Menu Close

Kunjungan PM Albanese: Bagaimana sebaiknya Indonesia merespon ‘pedekate’ Australia?

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese melakukan kunjungan bilateral ke Indonesia Juni lalu.
President Joko Widodo (kiri) and Perdana Menteri Australia Anthony Albanese. Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden

Kedatangan Perdana Menteri Australia yang baru terpilih, Anthony Albanese, ke Indonesia awal Juni lalu menandai babak baru bagi hubungan Indonesia-Australia.

Albanese memilih Jakarta sebagai tujuan pertama kunjungan diplomasinya ke luar negeri dan membawa beberapa isu untuk didiskusikan dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo – yakni isu ekonomi global dan regional, pemulihan ekonomi pascapandemi, dan implementasi Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).

Sudah menjadi tradisi bagi perdana menteri baru Australia untuk mengunjungi Jakarta sebagai tujuan pertama kunjungan bilateral mereka. Pendahulu Albanese, seperti Scott Morrison, juga melakukan hal yang sama pada 2018, tepat setelah pelantikannya.

Biasanya, destinasi pertama – baik itu suatu negara atau wilayah di suatu negara – yang dikunjungi oleh seorang pemimpin negara setelah dilatntik menandakan bahwa daerah itu adalah prioritas utama pemimpin tersebut.

Bagi Australia, Indonesia pastinya merupakan rekan untuk mengimplementasikan kebijakan luar negerinya yang baru di bawah kepemimpinan Albanese, serta untuk mengamankan kepentingan politiknya di kawasan Pasifik Selatan.

Sebaliknya, Australia bukanlah prioritas utama Indonesia terkait hubungan bilateral. Namun, Jokowi tidak boleh menganggap remeh dan menyia-nyiakan pendekatan Albanese.

Australia terhadap Indonesia: dari kepentingan geopolitik hingga ekonomi

Setidaknya ada dua alasan mengapa Indonesia menjadi prioritas utama Australia.

Pertama, Australia butuh hubungan yang kuat dengan Indonesia guna memperkuat pengaruh di Pasifik Selatan dan menyeimbangkan dominasi Cina di kawasan.

Pengaruh Cina di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan kini tengah menguat sehingga Australia merasa perlu mencari cara untuk mengamankan kepentingan geopolitiknya.

Negara-negara Pasifik Selatan mulai membuka pintu bagi Cina untuk menempatkan pasukan militernya di perairan pasifik, demi mengamankan kepentingan ekonomi Cina di kawasan tersebut. Negara-negara tersebut adalah mereka yang tergabung dalam Forum Kepulauan Pasifik (Pacific Islands Forum/PIF), termasuk Fiji, Kepulauan Solomon, Kiribati, Samoa, Niue dan Papua Nugini.

Tentu saja Australia tidak mau wilayah perairan, yang langsung berbatasan dengan negaranya, dikuasai oleh Cina.

Australia melihat betapa strategisnya posisi Indonesia sebagai partner, karena Indonesia akan menjadi Ketua ASEAN 2023. ASEAN sendiri hingga kini dianggap mampu menyeimbangkan baik pengaruh Cina maupun Amerika Serikat (AS).

Dengan bersekutu dengan Indonesia dan negara-negara ASEAN lain, Australia berharap dapat menghadang pengaruh soft power Cina di kawasan. Jika ASEAN pun dapat mengurangi ketergantungan ekonomi mereka terhadap Cina, hal tersebut akan berdampak positif bagi keamanan geopolitik Australia.

Kedua, Australia butuh Indonesia untuk menghadapi perang dagang melawan Cina.

Beijing telah memantik perang dagang dengan Canberra dengan menaikkan tarif impor wine (minuman anggur beralkohol), lobster, barley, batu bara, daging sapi, kapas, dan kayu dari Australia. Langkah tersebut adalah bentuk respons terhadap keputusan Australia untuk memblokir pengembangan infrastruktur teknologi 5G oleh Huawei, perusahaan teknologi raksasa asal Cina, di negaranya.

