Menu Close

Masalah akses kesehatan membuat kelompok menengah-bawah rentan dalam pandemi COVID-19

Willy Kurniawan/Reuters

Pekerja seperti tukang ojek online, petugas keamanan, dan petugas kebersihan berperan penting kala kita kini harus bekerja dari rumah. Namun, ketidaksetaraan akses kesehatan di tengah pandemi berdampak buruk bagi mereka.

Di tengah penerapan Pengendalian Sosial Skala Besar (PSBB) di berbagai wilayah, kelompok pekerja seperti mereka tidak bisa bekerja dari rumah.

Mereka menjadi lebih berisiko tertular dan tugas mereka juga semakin berat di tengah pandemi.

Pendapatan pengendara ojek berkurang karena hanya bisa mengantar barang (termasuk membeli makanan). Petugas keamanan harus menggunakan masker dan mengawasi lalu lintas semua orang yang masuk ke wilayah kerja mereka, dan petugas kebersihan harus lebih bekerja lebih keras membersihkan tempat kerja.

Sebelum ada wabah, masyarakat menengah dan miskin sudah mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan, dari minimnya pilihan layanan kesehatan karena syarat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sampai antrean panjang karena penggunaan skema kesehatan ini.

Kelompok masyarakat yang lebih kaya mampu memilih layanan kesehatan yang mereka inginkan tanpa harus mengantre, dan mempunyai perlindungan tambahan karena menggunakan layanan asuransi kesehatan lain.

Akses kesehatan menjadi semakin penting bagi pekerja dari kalangan menengah kala pandemi.


Read more: Penyandang disabilitas rentan dan luput dari mitigasi COVID-19


Rentan menjadi miskin dan sakit

Menurut Bank Dunia, 115 juta dari 267 juta penduduk Indonesia termasuk kategori aspiring middle class (tidak miskin, tapi juga belum aman secara ekonomi) dengan pengeluaran antara Rp 2-4,8 juta per bulan.

Para petugas kebersihan, petugas keamanan, tukang ojek daring dan pekerja yang tidak dapat bekerja dari rumah masuk dalam kategori ini.

Seperti saat krisis ekonomi 1997-1998, pandemi ini menyebabkan banyak pengusaha merumahkan dan memutus kontrak kerja secara sepihak akibat bisnis yang lesu selama pandemi. Pengangguran dan kemiskinan menghantui para pekerja.

Pemerintah memproyeksikan adanya tambahan 1,1 juta orang miskin dan 2,9 juta orang pengangguran akibat pandemi. Proyeksi yang lebih berat memperkirakan penambahan 3,7 juta orang miskin dan 5,2 juta orang pengangguran.

Secara global, Bank Dunia memprediksi kurang lebih 500 juta penduduk dunia akan hidup dalam kemiskinan akibat pandemi ini. Tingginya angka kemiskinan berpengaruh kepada makroekonomi secara nasional dan yang terpenting mempengaruhi kesehatan secara individu dan kelompok.

Sebuah studi di Finlandia menemukan bahwa rendahnya status ekonomi berhubungan dengan meningkatnya terkena risiko penyakit kesehatan jiwa seperti gangguan psikotik dan gangguan mood - yang nantinya juga berhubungan dengan penyakit tidak menular seperti darah tinggi dan gula.

Selain itu, para pekerja yang masih harus bepergian dan bertemu banyak orang juga semakin berisiko tertular pandemi. Virus corona menyebar melalui tetesan cairan tubuh (droplet), yang dapat ditularkan saat bersin, batuk, bahkan berbicara. Virus ini juga dapat bertahan selama lebih dari 24 jam pada kardus dan permukaan tertentu.

Studi di Cina menunjukkan adanya kemungkinan penularan melalui orang terinfeksi yang tidak bergejala. Meskipun sampai saat ini belum ada data lengkap mengenai status pekerjaan pasien-pasien wabah, namun masih adanya kontak dengan orang lain secara otomatis meningkatkan risiko mereka untuk tertular dan menulari orang lain.


Read more: Yang luput dari PSBB: kewajiban pemerintah untuk penuhi hak kesehatan warga


Upaya yang ada belum cukup

Pemerintah memang telah menyediakan bermacam program jaring pengaman sosial (JPS), salah satunya bantuan sosial untuk keluarga miskin – tapi tidak untuk masyarakat menengah yang berisiko jatuh miskin.

Beberapa pihak swasta sudah berinisiatif untuk membantu kelompok menengah, misalnya menyediakan layanan tes gratis bagi pengemudi ojek daring. Namun, bantuan-bantuan ini sangat minim dan hanya terfokus di kota besar seperti Jakarta.

Sayangnya, pekerja-pekerja di sektor lain seperti petugas keamanan dan petugas kebersihan belum mendapatkan akses yang sama dan sangat bergantung kepada pemerintah dan pemberi kerja.

Program bantuan kesehatan pemerintah yang menyasar kelompok menengah nyaris tidak ada; bantuan yang tidak merata ini bertentangan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain tidak berkeadilan, ketidaksetaraan dalam hal ini juga merugikan perekonomian. Jatuhnya kelas menengah yang jatuh ke dalam jurang kemiskinan semakin memperbesar ketidaksetaraan dan menentukan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Meningkatnya kelompok menengah yang jatuh miskin akan mengurangi daya beli dan menurunkan aktivitas ekonomi yang menjadi sebuah faktor penting dalam menjalankan dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi.

Ketidaksetaraan akses kesehatan, terlebih pada masa pandemi, merupakan masalah nasional yang harus diselesaikan.

Dalam jangka pendek, bantuan sosial dan penyediaan tes gratis bagi kelompok pekerja dan keluarganya menjadi sebuah alternatif untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan ini. Dengan hal ini, penularan di level keluarga oleh para pekerja bisa diatasi dengan segera.

Untuk jangka panjang, upaya untuk menanggulangi permasalahan ini perlu dilakukan secara lintas sektor dan komprehensif dipimpin oleh pemerintah pusat.

Kebijakan dalam sistem kesehatan juga harus dimodifikasi untuk menunjang atau menyelesaikan masalah yang muncul akibat ketidaksetaraan ini, antara lain meningkatnya penyakit-penyakit tidak menular dan penyakit kesehatan mental.

Solusi terhadap ketidaksetaraan ini merupakan upaya mencegah dampak yang lebih buruk dari wabah dan menjadi investasi kita dalam menangani masalah kesehatan nasional secara lebih baik.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now