Menu Close

Kunjungan pertama PM Anthony Albanese: Australia harus tunjukan usaha lebih untuk memperkuat hubungan dengan Indonesia

Presiden Joko Widodo menerima kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese yang merupakan kunjungan pertamanya setelah Anthony dilantik menjadi PM Australia pada 23 Mei 2022
Presiden Joko Widodo bersalaman dengan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese. Sigid Kurniawan/Antara Foto

Setiap Perdana Menteri Australia yang baru terpilih punya tradisi terbang mengunjungi Indonesia untuk me-reset atau “mengatur ulang” hubungan bilateral kedua negara. Rutinitas tersebut, jika tidak dilakukan, dapat menjadi pertanyaan bagi Jakarta.

Tekad Perdana Menteri Anthony Albanese untuk datang ke Indonesia secepat mungkin patut dipuji – dan memang penting – jika ingin menunjukkan bahwa ia bisa berbuat lebih baik dari pemerintah sebelumnya dalam berurusan dengan Indonesia.

Kunjungan tersebut memang sangat penting, karena kebanyakan “pengaturan ulang” yang dilakukan sebelum-sebelumnya tidak berlangsung lama. Hubungan antara pemerintah Australia dan Indonesia adalah hubungan yang rapuh, mudah putus ketika ketegangan muncul. Keduanya punya banyak perbedaan mulai dari sejarah, agama, etnis dan bahasa – hingga sistem hukum, sistem politik, aliansi global, dan kepentingan strategis.

Dalam beberapa tahun terakhir, hampir tidak ada periode pemerintahan Australia yang berhasil mencapai akhir masa jabatan mereka tanpa melalui perselisihan dengan Indonesia. Ini bukan sepenuhnya salah Australia. Seperti Albanese, sebagian besar pemimpin Australia sejak jaman Paul Keating sangat paham bahwa hubungan yang kuat dengan Indonesia merupakan hal penting bagi kepentingan kebijakan luar negeri Australia.

Tetapi, Indonesia sendiri tidak terlalu peduli dengan tetangganya – hubungannya dengan Singapura dan Malaysia sama-sama goyah – dan kondisi tersebut tidak mungkin berubah dalam waktu dekat.

Indonesia tidak butuh Australia

Indonesia adalah negara besar berpenduduk lebih dari 270 juta orang dan memiliki populasi Muslim terbesar di dunia. Kekuatan Indonesia mendominasi ASEAN dan tahun ini pun Indonesia menjadi ketua G20.

Jika berhasil pulih ke tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan sebelum pandemi COVID-19, yakni berkisar 5%, Indonesia dapat kembali mengejar targetnya untuk menjadi salah satu dari lima negara ekonomi teratas pada tahun 2050. Secara geografis, Indonesia juga terletak di sepanjang jalur utama udara dan laut yang sangat strategis, terutama jika konflik Laut Cina Selatan pecah.

Entah benar atau salah, masyarakat Indonesia sekarang menganggap negara mereka sebagai pemain global yang sedang naik daun dan berdikari. Banyak dari mereka yang tidak melihat bahwa Australia layak mendapatkan perhatian Indonesia. Mereka cenderung melihat bahwa Australia, dalam hal mitra perdagangan dan investasi, lebih fokus pada Amerika Serikat (AS) dan Inggris daripada Asia Tenggara.

Tidak heran. Australia bahkan tidak termasuk dalam sepuluh besar mitra dagang Indonesia. Selain itu, perjanjian AUKUS antara Australia, AS, dan Inggris akan memperkuat keyakinan Indonesia bahwa Australia akan selalu memprioritaskan hubungannya dengan negara-negara Anglophone (negara yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama) dibanding hubungan dengan tetangga terdekatnya.


Read more: 'Mutual respect and genuine partnership': how a Labor government could revamp our relationship with Indonesia


Inilah kenapa kunjungan Albanese dan Penny Wong, Menteri Luar Negeri Australia, untuk “pengaturan ulang” tidak akan cukup untuk menarik perhatian Indonesia dan membangun hubungan yang mendalam antara kedua negara.

Apa yang dikatakan Albanese sudah tepat, bahwa ia ingin hubungan Indonesia-Australia lebih dari sekadar simbolik, dan keputusannya untuk menghadiri KTT G20 di Bali pada bulan November adalah langkah yang cerdas.

