Menu Close
Pembingkaian “perang melawan sains” punya kecenderungan menjauhkan orang-orang dari dukungan sains. Gan chaonan/Shutterstock.com

Kritik agresif terhadap kebijakan anti-sains justru bisa berdampak buruk terhadap kredibilitas ilmuwan

Apa yang terjadi ketika laporan utama majalah menyimpulkan artikel penting dengan judul provokatif seperti ini? National Geographic

Laporan utama National Geographic edisi Maret 2015 memberikan pembahasan yang dalam menyoal pertanyaan “Mengapa Banyak Orang Berakal Sehat Meragukan Sains?”. Namun, di muka majalah, tajuknya hanya tertulis “Perang Melawan Sains.”

Artikel tersebut tidak pernah benar-benar menyebut istilah “perang melawan sains” tapi mengklaim keberadaan konflik semacam itu mulai umum terjadi.

Terdapat beberapa buku yang memberitahu pembaca soal pihak-pihak yang memerangi sains, pentingnya isu ini, dan hal-hal yang bisa dilakukan pembaca. Banyak juga artikel opini dan tajuk rencana di penerbitan tepercaya yang menjelaskan pertempuran tersebut.

Meskipun kita mungkin setuju bahwa pendekatan untuk kebijakan sains saat ini sangat bermasalah, sebagai peneliti komunikasi kami mempertanyakan apakah strategis untuk menyebut situasi saat ini sebagai “perang.” Pakar-pakar komunikasi telah lama khawatir bahwa membingkai suatu isu sebagai konflik dapat membuat pencarian jalan keluar menjadi lebih sulit dengan membuat orang-orang harus memilih satu kubu dan mengalahkan musuhnya agar bisa menang.

Berdasarkan argumen di atas, penelitian terbaru kami menunjukkan orang-orang Amerika mungkin melihat cara para ilmuwan yang memilih untuk menuduh kaum konservatif telah memulai “perang melawan sains” relatif agresif jika dibandingkan dengan cara-cara lain untuk menjelaskan situasi saat ini. Ditambah, anggapan agresivitas ini dapat merusak kredibilitas ilmuwan-ilmuwan di mata kaum konservatif yang sudah punya keraguan terhadap mereka.

Apakah kelompok ini mendorong kembali melawan ‘perang terhadap sains?’ AP Photo/Reed Saxon

Menginvestigasi efek dari pembingkaian

Pembingkaian adalah bagaimana komunikator mengkontekstualisasi suatu isu—entah secara sengaja atau tidak. Bertahun-tahun, pakar komunikasi mengkritisi jurnalis yang sering membingkai isu sebagai konflik atau permainan daripada mencoba mencari cara lebih berarti untuk memahami suatu perselisihan.

Sebagai contoh, peneliti berpendapat bahwa terlalu banyak pemberitaan media mengenai perubahan iklim terfokus pada “pertarungan” antara konservatif dan liberal. Pembingkaian semacam ini tidak hanya terbatas pada peliputan sains. Namun, para komunikator sains tidak perlu ikut-ikutan memperkeruh permasalahan.

Dalam studi kami, kami mensurvei 1.024 orang dewasa Amerika yang menjadi bagian dari panel daring. Pemilihan peserta survei dilakukan agar serupa dengan populasi Amerika Serikat dalam hal umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan ideologi politik. Kami secara acak meminta partisipan untuk membaca satu dari tiga versi berbeda sebuah postingan blog tentang sains atau sebuah artikel tentang pertandingan kasti. Lalu kami menanyakan serangkaian pertanyaan pada mereka mengenai anggapan mereka terhadap ilmuwan dan topik lainnya.

Kami mengadaptasi artikel ilmiah dari blog Scientific American terbitan 2017 yang membingkai pendekatan pemerintahan Donald Trump terhadap sains sebagai “perang melawan sains”. Artikel tersebut menyebut pemerintah pembohong, membicarakan “serangan” spesifik dan mencoba mengajak ilmuwan untuk melawan balik.

Kami memangkas artikel asli agar lebih pendek dan mengubah beberapa redaksionalnya hingga menghasilkan dua versi artikel. Daripada membingkainya sebagai perang, satu artikel membingkai situasi saat ini sebagai “tantangan bagi sains”, dan satunya lagi sebagai “pengabaian sains.”

Untuk artikel “tantangan bagi sains” kami mempertahankan nada agresif artikel aslinya yang menyebut Gedung Putih pembohong, tapi mengganti istilah terkait perangnya seperti “serangan terhadap sains” menjadi “tantangan bagi sains”. Sebaliknya, artikel yang membingkai pemerintah yang abai bernada tidak begitu agresif, walau tetap menggarisbawahi isu yang sama dengan struktur yang sama.

