Menu Close
businesspeople working graph with various natural resources icon desk.

Kampus beramai-ramai menggenjot riset dan pendanaannya di kawasan Wallacea

Artikel ini merupakan bagian dari serangkaian analisis untuk meramaikan perhelatan Wallacea Science Symposium di Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 13 - 15 Agustus 2023.

Wallacea adalah kawasan yang penuh dengan keajaiban dan keunikan geografi maupun kekayaan hayati.

Kawasan ini membentang dari pulau Lombok dan Sulawesi di sebelah baratnya sampai kepulauan Maluku di timur. Di utara, Wallacea membentang dari Kepulauan Talaud di Sulawesi Utara hingga Kabupaten Rote Ndao di selatan.

Meski begitu, kawasan ini mengalami banyak perubahan sejak dikunjungi oleh sang naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, lebih dari 150 tahun silam. Kekayaan Wallacea juga menghadapi banyak tekanan karena eksploitasi akibat perkebunan sawit, pertanian, pertambangan, budi daya perikanan, infrastruktur, maupun industri pariwisata massal.


Read more: 200 tahun Alfred Wallace: laboratorium hidup evolusi Wallacea semakin disesaki pembangunan


Menyadari tekanan ini, para peneliti berkumpul dalam acara Wallacea Science Symposium di Universitas Hasanuddin, Makassar untuk meramu berbagai langkah untuk merawat kelangsungan Wallacea di masa depan. Salah satu langkah yang dibahas bersama adalah mengenjot penelitian secara gotong royong di tingkat lokal, nasional, ataupun global. Pertemuan para ilmuwan juga bertujuan untuk menggalang pendanaan untuk menyuburkan ekosistem riset di kawasan Wallacea.

“Kami menginginkan pertemuan ini bukan menciptakan resolusi tapi berdampak konkret bagi ekosistem Wallacea ke depannya,” ujar Jatna Supriatna, Steering Committee simposium tersebut pada 14 Agustus 2023.

Wallacea Research Institute

Rektor Universitas Hasanuddin, Jamaluddin Jompa, mengemukakan niat lembaganya untuk membentuk konsorsium universitas di kawasan Wallacea yang bernama Wallacea Research Institute. Jamaluddin mengklaim sudah menyediakan tempat khusus di kampusnya untuk lembaga ini.

Menurut Jamaluddin, Wallacea Research Institute penting dibentuk untuk memperkuat kerja sama universitas di kawasan Wallacea. Selama ini, kegiatan riset sudah dilakukan tapi masih terpisah-pisah sehingga beberapa di antaranya justru mengulang-ulang temuan yang sudah ada.

Inisiatif ini juga menjadi ajang berbagi pengetahuan dan informasi sehingga setiap lembaga pendidikan tinggi dan penelitian memiliki pemahaman yang sama tentang dinamika ekosistem Wallacea. Apalagi, masih banyak hal-hal yang perlu diketahui secara ilmiah di kawasan ini.

Jamaluddin mengungkapkan, Wallacea Research Institute juga akan terbuka jika peneliti dari universitas lainnya di dalam dan luar negeri ingin bergabung.

Kawasan karst Maros-Pangkep di Sulawesi Selatan yang baru mengantongi status Cagar Biosfer dari UNESCO. (Robby Irfany Maqoma/TCID), Author provided (no reuse)

Universitas Hasanuddin, kata dia, sudah meluncurkan salah satu inisiatif ini melalui pembentukan Pusat Kolaborasi Mikroba Karst yang bermitra dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Inisiatif ini lahir karena kawasan karst (kawasan batu kapur berpori atau batu gamping) di Maros-Pangkep merupakan yang terluas kedua di dunia. Banyak hal seputar mikroba di tempat ini yang dapat diteliti ataupun dimanfaatkan.

“Kita undang seluruh calon partner dari luar Wallacea dan luar negeri, serta mitra lainnya untuk menjaga keberlanjutan sains di kawasan Wallacea dan negara lain yang melihat kawasan ini secara saintifik menarik tapi juga berpeluang menemukan hal-hal baru. Di kawasan karst ini contohnya,” ujar dia.

Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia

Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) adalah lembaga pengelola dana penelitian yang di bawah Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Lembaga ini sudah mengelola sebesar Rp73,2 miliar.

Menurut Direktur Eksekutif DIPI, Jatna Supriatna, pendanaan dan program lainnya yang diadakan DIPI berfokus pada dokumen Sains45. Ini adalah dokumen agenda ilmu pengetahuan Indonesia lintas disiplin ilmu yang disusun Akademi Ilmuwan Muda Indonesia dan AIPI sebagai target jangka panjang hingga 2045 mendatang.


