Menu Close

Kebakaran hutan Amazon itu berbahaya, tapi tidak mengurangi cadangan oksigen

Kebakaran hutan terjadi di area dekat Jaci Parana, negara bagian Rondonia, Brasil, tanggal 24 Agustus 2019. AP Photo/Eraldo Peres

Kebakaran hutan yang terjadi baru-baru ini di hutan hujan Amazon menyita perhatian dunia.

Dalam kampanye pemilihan, Presiden Brasil Jair Bolsonaro, yang baru menjabat di tahun 2019, menyatakan akan mengurangi perlindungan lingkungan dan meningkatkan pertanian di hutan hujan Amazon. Dan, ia telah memenuhi janji tersebut.

Peningkatan pembabatan hutan Amazon, yang sebenarnya sudah berkurang lebih dari 80% sejak tahun 2004, tentu saja sangat mengkhawatirkan.

Hutan tropis merupakan rumah bagi berbagai macam tumbuhan dan hewan. Ia juga tempat berlindung yang penting bagi masyarakat adat dan mampu menyimpan banyak karbon dalam pepohonan dan materi organik lainnya yang sangat berdampak pada krisis iklim.

Beberapa media menyatakan bahwa kebakaran yang terjadi di Amazon mengancam kondisi oksigen yang kita hirup.

Presiden Prancis Emmanuel Macron menulis cuitan pada 22 Agustus bahwa “Hutan hujan Amazon -– paru-paru dunia yang memproduksi 20% oksigen bagi planet Bumi -– sedang terbakar.”

Klaim bahwa hutan hujan Amazon menghasilkan 20% oksigen bagi planet Bumi didasarkan pada kesalahpahaman.

Pada kenyataannya, hampir semua oksigen berasal dari lautan dan tersedia hingga jutaan tahun. Meski ada banyak alasan untuk mengkhawatirkan kebakaran di Amazon tahun ini, namun menipisnya ketersediaan oksigen di bumi bukan salah satunya.

Oksigen yang berasal dari tumbuhan

Sebagai ilmuwan ahli atmosfer, tugas saya banyak berfokus pada pertukaran berbagai macam gas antara permukaan bumi dan atmosfer.

Banyak elemen, termasuk oksigen, yang secara terus menerus berputar di antara ekosistem berbasis daratan, lautan, dan atmosfer yang dapat diukur dan dikuantifikasi.

Hampir seluruh oksigen bebas di udara dihasilkan oleh tumbuhan melalui fotosintesis. Sepertiga fotosintesis terjadi di hutan tropis – yang terbesar berada di basin Amazon.

Namun, sebenarnya keseluruhan oksigen yang diproduksi oleh tumbuhan melalui fotosintesis setiap tahunnya dikonsumsi oleh makhluk hidup dan api.

Pepohonan secara terus menerus mengugurkan daun, ranting, akar,dan bagian lainnya, yang menjadi makanan organisme lain, seperti serangga dan mikroba. Mikroba mengonsumsi oksigen dalam proses tersebut.

Pepohonan dan tumbuhan yang ada di hutan memproduksi oksigen, sementara mikroba di hutan mengonsumsi oksigen. Hasilnya, produksi bersih oksigen dari hutan dan semua tumbuhan di daratan mendekati angka nol.

Ada empat reservoir oksigen utama di Bumi: biosfer terestrial (hijau), biosfer laut (biru), litosfer (kerak bumi, coklat), dan atmosfer (abu-abu). Panah berwarna menunjukkan pergerakan yang terjadi antar reservoir. Penumpukan bahan organik menyebabkan kenaikan bersih dari oksigen di atmosfer, dan reaksi dengan mineral dalam batuan menyebabkan penurunan bersih dari oksigen di atmosfer. Pengxiao Xu/Wikimedia, CC BY-SA

Produksi oksigen dari lautan

Agar oksigen dapat terakumulasi di udara, beberapa bahan organik yang dihasilkan tanaman melalui fotosintesis harus dihilangkan dari peredaran sebelum dapat dikonsumsi.

Biasanya ini terjadi ketika bahan tersebut terkubur di tempat-tempat tanpa oksigen, yang paling umum yaitu di lumpur laut dalam, di bawah perairan yang sudah kehabisan oksigen.

Hal ini terjadi di berbagai area di lautan tempat ganggang berkembang subur karena kadar nutrien tinggi. Ganggang mati dan bahan-bahan lain tenggelam ke dalam perairan yang gelap dan dimakan oleh mikroba.

Seperti yang terjadi di darat, mikroba di lautan juga mengonsumsi oksigen, menyerap dari air di sekitar mereka.

Di bawah kedalaman tempat mikroba memisahkan air dengan oksigen, sisa dari material organik jatuh ke dasar lautan dan terkubur di sana. Oksigen yang dihasilkan ganggang di permukaan tetap berada di udara karena tidak dikonsumsi oleh pengurai.

Fitoplankton di laut menghasilkan setengah dari oksigen yang diproduksi di Bumi.

Material tumbuhan yang terkubur di kedalaman lautan merupakan sumber minyak dan gas. Sejumlah kecil materi tumbuhan yang terkubur dalam kondisi bebas-oksigen di daratan, sebagian besar berada di rawa gambut di mana permukaan air mencegah penguraian mikroba. Materi ini merupakan sumber batubara.

Hanya sebagian kecil -– mungkin 0,0001% – dari fotosintesis global yang dialihkan dengan penumpukan seperti ini, yang menambah oksigen di atmosfer.

Tetapi selama jutaan tahun, sisa oksigen yang ditinggalkan oleh ketidakseimbangan kecil antara pertumbuhan dan dekomposisi ini telah terakumulasi untuk membentuk cadangan oksigen yang dapat dihirup bagi semua kehidupan hewan.

Oksigen ini mencakup sekitar 21% dari volume atmosfer selama jutaan tahun.

Sebagian dari oksigen ini kembali ke permukaan planet melalui reaksi kimia dengan metal, sulfur, dan material lainnya yang terdapat di permukaan Bumi.

Sebagai contoh, ketika besi terpapar ke udara saat bersentuhan dengan air, ia akan bereaksi dengan oksigen di udara membentuk besi oksida, atau senyawa yang lebih dikenal sebagai karat. Proses yang disebut oksidasi ini membantu mengatur kadar oksigen di atmosfer.

Masih bisa bernapas

Meskipun fotosintesis tumbuhan bertanggung jawab pada oksigen yang kita hirup, hanya sebagian kecil dari pertumbuhan tanaman yang benar-benar berkontribusi pada penyimpanan oksigen di udara.

Bahkan, jika semua bahan organik di Bumi dibakar sekaligus, hanya kurang dari 1% oksigen dunia yang hilang.

Singkatnya, kebakaran hutan Amazon di Brasil tidak serta merta mengancam oksigen di atmosfer.

Peningkatan kebakaran hutan memang menghasilkan perubahan oksigen tapi sulit diukur.

Ada cukup oksigen di udara untuk bertahan selama jutaan tahun, dan jumlahnya lebih ditentukan oleh geologi alih-alih penggunaan lahan.

Namun, fakta bahwa peningkatan deforestasi ini mengancam kekayaan hayati dan lanskap kaya karbon di Bumi sudah cukup menjadi alasan untuk menentang pembabatan hutan.

Fahri Nur Muharom menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now