Menu Close

Klad virus flu burung di Kamboja begitu cepat terindetifikasi, kenapa bisa begitu?

Hasil analisis mikroskop elektron transmisi (TEM) berwarna dari partikel virus influenza A, berwarna merah dan emas. Flickr.com/NIAID

Seorang gadis kecil berusia 11 tahun di Provinsi Khett Prey Veng, Kamboja, pada awal tahun ini meninggal akibat terinfeksi virus flu burung subtipe H5N1, yang diumumkan pada 23 Februari 2023 lalu.

Sehari berikutnya, laporan kedua menyatakan sebuah keluarga yang diketahui memiliki kontak erat dengan kasus gadis kecil itu juga terinfeksi virus tersebut.

Kasus di atas adalah dua kasus yang terjadi di Kamboja sejak 2014. Jika dilihat kembali ke belakang, infeksi virus flu burung tercatat sudah ada di Kamboja sejak 2003. Virus tersebut menginfeksi unggas liar dan penularan dari unggas ke manusia secara sporadis tercatat sejak saat itu hingga 2014.

Salah satu hal yang menarik dari kasus flu burung pada manusia di Kamboja kali ini adalah pemetaan urutan genom lengkap virus flu burung dapat diperoleh dan diungkap dalam waktu yang sangat singkat, yaitu sekitar 24 jam. Genom virus itu adalah subtipe H5N1.

Pemetaan yang cepat itu dapat membantu para peneliti dan pembuat kebijakan untuk mengambil kebijakan dan tindakan yang lebih cepat sehingga potensi penyebarannya bisa ditekan.

Hasil analisis teknologi biologi molekuler dan bioinformatika

Secara taksonomi, virus flu burung digolongkan pada famili Orthomyxoviridae, genus Alphainfluenzavirus dan spesies Influenza A virus. Virus ini memiliki genom berupa RNA dan delapan segmen atau bagian yang menyandikan protein PB2, PB1, PA, HA, NP, NA, MP, dan NS.

Protein HA atau hemagglutinin, sebuah glikoprotein antigenik, ditemukan pada permukaan virus influenza dan bertanggung jawab untuk mengikat virus pada sel inang (Gambar 1).

Secara epidemiologi, virus ini banyak tersebar khususnya pada unggas di daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sejauh ini, belum ada bukti bahwa virus ini telah menyebar atau menular dari manusia ke manusia. Sebagian kecil orang menjadi sakit karena kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi.

Gambar 1. Struktur kristal hemagglutinin virus influenza A H5N1 dari isolat virus A/goose/Guangdong/1/96. Gambar ini diperoleh dari pangkalan data Protein Data Bank dengan PDB ID: 4MHI dan divisualisasikan dengan Mol* Viewer. Author provided

Teknologi terbaru biologi molekuler dan bioinformatika punya peran besar untuk segera mendeteksi klad (suatu kelompok taksonomi yang memiliki satu moyang yang sama) virus. Kecepatan pemetaan genom virus flu burung di Kamboja ini diungkap oleh jurnalis sains, Smriti Mallapaty, yang wawancaranya dengan Dr. Erik Karlsson dari Pasteur Institute of Cambodia, Phnom Penh dimuat di Nature.

Sampel didapatkan dan dianalisis oleh International Health Regulations (IHR) National Focal Point (NFP) Kamboja, selanjutnya dibawa ke laboratorium Dr. Erik Karlsson untuk analisis lanjutan terkait dengan pemetaan genomnya. Dalam 24 jam hasilnya sudah diketahui.

Di negara berkembang, misalnya Indonesia, pemetaan genom paling cepat dilakukan sekitar satu bulan karena pembacaan urutan kode genetik lengkap gen HA cukup lama karena keterbatasan fasilitas penelitian. Tapi di Kamboja dengan fasilitas yang memadai dan teknologi terkini, Dr. Erik Karlsson hanya perlu waktu sehari semalam untuk memetakan urutan lengkap genom virus tersebut.

Percepatan ini menunjukkan bagaimana pandemi COVID-19 telah meningkatkan kemampuan pemetaan genom serta analisis dan data sharing dengan sangat cepat.

Data urutan genom lengkap virus flu burung subtipe H5N1 ini telah dapat diakses oleh publik di pangkalan data EpiFlu GISAID dengan nama isolat A/Cambodia/NPH230032/2023 (ID: EPI_ISL_17024123).

