Menu Close

Jangan hanya Papua, sudah saatnya pemerintah mencabut moratorium pemekaran daerah sepenuhnya

Mendagri Tito Karnavian (kiri) dan Menko Polhukam Mahfud MD dalam rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden.
Mendagri Tito Karnavian (kiri) dan Menko Polhukam Mahfud MD. Wahyu Putro A/Antara Foto

Pada 30 Juni 2022, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Undang-Undang Pemekaran Papua.

Kini, Papua memiliki tiga provinsi baru, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah. Indonesia pun resmi memiliki total 37 provinsi.

Pemerintah tentu beralasan bahwa pemekaran tersebut adalah untuk mempercepat pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Papua.

Tujuan tersebut jelas tidak jauh beda dengan apa yang diinginkan masyarakat di daerah lainnya, yang belakangan ini mendesak dilakukannya pemekaran daerah juga. Seruan ini muncul di Jawa Barat, Kalimantan Utara dan Aceh.

Sayangnya, tidak seperti Papua, daerah lain belum bisa mendapatkan keinginannya tersebut karena adanya moratorium (pemberhentian sementara) pemekaran daerah yang berlaku sejak 2014.

Asal usul moratorium pemekaran daerah

Sepanjang tahun 1999-2014, sudah ada 223 Daerah Otonomi Baru (DOB) yang mengalami pemekaran.

Kemudian, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda) di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pernah melaporkan secara umum hasil evaluasi Tahun 2009 bahwa sekitar 80 persen DOB gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Laporan tersebut menjadi landasan pemerintah untuk memberlakukan moratorium pemekaran daerah. Tujuan utamanya agar fokus menata pemerintahan daerah supaya fungsinya berjalan dengan lebih efektif dan efisien, dan meningkatkan kapasitas dan kualitas pelayanan publik.

Namun, pemerintah sendiri belum melakukan evaluasi terhadap moratorium ini, sehingga tidak jelas apa hasil dan dampaknya sejauh ini terhadap peningkatan sistem pelayanan publik di daerah.

Menurut laporan Kemendagri, pada tahun 2021 saja sudah ada 327 daerah yang mengajukan pemekaran. Jumlahnya pasti bertambah dalam beberapa tahun terakhir ini.

Alasannya cukup logis: pelayanan publik yang belum memenuhi ekspektasi, birokrasi yang panjang dan kompleks, serta lemahnya efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintahan daerah karena luasnya daerah administrasi pemerintahan. Belum lagi masalah pemerataan pembangunan di daerah yang juga menjadi persoalan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah agaknya perlu mengevaluasi ulang moratorium tersebut guna mengakomodasi desakan masyarakat untuk pemekaran daerah.

Papua: anak emas pemekaran daerah

Moratorium pemekaran daerah sangat tidak selaras dengan keputusan pemerintah dan DPR untuk melakukan pemekaran daerah di Papua.

Inilah mengapa banyak masyarakat menilai pemekaran Provinsi Papua lebih didominasi oleh kepentingan politik ketimbang tujuan kesejahteraan. Ini nampaknya juga upaya pemerintah untuk mengendalikan konflik yang semakin meningkat di daerah tersebut.

Memang, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah mengatur tentang pemekaran daerah di provinsi tersebut. Tetapi bukan berarti pemerintah bisa serta merta “mengabaikan” aspirasi provinsi lain yang sudah mengantre untuk meminta pemekaran daerahnya masing-masing. Jangan sampai pemerintah daerah lainnya merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat.

Pentingnya demokrasi lokal untuk penataan daerah

Sebenarnya, jika pemekaran daerah dapat dilaksanakan dengan baik, maka peluang untuk mewujudkan tujuan otonomi juga akan terlaksana.

Yang jadi masalah sekarang adalah ketika pemekaran dilarang tapi penataan daerah otonomi juga tidak dijalankan oleh pemerintah. Padahal bisa saja pemerintah, misalnya, menggabungkan kembali daerah-daerah yang gagal mewujudkan tujuan pemekaran, atau melakukan pembinaan khusus terhadap daerah yang gagal melaksanakan tujuan otonomi daerah tersebut.

Dalam memperbaiki iklim otonomi daerah, pemerintah pusat harus mencoba lebih memahami dan membina prinsip demokrasi lokal yang bertumpu pada tiga keadaan:

Pertama, prinsip desentralisasi harus diterapkan secara konsisten guna mendukung kemandirian daerah.

UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sudah memberi kewenangan yang besar kepada daerah untuk melaksanakan fungsinya. Namun, setelah diganti menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pemerintah daerah menjadi semakin terbatas karena UU tersebut justru membalikkan arah praktik desentralisasi menuju “resentralisasi”. Sifat sentralistik mencerminkan karakter pemerintahan selama masa Orde Baru.

Kedua, demokrasi lokal juga dapat dilihat dari bagaimana pemilihan kepala daerah (pilkada) dilaksanakan.

Pilkada adalah wujud otonomi politik masyarakat daerah dalam menentukan siapa pemimpin yang memerintah di daerah. Jika sebelymnya kepala daerah hanya dipilih oleh sedikit elite di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), maka pilkada membuka ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ini dimulai dengan memilih siapa kepala daerah mereka.

Pilkada juga menjadi bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat untuk mengawasi tidak hanya prosesnya, tapi juga praktik pemerintahan yang dihasilkan oleh pilkada tersebut. Dengan cara ini, masyarakat merasa menjadi bagian dari pemerintahan yang mereka bentuk bersama.

Harapannya, pilkada yang lebih sehat dan bebas korupsi juga dapat mewujudkan pemerintahan daerah otonomi baru yang lebih berkualitas setelah pemekaran.

Ketiga, jangan ada kebijakan pemekaran yang berbeda antar daerah yang ada di Indonesia, apalagi kalau pertimbangan pemekaran yang dibuat oleh pemerintah dan DPR hanya karena alasan politik semata.

Kondisi demikian bisa menjadi preseden buruk bagi daerah yang tidak puas dengan kebijakan pemekaran yang dibuat pemerintah pusat. Nantinya, ini dapat menimbulkan gejolak di daerah-daerah lain yang menginginkan pemekaran.

Apakah sudah saatnya mencabut moratorium?

Pemekaran daerah adalah bagian dari hak masyarakat daerah untuk mendapatkan pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan yang berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Pemekaran daerah juga merupakan upaya mewujudkan otonomi daerah yang berkualitas, karena semakin banyak aspirasi masyarakat di daerah yang bisa diakomodasi. Dampak lebih jauhnya juga adalah dapat memperkuat keutuhan republik.

Pemerintah, bersama DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebaiknya meninjau kembali kebijakan moratorium ini – bahkan mencabutnya. Hingga saat ini, tidak jelas apa yang dihasilkan dari kebijakan tersebut. Pemerintah juga tidak punya penjelasan rinci kepada masyarakat terkait rencana desentralisasi ke depannya.

Jika Papua bisa mendapatkan kesempatan pemekaran, maka hal yang sama sepatutnya berlaku untuk daerah lain. Jangan ada kebijakan yang berbeda di antara daerah-daerah agar tidak menambah ketidakpuasan kepada pemerintah.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now