Sebagai simbol sekuler yang tidak memiliki dasar dalam Alkitab, pohon Natal merupakan penemuan modern. Ada banyak pohon di dalam Alkitab, mulai dari Pohon Pengetahuan dan Pohon Kehidupan di Kitab Kejadian hingga referensi ke Salib Kristus sebagai “pohon” dalam Kisah Para Rasul. Namun, pohon Natal tidak termasuk di antaranya.
Sama halnya dengan sumber pagan kuno. Meskipun mengaitkan pohon Natal dan dewa dan festival pagan, seperti dewa Mesir Ra dan festival Romawi Saturnalia, mungkin menarik perhatian, ini sama sekali tidak memiliki hubungan dengan pohon Natal.
Hal yang sama juga berlaku untuk legenda Santo Boniface dan umat Jerman, yang hanya merupakan sebuah legenda. Hampir semua agama, kuno dan modern, telah menggunakan pohon dalam ritualnya, tetapi tidak ada hubungannya dengan pohon Natal.
Bahkan ketika kita memasuki abad ke-16, pohon Natal baru akan dikenal pada 350 tahun mendatang.
Kisah Martin Luther, yang secara populer dikaitkan dengan asal-usul pohon Natal, tidak didukung oleh ilmu pengetahuan. Meskipun terdengar penyayang, Luther tidak terkesima oleh keindahan pohon yang tertutup salju saat merenungkan bayi Kristus.
Faktanya, pohon Natal merupakan tradisi yang relatif baru. Pohon ini berasal dari tradisi lokal kecil pada abad ke-17 di suatu tempat: ibu kota Alsatian, Strasbourg, yang saat ini merupakan wilayah Prancis.
Read more: Christmas trees can stay fresh for weeks – a well-timed cut and consistent watering are key
Tradisi Jerman
Penduduk Jerman di Strasbourg menjadikan pohon sebagai bagian dari tradisi penghakiman pada hari Natal. Anak-anak akan diadili oleh orang tua mereka. Jika bagus, mereka akan menemukan permen di bawah pohon. Jika buruk, mereka tidak akan mendapatkan permen– petunjuk tentang apa yang akan terjadi pada Hari Penghakiman.
Ritual tersebut menyebar ke bagian Jerman lain pada tahun 1770-an. Novelis romantis Jerman, Goethe, menawarkan kisah pohon Natal pertama untuk menjangkau khalayak luas pada novel Sorrows of Young Werther (1774). Akan tetapi, karya tersebut tersebar secara luas di Jerman sampai tahun 1830-an, setelah pohon Natal mulai populer di Amerika.
Tradisi tersebut tersebar ke Inggris pada tahun 1830-an setelah diperkenalkan oleh pedagang Jerman di Manchester. Ini terjadi pada waktu yang hampir bersamaan dengan pengadilan George III dan William IV, yang memiliki keturunan Jerman dan memperkenalkan tradisi ini kepada aristokrasi Inggris.
Ratu Victoria dan Pangeran Albert mempopulerkan tradisi ini di Inggris, tepatnya ketika Albert mendirikan pohon Natal di Windsor pada tahun 1840.
Adegan itu diabadikan di koran The Illustrated London News pada tahun 1848, ketika sebuah ukiran yang memperlihatkan Victoria, Albert, dan anak-anak mereka mengelilingi pohon lilin dengan ornamen kaca dicetak.
Menghindari kelebihan
Pohon Natal dengan hadiah tersembunyi di bawah dahannya berasal dari Amerika. Ini pertama kali diperkenalkan di Pennsylvania, Amerika Serikat pada awal tahun 1812.
Pohon Natal kemudian diadopsi ke dalam budaya Amerika sebagai upaya untuk menghilangkan pesta pora yang berlebihan pada musim ini.
Sebelum pertengahan abad ke-19, Natal dirayakan sebagai karnaval, di mana orang yang bersuka ria – biasanya kelas pekerja dan miskin - akan berparade keliling kota, mengetuk pintu orang kaya, dan menuntut untuk berpesta atau diberi minuman. Praktik ini, “wassailing,” berkembang hingga melibatkan kemabukan, vandalisme, dan tindakan kotor.
Untuk mengurangi kegaduhan di musim Natal ini, pohon Natal dipasang dalam ruangan yang ramah anak di mana keluarga kelas menengah berkumpul.
Anak-anak tidak lagi diizinkan keluar untuk bersenang-senang di musim ini. Hal-hal di luar akan dibawa ke dalam rumah: sebatang pohon ditebang dan dibawa ke dalam ruangan, sehingga Natal dapat berlangsung dengan aman dan nyaman di rumah.
Pemasaran cerdas
Diadopsi untuk mengurangi ekses pada musim Natal, pedagang dan produsen Amerika mempopulerkan pohon Natal. Hadiah baru ditempatkan di bawah pohon saat produsen yang cerdas mengenali potensi perayaan baru dalam ruangan.
Kesenangan yang berlebihan pada musim Natal di masa lalu – minum alkohol, berpesta, dan seks – muncul kembali lewat cara baru dari kelas menengah dalam bentuk pemberian hadiah.
Hadiah Natal yang dibungkus kado merupakan penemuan Amerika tahun 1840-an yang menggemparkan dunia. Bungkus kado mulai diletakkan di bawah pohon oleh para orang tua sebagai tanggapan atas strategi pemasaran penerbit buku.
Keluarga di Amerika belajar tentang tradisi baru bukan dari imigran Jerman, tetapi dari buku-buku ini: buku-buku yang menggambarkan pohon Natal sebagai sarana untuk membuat anak-anak tetap bahagia di dalam ruangan dengan apa yang pada dasarnya merupakan suap. Apa cara yang lebih baik untuk meyakinkan anak-anak untuk tetap berada di dalam rumah, jauh dari pesta pora dan keluar dari masalah, daripada meninggalkan hadiah di bawah pohon?
Penjual buku menerbitkan kumpulan cerita pendek dan puisi, seperti Kriss Kringle’s Christmas Tree (1845), di mana anak-anak menerima hadiah buku, pedang mainan, drum, atau boneka.
Kejeniusan penerbit buku adalah dengan menghadirkan skema baru, yaitu membeli hadiah untuk anak-anak sebagai “tradisi rakyat” lama. Orang tua dituntun untuk percaya bahwa menempatkan hadiah di bawah pohon Natal adalah ritual kuno orang Majus dalam Alkitab, dengan hadiah berbentuk emas, kemenyan, dan mur.
Terlepas dari namanya, pohon Natal modern memiliki sedikit hubungan dengan masa lalu agama Kristen seperti yang dibayangkan banyak orang.
Sejak tahun 1830-an ketika membawa pohon ke dalam ruangan dan menghiasinya dengan lampu, ornamen, malaikat, dan bintang menjadi ritual kelas menengah yang meluas, pohon Natal telah menjadi simbol musim Natal yang sangat sekuler dengan kesuksesan yang tetap terikat pada kekuatan ekonomi konsumerisme.
Read more: The sordid underbelly of Christmas past
Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.