Apa yang akhirnya kami temukan adalah bahwa tingkat anggapan agresifitas berbarengan dengan pembingkaian “perang melawan sains” secara umum membuat para konservatif, liberal, dan moderat menilai kredibilitas ilmuwan secara berbeda-beda.

Ketika orang yang liberal melihat artikel dengan pembingkaian “perang melawan sains” sebagai pesan yang agresif, penilaian mereka terhadap kredibilitas ilmuwan meningkat. Sebaliknya, ketika orang yang konservatif melihat artikelnya bernada agresif, penilaian kaum konservatif terhadap kredibilitas ilmuwan menurun. Walau tidak semua orang melihat konten yang sama sebagai agresif, ketika mereka menganggap sebuah konten bernada agresif, hal tersebut mempengaruhi anggapan mereka terhadap tingkat kredibilitas.

Ketika responden membaca artikel dengan bingkai ‘perang melawan sains’, liberal dan konservatif berseberangan dalam penilaian masing-masing terhadap kredibilitas ilmuwan berdasarkan seberapa agresif tulisan yang mereka baca tersebut. Pola ini tidak begitu terlihat ketika responden membaca artikel dengan bingkai ‘tantangan bagi sains’ dan ‘pengabaian sains’. Hardy et al DOI: 10.1177/1075547018822081, CC BY-ND

Perbedaannya cukup kecil, tapi kami hanya menunjukkan satu responden satu artikel.

Para peneliti komunikasi melihat bahwa efek komunikasi seperti ini bekerja secara kumulatif. Jadi paparan terus-menerus terhadap pembingkaian konflik dapat sedikit demi sedikit meningkatkanperbedaan ideologis yang kami temui. Hal ini sepertinya juga muncul dalam data jangka panjang yang ada dan penelitian terkait.

Scientists can’t count on high confidence ratings continuing forever. U.S. Department of Energy/flickr, CC BY

Agresivitas tidak akan memperluas dukungan

Polanya tidak begitu terlihat, dan rata-rata kepercayaan terhadap ilmuwan (sebuah konsep yang serupa dengan kredibilitas) tetap stabil selama ini sejak akhir 1970-an. Kurang dari 1 dari 10 orang Amerika mengatakan mereka “hampir tidak punya” kepercayaan terhadap komunitas ilmuwan.

Namun kita tidak boleh memandang remeh stabilitas ini. Komunitas medis, contohnya, kini mulai berkurang nilai kepercayaannya. Selama kurun waktu 1970-an hingga 1990-an, kurang dari 1 dari 10 orang Amerika mengatakan “hampir tidak punya” kepercayaan terhadap kedokteran, tapi dalam tiga dekade terakhir pandangan seperti ini telah berkurang.

Hasil penelitian kami yang baru ini menguatkan riset kami sebelumnya yang menunjukkan serangan agresif terhadap orang yang menentang teknologi, contohnya penolak makanan yang dimanipulasi genetika atau vaksin, juga dapat memperburuk persepsi terhadap ilmuwan.

Ada saatnya ketika nada agresif dan bingkai konflik bisa berguna dalam mempengaruhi pendukung lama untuk mendonasikan uang atau melakukan tindakan lain. Namun, kami belum melihat bukti bahwa pendekatan agresif membantu memperluas dukungan.

Kami berharap dapat mendorong komunikator sains agar benar-benar memikirkan cara membingkai masalah dan mendorong penelitian yang mempelajari pendakatan-pendekatan yang dapat meningkatkan jumlah pendukung sains.

Dalam membuat argumen ini, kami memperhatikan contoh-contoh seperti usaha komunitas LGBT untuk menjauh dari pembingkaian konflik dalam usahanya membangun dukungan dan mengurangi penentangan terhadap pernikahan sesama jenis. Daripada meminta orang untuk memilih kubu, komunitas LGBT membingkai pernikahan sebagai permasalahan sederhana mengenai cinta, bukan perjuangan untuk hak.

Taktik agresif dapat berguna ketika dipakai untuk maju dalam politik menggunakan serangan personal dan kampanye negatif untuk mengalahkan lawan mereka. Walau cara tidak beradab tersebut dapat merusak citra kandidat yang menyerang, dia punya waktu untuk membangun kembali citranya di mata pendukung sebelum pemilu selanjutnya.

Untuk punya dampak yang positif, komunitas sains tidak bisa hanya bergantung dengan taktik komunikasi agresif. Sains perlu dukungan terus menerus dan luas, di seluruh spektrum ideologi, agar dapat terus melakukan riset dan menghasilkan temuan yang bisa dimanfaatkan banyak orang.


Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Reza Pahlevi.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,300 academics and researchers from 4,953 institutions.

Register now