya agar kelompok sasaran, terutama kaum muda, dapat meningkatkan kapasitas literasi digital sekaligus mendorong demokrasi di Indonesia.

Saat artikel ini ditulis, jumlah anggota Japelidi semakin bertambah dan tidak hanya akademisi saja melainkan juga pegiat literasi digital dari berbagai komunitas. Japelidi juga menjadi salah satu pendukung dan mitra Gerakan Nasional Literasi Digital SiBerkreasi. Dalam gerakan ini, Japelidi berperan sebagai tim pendukung yang mempunyai jaringan sumber daya manusia di bidang literasi digital sekaligus sebagai pusat data penelitian literasi digital di Indonesia.

Sebagai penutup, pesan utama Japelidi sesungguhnya sangat jelas: Indonesia harus segera bangkit untuk melawan gagap digital. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,200 academics and researchers from 4,952 institutions.

Register now