Read more: Indonesia kekurangan ilmuwan untuk menyibak misteri laut dalam: bagaimana cara mengatasinya?


“Fokus kami adalah basic and fundamental research dengan dokumen Sains45 sebagai referensi dan fokus lainnya yang selaras dengan tujuan pemerintah,” kata Jatna. Basic and fundamental research adalah penelitian dasar untuk menjelaskan suatu proses atau peristiwa.

Dia juga mengundang para ilmuwan aktif dalam penelitian untuk mengajukan kegiatannya untuk didanai oleh DIPI, terutama di kawasan Wallacea.

“DIPI mengundang kalian semua dalam perjalanan penemuan-penemuan di regional Wallacea. Bersama-sama kita bisa menyingkap rahasia ekosistem yang unik dan kaya ini, bekerja sama untuk pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan,” tutur Jatna.

Jurnal Forest and Society

Jurnal Forest and Society adalah lembaga penerbitan ilmiah di bawah Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Editor-in-Chief jurnal ini, Alif Sahide, mengemukakan selain penerbitan, Forest and Society juga berfokus pada peningkatan kapasitas dan jaringan para ilmuwan di berbagai wilayah Asia Tenggara dalam hal hutan dan masyarakat di dalamnya.

“Fokus pada asia tenggara, karena selama ini walaupun ekosistem yang sangat penting tapi masih jarang dibahas,” ujar Alif.

Pemimpin Redaksi Jurnal Forest and Society, Alif Sahide, memaparkan rencana lembaganya menerbitkan edisi khusus Wallacea pada 2024. (Robby Irfany Maqoma/TCID)

Khusus Wallacea, dia mengatakan lembaganya sudah menerbitkan edisi khusus yang berfokus pada konservasi berbasis komunitas di Wallacea.

Inisiatif ini akan diperluas. Forest and Society berniat membuat edisi khusus Wallacea pada 2024. “Kami mengundang para akademikus untuk menerbitkan karyanya (dalam edisi khusus Wallacea) di Forest and Society,” tutur Alif.

Kerja sama sains Indonesia-luar negeri

Selain institusi dalam negeri, lembaga kolaborasi sains luar negeri juga mengungkapkan minatnya untuk meneliti di kawasan Wallacea.

Misalnya, Australia-Indonesia Center, lembaga penelitian bersama kedua negara ini akan memperluas lokasi penelitiannya hingga Luwu Timur (Sulawesi Selatan), Morowali (Sulawesi Tengah), dan Kolaka Utara (Sulawesi Tenggara). Ketiga daerah ini, sebagai pemilik cadangan terbesar, merupakan titik panas penambangan nikel Indonesia yang ada di Sulawesi.

Fokus lainnya adalah sektor transportasi pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan. Menurut Program Officer Partnership for Australia-Indonesia Research (PAIR) Fadhilah Trya Wulandari, Likupang Timur di Sulawesi Utara menjadi lokasi yang disasar karena tempat ini merupakan salah satu dari sepuluh “Bali baru” alias Kawasan Strategis Pariwisata Nasional.

Pabrik nikel PT Vale di Luwu Timur, Sulawesi Tenggara. (Antara)

“Kami memikirkan bagaimana Bali baru ini pengelolaannya bisa lebih berkelanjutan,” kata Fadhilah.

Institusi lainnya adalah United Kingdom-Indonesia Consortium for Interdisciplinary Science (UKICIS). Menurut Bagus Muljadi, Koordinator UKICIS, Indonesia memiliki peluang untuk memimpin diskusi tentang pembangunan berkelanjutan, misalnya bagaimana mengelola pertumbuhan ekonomi yang tidak mengorbankan lingkungan.

Saat ini UKICIS terdiri dari beberapa universitas di Inggris dan Indonesia. Beberapa di antaranya yang baru bergabung, yaitu Universitas Hasanuddin, Institut Teknologi Sepuluh November, dan Universitas Airlangga, berpotensi untuk mengembangkan penelitian bersama di Indonesia Timur.

“Indonesia harus diketahui sebagai global laboratory. Konsorsium UKICIS hadir untuk menciptakan ekosistem pertukaran pengetahuan, tujuannya agar menggenjot publikasi jurnal–tapi bukan hanya itu, tapi bagaimana membangun ekosistem riset yang berkelanjutan,” ungkap Bagus.

Fadhilah Trya Wulandari dari Partnership for Australia-Indonesia Research (PAIR) turut diwawancara dalam penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now