Berdasarkan data yang telah dipublikasikan, besaran ukuran masing-masing gen adalah sebagai berikut: PB2 (2280 pasang basa), PB1 (2274 pasang basa), PA (2151 pasang basa), HA (1704 pasang basa), NP (1497 pasang basa), NA (1350 pasang basa), MP (982 pasang basa), dan NS (823 pasang basa).

Pada kasus ini, konsentrasi virus dalam sampel yang diperoleh dari nasofaring pasien cukup tinggi sehingga dapat menunjang pemetaan genom virus dengan cepat. Jika konsentrasi virus rendah pada sampel, maka hal yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan virus dari sampel tersebut menunggunakan kultur sel atau telur ayam berembrio (TAB). Hal ini dapat memakan waktu cukup lama, sekitar tiga hari.

Ringkasnya, Dr. Erik Karlsson mendapatkan hasil dengan analisis biologi molekuler dan bioinformatika bahwa virus yang menginfeksi warga Kamboja pada Februari lalu adalah virus flu burung dari klad 2.3.2.1c.

Klad virus tersebut adalah klad yang endemik di Kamboja. Pada 2014, klad virus ini telah menyebabkan sejumlah infeksi pada unggas dan manusia.

Sebelumnya, muncul beberapa dugaan dan kekhawatiran bahwa korban jiwa tersebut terinfeksi klad virus 2.3.4.4b. Klad ini tersebar di seluruh dunia dan menyebabkan banyak masalah di Amerika dan Eropa.

Saat ini, dengan perkembangan ilmu biologi molekuler dan bioinformatika yang pesat, terutama sejak pandemi COVID-19, pelacakan terhadap genom virus atau agen infeksius tertentu yang berpotensi menjadi penyakit mematikan terhadap manusia telah banyak dipetakan.

Genom yang telah dipetakan dari Kamboja menjadi hal yang penting bagi pusat penelitian veteriner di seluruh dunia untuk mempelajari penularan dan patogenisitas atau tingkat keganasan virus, termasuk pada model hewan mamalia, seperti mencit, tikus, kelinci, dan ferret (hewan semacam musang).

Virus flu burung menginfeksi manusia dan potensi pandemi selanjutnya

Temuan kasus infeksi virus flu burung pertama pada manusia tercatat di Cina dan Hong Kong pada 1997. Saat itu, enam orang meninggal dari 18 orang yang terinfeksi virus flu burung dari unggas.

Sejak saat itu, dalam rentang waktu antara 2003 dan 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatatkan lebih dari 850 infeksi (19 negara) pada manusia.

Lebih dari 50% infeksi virus flu burung pada manusia telah mengakibatkan kematian.

Selain itu, Indonesia adalah negara dengan korban jiwa tertinggi di dunia akibat dari virus flu burung H5N1. Sejak 2005 hingga 2017, sekitar 168 orang meninggal dari total 200 orang terinfeksi.

Pada kasus di Kamboja kali ini, belum diketahui secara pasti bagaimana dan mengapa virus dapat menginfeksi dari unggas ke manusia. Menurut laporan Smriti Mallapaty, ada banyak faktor yang perlu diselidiki.

Termasuk di antara faktor-faktor tersebut adalah situasi pandemi COVID-19, yang meningkatkan jumlah peternakan unggas di halaman belakang rumah warga. Selain itu, perubahan kesehatan masyarakat, misalnya kekurangan gizi atau kelebihan berat badan, dapat menyebabkan manusia lebih rentan tertular oleh virus.

Kita berharap bahwa kasus yang terjadi di Kamboja bersifat regional dan tidak dengan mudah menyebar seperti pandemi COVID-19. Namun, kita juga tidak dapat mencegah hal yang lebih besar dapat terjadi di depan.

Saat ini, pemantauan yang bersifat preventif terhadap unggas dapat dilakukan oleh negara ASEAN. Misalnya pengawasan pasar unggas dan penilaian terhadap kondisi kesehatan unggas yang ada.

Hal ini sama dengan apa yang terjadi pada pandemi COVID-19, yaitu seharusnya ada pemantauan berkala terhadap kelelawar liar yang hidup di Asia Tenggara.

Di sisi lain, peneliti dapat bergerak lebih jauh dengan membandingkan genom virus tersebut dengan data virus yang ada di negara sekitar. Bagaimana pola mutasi yang terjadi pada genomnya hingga analisis penunjang lainnya.

Selain itu, evaluasi vaksin yang telah diproduksi dan pengembangan alat berkaitan dengan diagnostik dengan tes berbasis antibodi juga menjadi hal yang sangat penting.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now