Tapi retorika saja tidak cukup: pemerintahan sebelumnya juga berkata demikian, namun tidak ada tindak lanjut, dan hal itu menjadi beban.

Dana hibah 200 juta dolar Australia dari PM Albanese untuk program “kemitraan infrastruktur dan ketahanan iklim” dengan Indonesia merupakan pendekatan awal yang baik, karena pemerataan pembangunan infrastruktur Indonesia adalah proyek andalan Presiden Joko Widodo.

Isu perubahan iklim memang menjadi perhatian yang mendesak di Indonesia. Namun, berdasarkan catatan-catatan terkait upaya Indonesia dalam deforestasi dan pengurangan emisi, pendekatan tersebut tetap akan menghadapi beragam tantangan.

Pada tahun 2021, misalnya, Indonesia membatalkan kesepakatan pelestarian hutan dengan Norwegia senilai 1 miliar dolar AS (Rp 14,74 triliun).

Apa yang harus dilakukan Albanese sekarang?

Ada cara lain bagi Australia untuk dapat “menanamkan investasi” yang lebih berarti bagi hubungan bilateral kedua negara. Ada banyak usulan yang tentunya diketahui oleh para pembuat kebijakan di Canberra, namun usulan tersebut seringkali diacuhkan.

Berikut usulannya:

1. Menambahkan jumlah bantuan untuk Indonesia

Dapat dimengerti bahwa Indonesia sangat anti dengan upaya-upaya yang menggunakan dana bantuan sebagai tameng, tapi nyatanya program-program bantuan Australia yang dijalankan di Indonesia telah membuat Australia dihormati dan diberi banyak akses yang luar biasa.

Albanese and Jokowi holding talks at Bogor Palace.
Albanese dan Presiden Joko Widodo menikmati minuman setelah bersepeda mengelilingi Istana Bogor. Alex Ellinghausen/SMH pool via AAP

Selama dekade terakhir, Australia telah secara signifikan mengurangi jumlah dana bantuan untuk Indonesia. Dan memang hal itu dibutuhkan. Indonesia mungkin merupakan negara kelas menengah yang sedang berkembang pesat, tetapi puluhan juta rakyatnya masih hidup dalam kemiskinan. Ditambah lagi, jaminan keamanan sosial di Indonesia belum memadai, dan sistem kesehatannya pun masih bermasalah.

Meskipun jumlah bantuan dana yang ditawarkan Australia akan selalu lebih kecil dibandingkan dengan anggaran Indonesia sendiri, paling tidak bantuan Australia dapat membantu Indonesia mencoba pendekatan baru untuk memastikan masyarakatnya yang paling terpinggirkan tidak tertinggal.

Pemerintah Australia yang baru, yang didukung oleh Partai Buruh, telah menjanjikan tambahan dana hibah senilai 470 juta dolar Australia (Rp 4,79 triliun) selama empat tahun untuk negara-negara Asia Tenggara. Sebagian besar dari jumlah tersebut seharusnya diperuntukkan bagi Indonesia.

2. Fokus pada soft diplomacy

Meskipun terkadang hubungan antar pemerintah kedua negara ada masalah, hubungan antar masyarakatnya cenderung kuat, terutama di bidang seni, pendidikan, akademik, dan komunitas. Kondisi demikian dapat menciptakan kohesi dalam hubungan keduanya. Hubungan antar masyarakat tersebut perlu ditingkatkan sepuluh kali lipat atau lebih untuk dapat menghasilkan dampak nyata, dan itu berarti mengembalikan dana yang dikeluarkan dari soft diplomacy selama dekade terakhir, dan menggandakannya bahkan hingga tiga kali lipat.

3. Membuka pusat kebudayaan Australia

Kedutaan Australia di Jakarta terlihat seperti benteng, tertutup untuk umum. Australia membutuhkan tempat yang lebih mudah diakses, di mana kita dapat memamerkan seni dan budaya kita, dilengkapi dengan teater, kafe, dan perpustakaan yang memungkinkan publik di Indonesia dapat memperoleh informasi tentang pendidikan dan bisnis di Australia di tengah suasana lingkungan yang santai dan ramah.

Negara-negara Eropa, seperti Jerman dan Belanda, telah mendirikannya di Jakarta – sungguh gila jika kita tidak melakukannya.

