Menu Close

Kasus varian Omicron BA.4 dan BA.5 makin meningkat: mengapa selalu berulang naik-turun kasus COVID?

Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan baru mulai 17 Juli 2022 bahwa penumpang pesawat domestik wajib vaksinasi tahap ke tiga atau booster COVID-19. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.

Tren penurunan kasus COVID-19 varian Omicron yang menerjang Indonesia sejak pertengahan Desember 2021 ternyata tak berlangsung lama. Kini, subvarian dari Omicron, BA.4 dan BA.5, menjadi ancaman baru di negeri ini.

Kurang dari dua bulan, kasus COVID-19 melonjak jadi 10 kali lipat dan cenderung terus meningkat. Kebijakan “boleh tidak pakai masker di luar ruang” yang mulai pada Mei lalu kini berubah: penduduk diminta lagi memakai masker untuk menghadang penularan penularan COVID-19.

Mengapa naik-turun kasus COVID-19 selalu berulang?

Salah satu narasi yang sering muncul – walau hanya ditunjang dengan data ilmiah seadanya – adalah kemunculan varian-varian baru yang selalu dikaitkan dengan laju penularan, tingkat keparahan, dan efektivitas sistem imun baik karena infeksi alamiah atau vaksinasi.

Padahal, teori klasik tentang penularan penyakit infeksi selalu menggunakan model segitiga epidemiologi: interaksi antara kuman, inang, dan lingkungan. Hampir seluruh analisis data epidemiologi, studi laboratorium, serta pengalaman klinis menghadapi penyakit infeksi selalu mengkaji dari tiga sudut pandang ini.

Pemodelan penyakit infeksi: tak ada faktor tunggal

Tak ada faktor tunggal dan dominan sebagai penyebab kurva pandemi melonjak lagi. Artinya, interaksi tiga variabel itulah yang menyebabkan dinamika naik atau turunnya kasus COVID-19.

Di tingkat laboratorium, tiga variabel di atas dikontrol dengan ketat untuk menghasilkan data penelitian yang valid. Eksperimen untuk menumbuhkan SARS-CoV-2 pada cawan petri – wadah untuk membiakkan sel – memerlukan sel inang dan media pertumbuhan yang spesifik.

Sel inang utamanya adalah sel manusia dengan kriteria tertentu seperti sel saluran pernafasan atau sel lainnya yang dimodifikasi sehingga memiliki reseptor ACE-2, protein yang menjadi jalan masuk virus COVID-19.

Kriteria lingkungan terwakili oleh media pertumbuhan yang juga spesifik. Sebagai contoh, media pertumbuhan untuk sel saluran pernafasan memerlukan tambahan asam retinoat dan hormon-hormon pertumbuhan. Sedangkan untuk sel hepar (hati) memerlukan asupan glukosa yang lebih tinggi atau tambahan hormon insulin.

Tanpa adanya reseptor ACE-2 atau penggunaan media pertumbuhan suboptimal, apapun varian SARS-CoV-2 yang akan diujicobakan tidak akan mampu menginfeksi sel inang dengan sempurna.

Kemudian pada tingkat klinis atau pengamatan pada pasien secara langsung, SARS-CoV-2 dan variannya tetap sebagai kuman penyebab, kondisi biologis tubuh pasien bertindak sebagai inang, dan determinan sosioekonomis sebagai faktor lingkungan.

Dalam spektrum klinis, kecenderungan seseorang mengalami COVID-19 gejala ringan ataupun berat bisa jadi ditentukan oleh jenis varian yang menginfeksinya. Masih perlu penelitian lanjutan untuk menyimpulkan hubungan antara varian dan tingkat keparahan pada pasien COVID-19.

Pasien dengan status imunitas menurun seperti pada pasien dengan kanker, HIV/AIDS, juga orang tua; atau pasien dengan status imun reaktif semisal obesitas dan kencing manis rentan mengalami lebih sakit akibat penyakit infeksi.

Data-data epidemiologis juga mencatat pasien dengan berbagai penyakit penyerta sebelumnya tersebut memiliki persentase yang tinggi untuk memerlukan ruang perawatan intensif, bahkan berujung pada kematian akibat pandemi kali ini.

Sedangkan determinan sosial jelas berimplikasi pada laju penularan dan tingkat kematian. Laju penularan akan meningkat seiring dengan mobilitas penduduk yang kembali normal. Apalagi jika penerapan protokol kesehatan seperti penggunaan masker serta aktivitas telusur kontak tidak diimplementasikan secara sungguh-sungguh.