Global Trade Statistic of Australia
Statistik Perdagangan Global Australia. Australia Trade and Investment Commission

Hingga tahun 2020, Cina adalah mitra dagang terbesar Australia untuk ekspor dan impor. Namun, sejak perang dagang tersebut, Australia telah mengalihkan fokus tujuan dagangnya ke negara-negara lain di kawasan, termasuk Indonesia.

Australia mungkin juga akan meningkatkan penjualan wine di Singapura, hasil peternakan di Indonesia dan Filipina, dan barley di Vietnam dan Thailand.

Indonesia terhadap Australia: Bagaimana harus merespon?

Australia bukanlah prioritas utama Indonesia. Sebab, Indonesia merasa mampu menjadi pemain kuat di kawasan tanpa bantuan Australia.

Terlebih lagi, keputusan Australia untuk mempererat sekutu dengan Inggris dan AS – melalui Perjanjian AUKUS – tidak berkontribusi apapaun bagi kepentingan Indonesia.

Top 5 Indonesia Export Partner in 2018
Daftar 5 negara tujuan ekspor terbesar Indonesia tahun 2018. Export Genius

Selama triwulan pertama tahun ini, Australia bahkan tidak termasuk dalam lima besar negara tujuan ekspor Indonesia untuk komoditas nonmigas, pun sebaliknya.

Walaupun begitu, Indonesia dapat memanfaatkan momentum pendekatan Australia ini.

Jakarta, misalnya, dapat mencoba membujuk Canberra untuk menahan diri dari mencampuri urusan politik dalam negeri Indonesia, termasuk terkait politik Papua.

Sebagai salah satu tetangga Indonesia, Australia memiliki kepentingan besar dalam penyelesaian konflik Papua yang kerap memengaruhi hubungan keduanya.

Negara-negara yang secara terbuka ikut campur tangan atau bersuara tentang perpolitikan Papua tanpa didahului diskusi bilateral dengan Jakarta berisiko mengganggu hubungan mereka dengan Indonesia, seperti yang terjadi antara Indonesia dan Vanuatu.

Vanuatu pernah terang-terangan mengkritik dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua Barat dan meminta negara-negara anggota PBB untuk membantu orang-orang di sana. Konsekuensinya, hubungan bilateral Indonesia-Vanuatu seringkali mengalami ketegangan.

Australia sebenarnya sudah punya wadah untuk menyampaikan keprihatinan apa pun terhadap masalah politik dalam negeri Indonesia secara langsung, yakni melalui duta besarnya di Jakarta. Ini bukan hanya tentang menghormati kedaulatan nasional satu sama lain. Yang lebih penting, hal ini juga berkaitan dengan upaya menjaga hubungan dekat antara Jakarta dan Canberra.

Di sisi lain, layaknya Australia, Indonesia juga punya kepentingan untuk menanamkan pengaruh yang lebih besar di kawasan Pasifik Selatan demi menjaga stabilitas politik di Papua.

Selain itu, Indonesia juga dapat mendesak Australia untuk membujuk sekutu dekatnya, AS, untuk tetap menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali bulan November ini – dengan atau tanpa kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin – dan membantu menciptakan situasi yang kondusif menjelang KTT tersebut.

AS termasuk di antara beberapa negara barat yang mengancam akan memboikot KTT G20 jika Putin hadir.

Australia dan AS kerap kali memiliki kepentingan yang sama di Asia Tenggara dan Pasifik Selatan dan, secara historis, sering berada di kubu dan memiliki posisi yang sama dalam menanggapi konflik-konflik global. Dengan demikian, Australia mungkin bisa meyakinkan AS bahwa memboikot KTT G20 hanya akan merugikan semua pihak dan menggangu upaya negara barat untuk menghadang pengaruh Cina di Asia Tenggara.

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul: mengapa hadirnya seluruh pemimpin negara G20 penting bagi Indonesia?

Kehadiran mereka akan menandakan keberhasilan Indonesia dalam Presidensi G20. Ini merupakan hal penting, setidaknya bagi Presiden Jokowi secara pribadi, karena ia akan mampu menciptakan legacy sebelum melepaskan masa jabatannya pada 2024 nanti.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now