Menu Close
Lonjakan harga pangan di seluruh dunia menunjukkan ada yang salah dari sistem pangan global. Trang Doang/Pexels, CC BY

Lonjakan harga: Mengapa upaya global untuk pangan murah bukanlah langkah yang berkelanjutan

Saat ini, harga hampir semua barang melonjak di mana-mana. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mendalam terhadap kesejahteraan umat manusia. Bahkan, terdapat ramalan bahwa jumlah penderita kelaparan akut di dunia yang saat ini berada di kisaran 276 juta orang, akan segera bertambah kurang lebih 47 juta orang.

Guna menghadapi persoalan ini, banyak orang menyepakati pentingnya menjaga hambatan perdagangan agar tetap rendah. Artinya, pemerintah negara-negara sebaiknya tidak melarang ekspor ke tempat yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap pasokan dari luar dan memastikan bahwa sanksi ekonomi tidak memengaruhi suplai bahan pokok. Sebab, hambatan pada perdagangan global membuat harga pangan semakin meroket.

Fokus untuk menjaga harga-harga tetap rendah ini dapat dipahami dan memang diperlukan. Akan tetapi, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri, mengingat mekanisme ekonomi yang selama ini menahan laju kenaikan harga telah melemahkan sistem pangan global.

Hal ini terlintas di benak saya ketika saya mengunjungi Kenya. Saat tengah makan malam di pinggir Danau Victoria, salah satu penghasil ikan air tawar terbesar di dunia, saya bertanya pada kolega Kenya saya dari mana asal ikan tilapia yang sedang saya santap. Jawabannya cukup mengejutkan: ikan tersebut bisa jadi berasal dari Cina.

Dengan paradigma pangan murah yang melekat di masyarakat, hal tersebut menjadi masuk akal. Cina berhasil melakukan pekerjaan yang fenomenal untuk mengembangkan industri budi daya perikanannya (kini menguasai sekitar 60% pasar global), sembari berinvestasi dalam infrastruktur transportasi Afrika.

Produksi dan distribusi yang efisien sukses menurunkan harga. Akhirnya, penjual lokal di Kenya bisa menghidupi dirinya dengan menjual ikan tilapia impor yang terjangkau oleh konsumen.

Globalisasi pangan memungkinkan dinamika ini terjadi. Namun, ketika perdagangan global terganggu, keseluruhan sistem pun turut terancam.

Sebagai contoh, Ukraina selama ini memasok 36% minyak biji bunga matahari dunia. Sayangnya, invasi Rusia menghantam kelancaran pasokan komoditas tersebut dari Ukraina secara besar-besaran. Akibatnya, harga minyak biji bunga matahari melonjak.

Banyak negara di Afrika yang menggantungkan lebih dari setengah pasokan gandumnya pada Rusia dan Ukraina. Kelangkaan pasokan akibat perang, ditambah dengan melejitnya harga pupuk, menimbulkan ancaman kelaparan di benua tersebut.

Hal ini merupakan sisi gelap dari upaya global untuk menjaga harga pangan tetap rendah. Di satu sisi, peningkatan produktivitas dan daya saing memungkinkan produksi pangan secara murah dan distribusinya ke mereka yang membutuhkan. Namun, kegigihan dalam meningkatkan efisiensi dan memperoleh keunggulan kompetitif ini pada kenyataannya menimbulkan risiko pada ketahanan sistem pangan.

Sistem pangan global akhirnya dikuasai sejumput kecil negara dan perusahaan, sehingga mengurangi keragaman sumber dan rantai pasok yang dibutuhkan suatu negara untuk membangun ketahanan dan ketangguhan pangan. Laporan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai kerawanan pangan menyatakan, keragaman penting karena “menciptakan berbagai jalan untuk menghadapi guncangan”. Guncangan tersebut dapat menimbulkan bencana besar.

Menyadari risiko ini, banyak negara akhirnya melakukan peninjauan kembali ketergantungan mereka terhadap makanan impor dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.

Melindungi planet

Fokus berlebihan untuk menjaga harga tetap rendah mengalihkan kita dari isu-isu lain, seperti lingkungan dan mata pencaharian berkelanjutan.

Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menyatakan:

Sistem pangan memiliki kekuatan untuk mewujudkan visi bersama kita untuk dunia yang lebih baik dengan memberi makan populasi yang bertumbuh dengan cara berkontribusi pada nutrisi, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, memulihkan dan melindungi alam, netral terhadap iklim, sesuai dengan kondisi lokal, dan menyediakan pekerjaan yang layak serta ekonomi yang inklusif.

Sangat mungkin bahwa ikan yang saya makan di Kisumu, Kenya, diproduksi dengan mempertimbangkan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut. Namun, harga yang murah ini diperoleh dengan biaya yang tidak sedikit – baik bagi kesehatan manusia, penghidupan mereka, dan bagi planet yang kita tempati.

Two tilapia fish on a plate.
Dibuat di Cina? Shutterstock/TonKhnthai

“Biaya tersembunyi” ini diperkirakan menyentuh angka US$20 triliun (Rp 269,8 juta triliun) per tahunnya. Sederhananya, harga yang kita bayarkan untuk membeli makanan tidak mencerminkan biaya produksinya – dan sistem sedemikian tidaklah berkelanjutan.

Tidak diragukan lagi bahwa bahan pangan harus diizinkan untuk melintasi perbatasan dalam jumlah yang cukup besar demi mencegah kelaparan. Namun, generasi mendatang harus bisa bergantung pada sistem pangan global yang berkelanjutan – yang mengikutsertakan pertimbangan mengenai harga, komposisi gizi dan nutrisi, lingkungan, penghidupan, dan ketahanan.

Dalam upaya memberantas kelaparan, seharusnya kita tidak hanya mempertimbangkan cara menjaga harga pangan tetap murah dalam jangka pendek. Penting juga untuk mendesain ulang sistem pangan yang lebih kuat dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Ini membutuhkan perubahan besar-besaran, dan tanda-tanda pergeseran ekonomi global terkait hal ini mulai terlihat.

Salah satu investor terkemuka baru-baru ini berkomentar bahwa invasi Rusia ke Ukraina telah “mengakhiri globalisasi yang selama ini kita kenal”, sekaligus memprediksi proses “de-globalisasi” dan aksi perusahaan untuk melakukan kalibrasi ulang terhadap rantai pasokan global mereka.

Perubahan ini membuka kesempatan untuk menggunakan penelitian terbaru demi menemukan model ekonomi seperti apa yang dibutuhkan dalam rangka transformasi sistem pangan. Langkah ini harus melibatkan kalkulasi “biaya sebenarnya”, yang merefleksikan berbagai ongkos dan manfaat dari produksi, transportasi, dan penjualan makanan yang kita konsumsi.

Masih terdapat ruang untuk mengambil langkah signifikan ke arah sistem pangan yang memasukkan unsur ekonomi sirkular (dengan penekanan pada aspek saling berbagi, penggunaan kembali, dan daur ulang) dan model “bioekonomi yang berfokus pada konservasi sumber daya biologis.

Politisi, pebisnis, dan konsumen harus bisa menerima bahwa harga pangan yang rendah merupakan bagian dari sebuah permasalahan yang lebih besar. Upaya yang berfokus untuk menjaga makanan semurah mungkin dan terus menerus meningkatkan produktivitas dan profit bukanlah cara yang tepat untuk memberi makan penduduk dunia.

Kita harus melakukan perubahan. Fakta bahwa sekarang adalah waktu yang paling berat untuk mengatasi permasalahan ini menunjukkan bahwa perbaikan harus segera dilakukan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now