Penularan masif di masyarakat cenderung terjadi saat perubahan perilaku masyarakat atau momen-momen tertentu semisal aktivitas sosial budaya dan ritual keagamaan. Sebagai contoh, varian Alfa merebak ketika musim dingin tahun 2020, saat penduduk di dunia belahan Utara menghabiskan banyak waktunya bersama-sama di ruangan tertutup. Sedangkan, penularan masif COVID-19 di India – salah satunya adalah akibat festival keagaamaan — menghasilkan varian Delta.

Mitigasi yang dilakukan pemerintah serta didukung dengan kohesi sosial yang tinggi, baik vertikal (masyarakat-pemerintah) maupun horizontal (antar masyarakat), adalah salah satu kunci sukses negara-negara lain seperti Selandia Baru dan Jepang dalam menangani pandemi COVID-19.

Berpikir komprehensif

Narasi tingginya laju penularan akibat varian Omicron dan turunannya bisa kita bandingkan dengan penyakit lain. Kumpulan mutasi yang terdapat pada Omicron diperkirakan mampu meningkatkan replikasi virus pada saluran napas atas (dari hidung hingga tenggorokan).

Mutasi-mutasi ini juga mengubah susunan protein spike sehingga antibodi yang terbentuk pasca infeksi alamiah dan vaksinasi tidak mampu mengenalinya lagi.

Data Kompas, yang mengutip kajian epidemiologis dari berbagai sumber, menunjukan bahwa laju infeksi gelombang Omicron lebih cepat jika dibanding Delta. Namun, data tersebut tidak spesifik menyebutkan bahwa laju penularan yang tinggi semata-mata diakibatkan karena mutasi kuman.

Masih jelas teringat kasak-kusuk tentang klaim penularan Delta yang dikatakan mirip dengan penyakit cacar (satu pasien cacar mampu menularkan enam hingga sepuluh orang lainnya).

Sedangkan Omicron, khususnya BA.4/BA.5 dikatakan memiliki laju infeksi yang mirip dengan penyakit yang paling menular, yakni campak (rata-rata 15 orang dapat tertular oleh satu pasien campak).

Padahal, konsensus para ahli pada awal pandemi COVID-19 menyimpulkan bahwa angka penularan virus orisinal adalah dua hingga enam kasus baru yang berasal dari satu pasien positif.

Berdasarkan dua buku babon virologi, Fields Virology dan Principles of Virology, sangat jarang (bahkan mungkin tidak ada) karakteristik virus yang berasal dari satu “spesies” memiliki rentang angka penularan yang sedemikian lebar, antara 2 hingga 15.

Bisa jadi SARS-CoV-2 adalah virus pertama dengan karakteristik demikian. Namun, tanpa adanya bukti-bukti ilmiah yang cukup, skeptisisme harus terus dirawat.

Narasi lain tentang Omicron serta BA.4/BA.5 dikatakan memiliki tingkat keparahan minimal karena kurang optimal dalam menginfeksi sel paru-paru dan cenderung terkonsentrasi di saluran nafas atas. Tetapi, menurut saya, rendahnya angka kematian lebih karena masyarakat telah memiliki sistem imun yang dimotori oleh sel B dan Sel T setelah vaksinasi.

Sel B dan Sel T memiliki presisi yang tinggi terhadap bagian-bagian SARS-CoV-2 secara utuh, apapun variannya. Sehingga, efektivitas vaksinasi untuk mengurangi angka kematian COVID-19 tidak berkurang secara drastis meski muncul varian-varian baru, termasuk Omicron dan BA.4/BA.5.

Efektivitas mitigasi

Mereduksi segala fenomena yang terjadi semata-mata karena kemampuan varian baru dan rincian mutasi-mutasi yang terjadi, membuat fokus terhadap aspek inang dan lingkungan dipandang sebelah mata.

Dampaknya, mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat cenderung dilaksanakan setengah hati. Tidak terlihat konsistensi dalam pelaksanaan protokol kesehatan, seminimal-minimalnya penggunaan masker.

Fokus vaksinasi dan implementasi pencegahan infeksi pada pasien dengan komorbid atau populasi lansia jarang menjadi prioritas. Upaya untuk membangun solidaritas sosial – poin yang sangat krusial pada situasi krisis — sayangnya dilakukan secara sporadis berdasarkan inisiatif orang per orang.

Karena itu, mengembalikan pemodelan penyakit infeksi berdasarkan segitiga epidemologi yang berpusat pada tiga aspek yakni kuman, inang, dan lingkungan dapat memperkuat strategi mitigasi penularan COVID-19 dari varian baru.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now