4. Permudah orang Indonesia untuk berkunjung ke Australia

Orang Australia bisa mendapatkan visa kedatangan (Visa-on-Arrival) ketika berkunjung ke Indonesia. Tetapi, orang Indonesia yang ingin mengunjungi Australia dengan visa turis menghadapi proses aplikasi visa yang rumit dan terkesan meremehkan para pengaju visa tersebut. Belum lagi, tarif visanya cenderung mahal. Inilah mengapa masih sedikit turis Indonesia yang bisa datang ke Australia. Kita perlu memberikan kemudahan akses visa bagi orang Indonesia, termasuk visa untuk liburan kerja.

Dan karena saat ini Australia tengah mencoba untuk mengurangi dominasi Cina di sektor pendidikan, orang Indonesia perlu diberikan kemudahan akses untuk bisa belajar di Australia. Pemerintah Australia memang sudah menawarkan beberapa beasiswa agar para pelajar di Indonesia bisa menempuh studi di universitas-universitas di Australia, dan Albanese memberikan kabar baik bahwa ia akan menambahkan sepuluh beasiswa lagi. Tetapi, upaya tersebut hanya setetes air di lautan.

5. Mulai mendanai lagi bidang studi Indonesia di Australia

Sudah banyak laporan dan tulisan tentang runtuhnya program studi bahasa Indonesia di sekolah dan universitas di Australia. Jumlah orang Australia yang memiliki kemampuan bahasa Indonesia dan pengetahuan mendalam tentang negara tersebut sekarang sangat sedikit, padahal Australia membutuhkan banyak ahli-ahli tentang Indonesia.

Apa yang bisa dipelajari dari Keating dan Rudd dari program mereka tentang materi bahasa-bahasa Asia di sekolah jelas: hanya dukungan dana yang dapat menghidupkan kembali bidang studi Indonesia. Keating melakukannya dengan dana setara 100 juta dolar per tahun, tetapi Rudd yang hanya mampu keluar 20 juta dolar per tahun tidak cukup.

Albanese telah mengumumkan dukungan untuk The Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies – sebuah program yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa Australia untuk belajar dan menyelesaikan kursus singkat di Indonesia. Namun, upaya tersebut belum cukup untuk memperbaiki kurangnya jumlah ahli Bahasa Indonesia. Albanese harus mencari tahu lebih dalam.

Perjanjian perdagangan bebas

Tantangan jangka panjang adalah mengimplementasikan perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia yang telah lama ditunggu-tunggu, yakni Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia. Perjanjian tersebut juga menjadi fokus kunjungan Albanese kemarin. Ia membawa serta delegasi besar, termasuk para pemimpin bisnis Australia dan Menteri Perdagangan Don Farrell.

Anthony Albanese has a breakfast meeting with Australian business leaders in Jakarta on Monday.
Anthony Albanese melakukan rapat sembari sarapan dengan pemimpin-pemimpin bisnis Australia di Jakarta pada 6 Juni 2022. Lukas Coch/AAP

Tidak ada cara instan untuk memperbaiki hubungan ini. Para pemain bisnis dari Australia biasanya sangat gugup untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini karena meskipun sangat mungkin untuk meraup keuntungan besar, peraturan investasi di Indonesia cukup rumit dan mahal. Ditambah lagi, berkaca dari kuatnya oligarki di Indonesia, pebisnis Australia kebanyakan tidak percaya pada sistem hukum Indonesia dalam melindungi investasi mereka.

Karena pebisnis Australia cenderung terlalu berhati-hati, Indonesia juga perlu melakukan reformasi sistemnya jika mengharapkan masuknya investasi Australia guna memenuhi target investasi asingnya yang terlihat ambisius. Perjanjian perdagangan bebas perlu menjadi prioritas bagi kedua negara.

Kunjungan Albanese dan Wong di Jakarta memang penting, tapi itu hanyalah awal dari upaya yang perlu ditingkatkan guna memperkuat dan memperdalam hubungan dengan Indonesia. Dan tanpa komitmen anggaran yang nyata untuk mendukungnya, semuanya kemungkinan akan kembali menemui jalan buntu, seperti biasa – setidaknya sampai perdana menteri baru untuk periode berikutnya terbang ke Jakarta.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now